Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Todung Mulya Lubis*
BANYAK cerita dari para calon legislator tentang jual-beli suara pada pemilihan umum lalu. Intinya: pemilu itu mahal. Siapa pun yang mau ikut haruslah mempunyai uang dalam jumlah lumayan banyak, tergantung daerah pemilihannya. Di daerah yang wilayahnya mencakup banyak kabupaten, dan untuk ke sana harus memakan biaya mahal, bayangkan berapa banyak uang mesti "diinvestasikan"?
Mereka yang bertarung di daerah seperti Jakarta memang bisa menjangkau calon pemilihnya dengan mudah. Tapi pertarungan di daerah seperti ini biasanya lebih keras, karena di sini berkumpul caleg pesohor dan inkumben yang sudah lama berinvestasi. "Investasi" pemilu di setiap daerah tak bisa disamaratakan, masing-masing punya karakteristik sendiri.
Dalam literatur, politik pemilu banyak dikaitkan dengan politik uang, dan sebetulnya cikal-bakalnya sudah dimulai ketika reformasi dimulai. Perangkat peraturan perundangan bidang politik tak merumuskan dengan tegas larangan terhadap sumbangan politik, baik kepada partai, caleg, maupun calon presiden dan wakil presiden.
Yang ada adalah jumlah maksimum sumbangan setiap individu atau perusahaan kepada partai, caleg, atau capres-cawapres. Sumbangan yang indirect tak pernah bisa dicegah dan dipantau. Bisa jadi sumbangan itu diberikan kepada anak atau kerabat yang pada gilirannya menyalurkannya ke partai, caleg, dan capres-cawapres. Lalu sumbangan-sumbangan tanpa nama atau yang dinamakan "hamba Allah" oleh partai politik tak juga bisa diketahui. Kalau diberikan dengan tunai, sumbangan itu akan jauh sekali dari jangkauan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.
Aroma uang juga terasa pada serbuan pengusaha besar ke partai-partai politik. Fasilitas perusahaan, terbuka atau tertutup, ikut berkontribusi buat partai, caleg, dan capres-cawapres. Semua itu tak dikuantifikasi, tak dibukukan. Bagi pengusaha yang mempunyai media, sumbangan politik tersebut sangat kasatmata dalam berbagai bentuk siaran berita ataupun iklan politik. Katanya iklan politik itu dibayar meski dengan diskon yang cukup tinggi, tapi bagaimanapun semua itu adalah sumbangan. Setahu saya, Komisi Penyiaran Indonesia tak mampu menghentikan masuknya uang melalui fasilitas media ini.
Semua hal di atas menunjukkan betapa pemilu sangat sarat dengan uang. Pemilu sudah jadi industri yang ritualnya kita lakukan setiap lima tahun. Pemilihan kepala daerah, yang merupakan bagian dari pemilu, malah dilakukan hampir setiap hari di berbagai kabupaten dan provinsi.
Latihan untuk menguangkan pemilu sudah dimulai secara bertahap sejak pemilu dilaksanakan pada 1999, setelah jatuhnya Soeharto. Semakin lama politik uang itu semakin kasar dan meluas. Jadi para petugas yang terlibat dalam pemilu dan pemilu kepala daerah sudah tahu di mana loopholes yang bisa dimainkan. Dalam sistem pengawasan pemilu yang lemah sekarang ini, kecurangan dan jual-beli suara adalah proses yang terjadi di depan mata.
Saya sebetulnya sangat bangga terhadap pemilu di Indonesia. Selalu saya mengulangi berbagai pernyataan yang mengatakan bahwa demokrasi sedang bekerja: democracy is working. Tentu kalau kita membandingkan Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014 dengan pemilu-pemilu zaman Soeharto, kita pasti beralasan untuk bangga bahwa pemilu sekarang berjalan aman, tertib, langsung, damai, rahasia, jujur, adil, dan demokratis.
Pemilu kita lebih baik daripada pemilu di Singapura, Malaysia, dan Thailand. Tak ada yang tak bangga kalau melihat warga berduyun-duyung datang ke TPS menggunakan hak pilihnya. Tak salah kalau kita berkesimpulan bahwa, di tingkat TPS, demokrasi di Indonesia berjalan bebas, langsung, rahasia, jujur, dan adil. Hampir sama sekali tak ada intimidasi dan tekanan. Hampir tidak ada insiden sama sekali. Para pengamat asing secara cepat menyimpulkan bahwa pemilu di Indonesia berjalan lancar, aman, tertib, bertanggung jawab, dan demokratis. Demokrasi di Indonesia dianggap sebagai demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Tapi semua kita tahu bahwa pemilu bukan hanya urusan mencoblos di TPS. Tahapan pemilu itu dimulai jauh sebelum pencoblosan dan berakhir jauh setelah pencoblosan. Pada tahapan-tahapan itulah uang memainkan peran instrumental. Seorang kawan secara bergurau mengatakan bahwa dalam pemilu itu terjadi apa yang disebut sebagai survival of the fittest. Kalau saya lebih cenderung menyebutnya survival of the rich, walau ada juga yang survive bukan berasal dari kalangan the rich-bisa karena sang calon ditopang oleh the rich, seorang pesohor, atau karena beruntung.
Dengan sedih kita harus mengakui bahwa kualitas penyelenggaraan pemilu kita bukan semakin baik. Pembajakan pemilu oleh uang telah menggerus substansi kedaulatan rakyat. Karena itu, jangan heran kalau lembaga perwakilan kita tak sering menyuarakan kedaulatan rakyat. Karena itu, jangan heran kalau produk-produk legislasi kita seperti produk pesanan dari kelompok-kelompok kepentingan, terutama mereka yang punya uang.
Adalah beralasan jika sekarang pun sudah mulai banyak orang yang bertanya-tanya bagaimana wajah lembaga perwakilan ke depan nanti. Apakah kelanjutan politik uang yang mereka mulai pada pemilu akan menemukan turunannya dalam praktek keseharian mereka sebagai "wakil rakyat"?
Sekarang kita mesti lebih keras menyuarakan pertanyaan tentang penyelenggaran pemilu. Mengapa lembaga penyelenggara pemilu, misalnya KPU dan Bawaslu, sepertinya tak mampu memperbaiki kualitas pemilu? Kalau taruhannya adalah pada proses pemilu demokratis di TPS semata, tentu semua kita sepakat untuk mengatakan berhasil. Tapi, jika proses pemilu itu dikaitkan terutama dengan jual-beli suara, proses penghitungan yang manipulatif, serta keterlibatan petugas lapangan dalam menggoreng suara, banyak hal yang mesti ditata ulang.
Bagaimanapun, pemilu tak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Akan berbahaya jika kita menggadaikan negeri ini kepada uang yang sekarang mengalir dari kantong-kantong oligarki kekuasaan serta merupakan perkawinan pengusaha dan penguasa.
Kalaulah pemilu itu semuanya bergantung pada uang, demokrasi kita akan jauh dari terkonsolidasi. Demokrasi akan jadi tidak stabil. Ketika uang terlalu berkuasa, demokrasi akan digulingkan. Dan, jika demokrasi digulingkan, akan dibutuhkan waktu lama untuk merebutnya kembali.
Pengalaman di Argentina menarik untuk disimak karena pertarungan antara kelompok-kelompok oligarkis militer yang didukung tuan-tuan tanah dan kekuatan demokratis berlangsung berkepanjangan. Berkali-kali demokrasi jatuh. Argentina, tidak seperti Inggris, tak memiliki revolusi yang mengalahkan kelompok-kelompok oligarkis dan tuan-tuan tanah. Argentina selalu membangun demokrasi dalam kompromi.
Daron Acemoglu dan James Robinson menulis pengalaman Argentina ini dalam bukunya, Economic Origins of Dictatorship and Democracy. Meski demokrasi di Indonesia masih sangat belia, kekhawatiran bahwa jatuh-bangun demokrasi akan menyertai patut diperhatikan. Kekhawatiran bahwa kita akan bersikap kompromistis dalam setiap penyelenggaraan pemilu, dalam demokrasi, bukanlah kekhawatiran hampa.
Kecurangan-kecurangan pemilu karenanya tak boleh dibiarkan. Mesti ada tindakan tegas terhadap jual-beli suara, terhadap merasuknya uang dalam proses penghitungan suara. Jangan biarkan pemilu jadi "pasar bebas", mereka yang punya uang banyak hampir pasti melenggang ke DPR. Katanya suara rakyat adalah suara Tuhan, tapi dalam keadaan sekarang: Tuhan sudah digantikan oleh uang. Inilah tantangan kita ke depan.
Kita harus bertekad dan berhasil dalam menghilangkan politik uang. Tentu ini bukan satu-satunya soal, tapi ini adalah soal sangat fundamental. Di sini terletak integritas pemilu: pada proses yang bersih. Harus disadari bahwa pemilu tak harus dilihat semata-mata hasil akhirnya, tapi justru prosesnya, sebuah proses yang harus berintegritas. Tak dapat tidak, proses berintegritas ini haruslah dengan menjauhkan praktek pasar bebas dari proses pemilu dan demokrasi kita. l
*) Mantan Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (1999)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo