TINJU amatir Indonesia mungkin akan berkiprah lagi. Rabu pekan ini PB Pertina akan memulai kongresnya di Wisma Karsa Pemuda, Senayan, dan sekaligus memilih ketua umum yang baru. Maka, untuk pertama kalinya dalam 21 tahun belakangan ini, bakal muncul seorang figur baru yang memimpin tinju amatir di Indonesia -- setelah Saleh Basarah tak lagi bersedia dipilih kembali menjadi ketua umum yang sudah dijabatnya sejak 1967. Tak heran jika sejak pekan lalu sudah terjadi "pertarungan" di luar ring. Sejumlah pengurus pusat dan daerah, pengamat, serta bekas petinju melayangkan "jab-jab"-nya lewat media massa, untuk mengorbitkan jagonya sebagai ketua umum yang baru. Calon yang pali serius disebut-sebut dan kemudian melambung adalah Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap dan Wakasad Letjen. A. Sahala Rajagukguk. Menteri Hasjrul didukung oleh Pengda Pertina Ir-Ja, Ja-Tim, dan Lampung. Sejumlah tokoh tinju, seperti Paruhum Siregar dan Tinton Suprapto, juga ikut menjagokan Hasjrul yang memang sudah dikenal punya hobi menonton tinju itu. "Dia mau membina tinju amatir dan pelatda-pelatda akan dihidupkan," tutur Syamsul Anwar, bekas juara Asia yang kini aktif sebagai pengamat tinju. Keterlibatan Hasjrul dalam tinju sudah terlihat ketika ia menjadi pelindung turnamen Piala Anniversary yang berlangsung di Jakarta, Juni lalu. Kejuaraan itu berakhir dengan sukses -- baik aspek penyelenggaraannya maupun pendanaannya. Apa yang diharapkan ternyata tak selalu berakhir dengan klop. Ketika dihubungi TEMPO, Hasjrul menolak dengan tegas soal pencalonannya yang santer itu. "Tidak. Pokoknya, saya tidak bersedia," ujarnya. Dia tak merinci mengapa menolak dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Pertina. "Tidak etis untuk menjelaskannya. No comment," sambungnya. Kalau begitu, Sahala Rajagukguk yang dijagokan oleh Pengda Pertina Sum-Sel, Maluku, Sum-Ut, dan DKI Jaya tampaknya akan mulus menduduki kursi ketua umum. Apalagi tokoh nomor dua di TNI-AD itu juga bukan orang baru dalam dunia tinju amatir. Ketika masih menjabat sebagai Pangdam XIII Merdeka (1983-1984) ia sudah sering mensponsori kegiatan tinju amatir di kawasan Sulawesi Utara. "Dia memang masih aktif membina tinju, karena itu cocok menjadi ketua umum yang baru," ujar Ketua Umum Pengda Pertina Sum-Ut, Kolonel Jauhari, dengan bersemangat. Tampaknya, memang begitu. Sahala sudah bisa ditebak bakal menyandang predikat Ketua Umum PB Pertina masa bakti 1988-1993. Apalagi belakangan juga terungkap bahwa Hasjrul sudah dirangkul oleh PB Perbasasi (sofbol) untuk menduduki jabatan eksekutif di organisasi itu. Di samping ramai-ramai soal ketua umum yang baru, kongres yang akan berlangsung dua hari penuh itu, tampaknya, juga akan dijejali oleh berbagai masalah. Apalagi yang menyangkut prestasi petinju Indonesia yang belakangan ini merosot tajam. Menurut Syamsul, pembenahan itu harus dimulai dengan meningkatkan kualitas pelatih. "Selama ini banyak pelatih yang namanya saja tercantum. Tapi tak jelas hasil kerjanya," ujarnya. Pendapat itu didukung oleh Benny Tandiono, pakar tinju yang sudah hampir 30 tahun masih aktif menjadi pelatih. "Petinju sekarang banyak yang ditelantarkan oleh pelatihnya," keluhnya. Untuk itu, katanya, sudah waktunya ada penataran yang intensif untuk menyegarkan kembali pelatih-pelatih tinju nasional. Mutu pelatih yang pas-pasan ini memang terlihat akibatnya pada prestasi petinju Indonesia yang diturunkan di Olimpiade Seoul, bulan lalu. Adrianus Taroreh dan Ilham Lahia, yang sempat digembar-gemborkan bakal merebut medali untuk kontingen RI, ternyata harus pulang gigit jari. Mereka kalah di babak pertama dari lawannya-lawannya dengan angka telak. Teknik kedua petinju Indonesia itu sangat menyedihkan. "Mereka tidak bertinju, tapi menampar," kata Syamsul. Seharusnya pelatih bisa mengingatkan kesalahan itu. Tentu saja wasit yang memimpin pertandingan tak segan-segan memberikan peringatan kepada Adrianus dan Ilham -- bahkan memotong angka. Karena itu, soal metode latihan ini memang harus dibenahi sampai ke tingkat sasana. "Untuk mengubah cara latihan yang masih seperti di zaman Hindia Belanda," ujar Syamsul lagi. Jika ditelusuri, coreng-morengnya prestasi tinju belakangan ini barangkali juga ada kaitannya dengan organisasi PB Pertina yang sudah semakin reot. Banyak komponen struktur organisasi yang mubazir, seperti komisi litbang dan komisi pembinaan. "Itu komisi omong kosong," tutur Syamsul. Tapi sebenarnya Pertina tak selamanya suram di bawah kepemimpinan Saleh Basarah. Di tahun 1970-an sejumlah petinju Indonesia malang melintang dan menjadi raja di tingkat Asia -- seperti Wiem Gommies, Frans V.B., Benny Maniani, Syamsul Anwar, dan Ferry Moniaga. Di zaman bekas KSAU itu pula Indonesia mampu menyelenggarakan turnamen tinju tahunan bertaraf internasional, Piala Presiden. Turnamen ini kemudian masuk agenda Persatuan Tinju Amatir Internasional (AIBA). Karena jasa dan dedikasinya itu, Saleh kemudian dinobatkan menjadi Pembina Olahraga Nasional Terbaik tahun 1976. Entah mengapa, memasuki tahun 1980an, perlahan-lahan emerlap dunia tinju amatir Indonesia mulai redup. Pengganti generasi Syamsul dkk. praktis hampir tak ada. Menurut Saleh, persoalan itu bermuara karena terbatasnya dana. Untuk menyelenggarakan turnamen tingkat nasional, diperlukan biaya sampai Rp 60 juta. Untuk turnamen internasional seperti Piala Presiden dibutuhkan biaya Rp 200 juta. "Belum lagi dana untuk pembinaan dan pengiriman petinju ke luar negeri," tuturnya. Barangkali tantangan-tantangan inilah yang bakal dituntaskan dalam agenda kongres. Ahmed K. Soeriawidjaja (Jakarta), Affan Bey (Medan), dan Wahyu Muryadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini