SEBUAH warung sate di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menurunkan papan iklan Kecap Cap Bango. Sementara itu, Senin ini, Dr. Haji Tri Susanto, 43 tahun, "diadili" di depan alim ulama oleh ahli dari Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Departemen Perindustrian, di Jakarta. Menurut siaran pers yang hari itu ditandatangani oleh ketiga instansi tadi, shortening yang digunakan untuk makanan di negeri ini memakai minyak tumbuhan atau nabati "sesuai dengan formulir pendaftarannya". Tapi Ibu Yayah, pendengar setia ceramah Radio Kayumanis dan Assyafi'iyah, melarang bayinya makan biskuit Siong Hoe. Di Kemang, Jakarta, seorang direktur perusahaan asing, Haidar Masyhur, terbingung-bingung ditanyai 64 karyawannya. Ia hanya mampu menyingkirkan segala macam biskuit, sabun Camay, dan kecap ABC, dari kantornya. Seorang santri, Naufal Ramzy namanya, sejak kemarin berkutat di sajadahnya minta ampun kepada Allah. Ia lalu mengakui dosanya, "Daging tubuhku kini tumbuh dari haram, haruskah dikelupas?" Yang terngiang di telinganya adalah hadis Nabi: "Jagalah baik-baik makananmu. Sebab, bila orang memasukkan barang haram ke perutnya, amalnya tak diterima (Allah) selama 40 hari. Dan bila dagingnya bertumbuh dari barang haram dan riba, neraka adalah tempat sepantasnya." Itulah sebuah sabda suci. Tapi terdorong sabda ini pula, awal tahun lalu, Tri Susanto, ayah tiga anak, memulai penelitiannya. Dosen Teknologi Pangan Fakultas Pertanian, Universitas Brawidjaja, Malang, itu mengajak para mahasiswanya menyelinap ke dua toko swalayan dan tiga toko kelontong di kota itu. Penelitian itu dilengkapi kajian literatur, tapi tak dilakukan di laboratorium. Mereka berkesimpulan: 34 macam makanan "mengandung bahan yang patut dicurigai atau syubhat." Permen cap Mentos, misalnya, seperti disebutkan Tri Susanto kepada M. Baharun dari TEMPO, diteliti mengandung gelatin, campuran protein yang terbuat dari rebusan tulang, kulit, dan jaringan hewan. Jenis hewannya memang belum jelas, walau koran yang mengutip penelitiannya menyebut: babi. Dan gara-gara berita itu, lalu ia dipanggil ke Jakarta. Awalnya Tri Susanto mempertanyakan bagaimana pembeli muslim bisa tahu, sementara mereka melahap semua makanan apa saja yang dijual, tak peduli haram atau halal. Tapi, menurut siaran pers tadi, gelatin itu dari sapi (bovine). "Ini dipastikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh pemasok," kata Drs. Slamet Soesilo, Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes. Dari luar negeri? Di Malaysia, majalah al-Muslimah, Agustus 1988, malah merinci ada 65 jenis makanan mengandung gelatin. Itu berdasar penelitian Lembaga Konsumen (LK) di sana. Selain permen Mentos, disebut pula cap Sugus, Trebor, susu dan cokclat Nestle, serta Carnation. Malah sabun Camay dan kosmetik Avon, katanya, juga mengandung lemak babi. Dan LK itu tegas: gelatin dibuat di Eropa dari babi yang harganya murah. Di Malaysia, gelatin bahkan diberi istilah baru, emulsifier. Sementara itu, dalam edisi Januari lalu di majalah Canopy (no. 10, 1988), disebut ada makanan lain yang diragukan mengandung shortening, lard, dan alkohol. Tapi penelitian dalam majalah Sema FP Unibraw itu, selama 10 bulan, secara sembunyi-sembunyi beredar dari tangan ke tangan. Bahkan daftar makanan yang diteliti itu entah siapa yang menambahnya menjadi 63. Daftar itulah yang kemudian disiarkan secara gencar oleh Pelita, 17 Oktober lalu. Malah, ada selebaran lain yang mengatasnamakan Tri Susanto. Di situ ada vonis untuk Indomie, susu Dancow, susu Klim, kecap ABC, kecap Bango, dll., sebagai "makanan haram untuk umat Islam, menurut SKB Menkes dan Menag no. 427 tahun 1985." Padahal, kata Tri Susanto, secara teori tak mungkin kecap memakai lemak atau minyak. Dan itu juga dibantah oleh perusahaan makanan yang produknya disebut mengandung lemak babi. Kecap Bango (sejak 1928, mencantumkan label "halal") dan kecap ABC terbuat dari gula kelapa, kedelai, gandum, garam, dan air. Hendy Rusli, Direktur Sanmaru, yang mencantumkan kata "halal" di Indomie, juga menyangkal. Ia lalu menyarankan calon pembeli membaca komposisi yang tercantum di kemasan hasil produksinya itu. Sedangkan Anthony F. Walker, Dirut FSINestle, sengaja tak menyebut label halal di susu Dancow yang diproduknya. "Karena semua tahu, susu adalah halal," katanya. Pihak produsen biskuit cap Regal, Siong Hoe, dan Nissin menolak pula kecurigaan Dr. Tri Susanto. Padahal, menurut Susanto ketiga biskuit kegemaran itu mengandung shortening -- minyak perenyah makanan, yang terbuat dari satu atau campuran nabati atau hewani, termasuk lemak babi. "Kalau kami pakai bahan minyak babi, biskuit kami ndak bakal laku," tangkis Li Choi Hing wakil direktur Trifabig, produsen biskuit Siong Hoe, kepada Jalil Hakim dari TEMPO. Kandungan biskuit tanpa label "halal" itu, 10-15 persen minyak shorteningnya konon dari tumbuhan murni yang dipasok PT Mulyorejo Industri. Selain itu, biskuit dari terigu itu mengandung pula telur, gula, amoniak, dan soda kue. Sugondo, Wakil Direktur Nissin, yang juga memproduksi biskuit cap Monde dan Khong Guan, membantah hasil survei tersebut. Tapi diakuinya kepada Hedy Lugito dari TEMPO, ke-50 produksinya itu memakai shortening nabati cap Croma-Vitello, dan pemasoknya PT Unilever. Untuk menghilangkan kesalahpahaman tentang shortening yang dianggap dari minyak babi, maka ia mengganti sebutan bahan itu dengan istilah bahasa Inggris, hydrogenaled vegetable oil. Bantahan serupa datang pula dari pihak CV Jaya Abadi, produsen biskuit cap Regal yang tanpa label "halal". Sedangkan bahan shortening-nya adalah Bimoli. Menurut Eddy Rinaldi, Dirut Sajang Heulang, shortening yang dipasoknya seratus persen terbuat dari campuran minyak kepala sawit encer minyak kelapa sawit keras (palm stearin) dan minyak kelapa biasa. Pihaknya tak memasok shortening dari babi. Harganya lebih mahal dari kelapa. Selain itu, risikonya besar, karena konsumen di sini mayoritas umat Islam. Konon, lemak babi memberi kerenyahan yang sempurna ke makanan. Jadi, lalu harus bagaimana? "Memang sukar dipastikan," kata Tri Susanto. "Karena itu, kami tak mengatakan haram, tapi syubhat, meragukan atau mencurigakan. Terserah Anda." Barangkali, hanya jenis makanan kapsul tak bisa disyubhat dari babi atau bukan. Bila ia elastis, dipijit sampai gepeng bisa kembali seperti semula, karena dari gelatin babi (TEMPO, 4 Mei 1985). Susanto mengharapkan penelitiannya yang mengeluarkan dana seharga Rp 50 ribu itu menjadi picu untuk penelitian yang lebih intensif. Bahkan, ia berharap agar segera ada undang-undang bahan makanan, yang mengatur pemakaian, produksi, penjualan bahan dan penyalahgunaannya. Selama ini, beberapa peraturan pemerintah berusaha melerai kesimpansiuran soal makanan. Misalnya SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Agama no. 68 dan 427 tahun 1985 tentang pencantuman "halal" pada label makanan. Karena tanpa rincian yang jelas, sekadar "keputusan", dampaknya jenis makanan yang diragukan itu kini justru semakin meragukan halal tidaknya. Ahmadie Thaha, Syafiq Basri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini