BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Saudara-saudara, kita mulai saja," terdengar ucapan seorang ustad di sebuah masjid di hawasan Tebet, Jakarta Selatan, usai salat suhuh. Lalu, ia menyerukan agar menjauhkan yang meragukan (syubhat) dan mengambil barang atau makanan yang tak meragukan. Lanjutannya? Ada pesan Nabi Muhammad, "Siapa menyelamatkan dirinya dari keraguan itu, berarti dia menyelamatkan agamanya dan kehormatannya. Dan dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, mengutip Abu Tsa'labah alkhasyni, ia bertanya pada Rasulullah, "Apa yang dihalalkan bagiku dan yang diharamkan?" Nabi menjawab, "Yang halal itu yang membuat jiwamu tenteram menerimanya dan kalbumu merasa tenang biarpun ada orang berfatwa lain padamu." Yang dibicarakan Pak Ustad di Tebet itu, dan bergaung deras melalui pengeras suara, jadi pasti: jangan membeli makanan bercampur minyak atau lemak babi yang dijual di pasar-pasar seperti telah diramaikan surat kabar. Dan seruan serupa itu tak hanya terbatas di masjid saja. Sejak Rabu silam juga mengudara (via ceramah subuh di beberapa radio swasta), melalui khatib ketika khotbah Jumat, di pengajian ibu-ibu, dan di pasar-pasar. Di Riau, menurut sumber TEMPO, pekan lalu sudah pula berserak edaran yang bunyinya sama, berikut daftar nama jenis makanan dimaksud. Belum jelas darimana asal siaran tersebut. Tapi cara beredarnya mirip di Bandung ketika dulu ada bakso dibuat dari daging babi, yang beredar di pasar (TEMPO, 7 April 1984). Dalam Quran banyak ayat yang menyebutkan daging babi itu haram dimakan umat Islam. "Sedangkan soal haram adalah Allah yang tahu," ujar Dr. A.M. Saefudin kepada Riza Sofyat dari TEMPO. "Karena sudah ada patokannya, ini harus dipatuhi. Sekarang tinggal muslimnya sendiri, ingin makan yang haram atau yang halal," tanya dosen di IPB Bogor itu. "Makanan adalah sarana ibadat. Jadi, memang ada garis-garis besar pengarahan agama," tutur E.H. Ali Yafie, dosen fikih di Universitas Assyafi'iyah, Jakarta. "Sedangkan di Quran disebut halalan thayiban, di samping halal juga baik untuk dimakan. Bila halal saja tetapi tidak baik, maka makanan itu malah tak sempurna," tambah salah seorang Rais PB NU itu kepada Ahmadie Thaha dari TEMPO. Ada bacaan para santri, kitab Kifayat al-Akhyar karya Syeikh Muhammad alHusainy. Di situ tegas disebut, anjing dan babi keduanya "najis berat" serta yang terlahir dari keduanya itu. Malah, haram memakai "unsur" yang berasal dari babi seperti daging, lemak, tulang, otot, sumsum, susu, dan bulunya. Jadi, tak ada yang permisif -- seenaknya membolehkan atau menggampangkan. "Jangankan babi, dijilat anjing saja harus disamak tujuh kali, satu kali dengan debu atau tanah," kata Ghazie Abdul Qadir, pimpinan Pesantren Persis, Bangil, pada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Dalam pada itu. K.H. Ibrahim Hose sejalan dengan rekannya, Dr. Peunoh Dali dekan I Fakultas syariah IAIN Jakarta. Mereka mendukung kreativitas penelitian Tri Susanto. Menurut Hosen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), selain babi tak perlu lagi dirinci kadar haramnya, bekicot juga haram bila dimakan oleh yang mengaku muslim. Malah Nabi sendiri tak pernah menganggap baik memakan daging dhabb, sejenis biawak kecil. Tapi, menurut Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri, penelitian itu sebaiknya dilakukan oleh suatu lembaga, bukan perorangan. Ini supaya otoritasnya tinggi." katanya. Peran Departemen Agama ? "Kami tak punya alat untuk mengetahui halal tidaknya suatu makanan. Jadi, kami tak merekomendasi," kata H.M. Djamil Latief, H.S. Kepala Bidang Hukum di departemen itu. Sejak 1985 Departemen Agama tak pernah lagi merekomendasikan lebel "halal" unt suatu produk -- yang memang juga belum ada lebel "haram untuk muslim". Gantinya adalah SKB No: 68 Tahun 1985. Namun pemasangan "halal" itu diserahkan pada si produsen -- dan tanpa rincian formula. Penjamin pengawasannya? Menurut Drs. Widjarnako, Wakil Ketua II YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), seperti dikutip Pelita, heboh penelitian Tri Susanto itu terjadi karena tak tersedia perangkat hukum yang lengkap untuk melindungi hak-hak konsumen. Barangkali kita perlu belajar dari Malaysia. Di sana lembaga konsumen tak cuma menerima kcluhan atau mencari-cari "makanan hasi saja. "Mereka mengupayakan mencari pengganti untuk suatu produk dengan bahan yang diteliti dan sudah dinyatakan halal," kata A.M. Saefudin. Di Indonesia perlu ada Yayasan Lembaga Konsumen Muslim. "Inilah yang harus segera dipikirkan oleh orang muslim sendiri," kata rektor Universitas Ibn Khaldun Bogor itu. Zakaria M. Passe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini