Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Jawabannya Di Tangan Sendiri

Wartawan olah raga Indonesia kurang jeli. Pakaian seragam yang dipersoalkan pemain PSSI pre olimpik waktu melawan singapura tak pernah disinyalir media massa. (or)

13 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA kesebelasn Indonesia tak berhasil menembus pertahanan team Singapura di awal turnamen Pre Olimpik, pertengahan Pebruari lalu publik menjadi was-was akan kemampuan anak asuhan Coerver akan sampai ke final. Sikap apriori atas kegagalan itu tak dapat dielakkan lagi. Hampir semua orang menuding Coever sebagai biang kegagalan tersebut. Mengingat 2 minggu sebelum turnamen dimulai, ia masih memanggil Andi Bonte untuk memperkuat team. Pertanda kesebelasan Indonesia belum sepenuhnya siap tempur. Betulkah kekalahan itu merupakan produk pembinaan Coerver? Tidakkah ada latar belakang lain di balik semua itu? Meski ketak-berhasilan Iswadi cs tersebut sesungguhnya tak seluruhnya patut dilimpahkan di pundak Coerver, tapi masyarakat cenderung untuk memvonis dia. Aplagi hampir semua mass media tak ada yang menguraikan sebab kekalahan secara terperinci dengan segala latar belakangnya. "Di sinilah terletak tanggungjawab seorang wartawan olahraga", komentar Sekjen Persatuan Wartawan Olahraga Internasional (AIPS), Bobby Naidoo. Karena, "mereka harus dapat menyajikan informasi yang jelas di balik kekalahan itu kepada pembaca. Bukan sekedar melaporkan jalan dan hasil pertandingan semata. Sebab tidak jarang faktor-faktor lain juga ikut mempengaruhi pemain dalam bertanding". Tuntutan Publik Kendati Naidoo yang datang untuk menatar wartawan olahraga tiba seminggu setelah pertandingan, namun penciumannya cukup tajam. Apa yang diduganya itu sesungguhnya memang ada. Team Pre Olimpik Indonesia sedikit berkecil hati sebelum turun ke lapangan. Lantaran pakaian seragam yang dibikinkan untuk mereka ternyata kurang sesuai dengan selera masa kini. Mengapa tak ada suratkabar yang menyelipkan persoalan itu dalam laporan mereka? Sulit untuk dijawab. "Boleh jadi mereka tidak tahu atau kurang siap untuk menganalisa semua itu", tambah Naidoo. Kekurangan yang disinyalir Naidoo itu memang sudah bukan rahasia lagi di sini. Mengingat spesialisasi pekerjaan belum mungkin diterapkan secara ketat dalam diri wartawan Indonesia seperti di Inggeris. Juga kekurangan kadar pengetahuan dan tenaga ikut merembes ke dalamnya. Kelemahan itu bukan tak disadari mereka. Tapi untuk keluar dari sirkuit kekurangan tersebut penghalangnya bukan tak kecil. Ini terlihat ketika SIWO/PWI Pusat menawarkan 5 jatah bagi wartawan olahraga Jakarta untuk mempergunakan kesempatan itu. Alasannya: rata-rata sibuk. Sampai kapankah wartawan olahraga Indonesia akan berputar dalam lingkaran setan, sementara tuntutan pembaca kian tinggi? Jawabannya tergantung dalam diri wartawan itu sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus