IMPIAN warga Kota Ujungpandang memboyong Piala Presiden berlapis emas 18 karat bukan angan-angan. Sekitar 50.000 penonton partai final PSM Ujungpandang melawan PSMS Medan di Stadion Utama Senayan, Jakarta, seakan jadi saksi bahwa tim underdog dari timur itu memang layak memboyong piala setinggi setengah meter itu. Pemain PSM lebih tenang, siap secara fisik dan mental. Di stadion yang becek, Sabtu malam pekan lalu, penonton memang tak bisa menikmati mutu sebuah pertandingan sepak bola. Di tengah jatuh bangunnya pemain, di tengah tersendatnya laju bola, tim yang menang adalah yang memiliki stamina prima. Dan pemain PSM memiliki hal itu, mereka bagai dibakar oleh kostum yang dikenakannya: merahmerah. Ciri permainan keras kedua tim memang menonjol. Tapi keras lain dengan kasar. Maka, selama 90 menit plus perpanjangan waktu 2 x 15 menit, sorak-sorai kedua suporter yang diselang-selingi bunyi petasan ingar-bingar, tapi tak memancing kerusuhan. Di situ PSMS dipaksa menyerah 2-1. Sukses ini mengulang partai serupa 26 tahun lalu di Padang. "Kami sudah lama menunggu kesempatan ini, lama . . .," kata Syamsuddin, pelatih kepala PSM. Pesta dua tahunan ini sesungguhnya adalah pesta yang terasa amat berat. Belum bermutunya pertandingan sepak bola di dalam negeri membuat penonton enggan memasuki stadion dan kemudian berakibat enggannya pengusaha menjadi sponsor selain adanya uang ketat. Padahal, dari sanalah sumber dana. Kalau di pusat saja sponsor sulit diperoleh, apalagi di daerah. Menurut Asisten Manajer Bidang Dana Persebaya, Eddy Indrayana, selama kompetisi ini Persebaya mengeluarkan uang Rp 500 juta. Untungnya, dari jumlah itu Persebaya bisa meraup Rp 300 juta dari pemasukan karcis selama menjamu tim lawan di kandang sendiri. Biaya gede itu terutama tersedot untuk pemusatan latihan. Maklum, mereka ditempatkan di hotel. "Persebaya kan tak punya mes," kata Manajer Tim Persebaya, Dahlan Iskan. Dana tersebut terkumpul berkat partisipasi sekitar 20 pengusaha di Kota Surabaya. "Semacam gaya Suroboyoan," kata Dahlan. Mereka merasa bangga akan kesebelasannya, dan kemudian bangga akan kotanya. Persib Bandung, pemegang juara dua tahun lalu yang kini gagal ke final, sempat diliputi kekecewaan. "Kumaha Gusti sajalah," kata Ketua Umum dan Manajer Tim Persib, Ateng Wahyudi. Soalnya, Wali Kota Bandung yang gila bola ini tetap melihat bahwa timnya bermain cantik, kendati banyak dikritik kurang berani melakukan peremajaan pemain. Soal dana, Persib pun setengah mati mencarinya. "Kesulitan dana itu terjadi setiap kali," kata Ateng. Persib mengeluarkan Rp 100 juta untuk kompetisi ini, Rp 22 juta di antaranya untuk membayar tiket ke Medan. Itu sebabnya Ateng tak setuju kompetisi dimajukan menjadi setiap tahun. "Bisa-bisa perserikatan kabupaten tak muncul, karena terlalu mahal," katanya. PSM Ujungpandang awalnya juga kerepotan dana. Tahun 1989 kas PSM nol rupiah. "Saya ajak rekan-rekan pengusaha untuk membantu PSM," kata Ketua Umum PSM, Suwahyo. Thahir Mahmud, Jusuf Kalla, dan Ande Abdul Latief adalah pengusaha daerah yang dirangkul Suwahyo. Mereka menggelar malam dana dengan mendatangkan artis-artis Ibu Kota untuk manggung di Ujungpandang. Dapat duit Rp 50 juta. Dari pemasukan karcis sebagai tuan rumah, PSM juga mendapat Rp 50 juta. "Uang itulah yang kami pakai untuk membiayai kompetisi ini," katanya. Setelah maju ke Senayan, tambahan dana datang lagi dari para pengusaha tadi. Mengapa Ande Abdul Latief mau terlibat? Ia merasa ditantang karena ia putra daerah Sul-Sel. Lagi pula, "Saya memang senang mengurus yang menurut orang mustahil. Menurut teori, PSM kan mustahil menjadi juara. Tapi, dengan ijin Allah, Anda lihat kenyataannya," kata Ande. Ia tak pernah menghitung, berapa uang yang telah dikeluarkannya untuk PSM. "Kalau dihitung, kita itu mundur. Accounting mana pun yang you pakai, nilainya tak bisa dihitung pakai rupiah," katanya. PSMS Medan cukup kelabakan juga. Di awal kompetisi, Ketua Umum PSMS Padamulia Lubis sampai menjaminkan kekayaannya ke bank Rp 50 juta. Itu mengikuti tradisi sewaktu Amran Y.S. memimpin PSMS sebelumnya, di mana pengurus selalu patungan. "Tahun 1985 saya harus mengeluarkan duit sendiri Rp 20 juta untuk menyelenggarakan pertandingan di Medan," kata Amran Y.S., kini wakil ketua tim manajer PSMS. Ada kisah unik dari sulitnya mencari dana ini. PSR Rembang mulai tahun ini naik tingkat ke divisi utama. Begitu membayangkan akan bermain ke Ujungpandang dan Balikpapan -- selain di kotakota di Jawa -- pengurusnya sampai menyatakan tak siap berada di divisi puncak. Rembang, kota kecil di Jawa Tengah, bukan kota industri seperti Gresik. Juga bukan kota yang melahirkan para pengusaha. Sepinya penonton, miskinnya sponsor, memang tak lepas dari mutu permainan. "Kalau pembinaan kontinu, permainan bermutu, tentu sponsor akan datang karena penonton tak sepi," kata Azwar Anas, Ketua Umum PSSI. Rendahnya mutu itu, menurut Azwar, lantaran kompetisi di klub perserikatan tingkat bawah tak beres. Untuk itu, PSSI kini sedang membenahi aturan agar kompetisi klub berjalan lancar. "Kami akan memberi sanksi jika kompetisi itu tak dijalankan," katanya. Barangkali, ini saat yang baik untuk berbenah. Sebab, di lapangan para pemain sudah mulai "tertib", tak banyak adu jotos yang berarti. Yang memprihatinkan justru penonton, terutama penggemar bola di Jawa Timur. Berkali-kali terjadi insiden: di Gresik maupun di Malang. Malahan, suporter Malang yang gagal berangkat ke Gresik melempari mobil-mobil bernomor polisi L -- sesuatu yang menyiratkan fanatisme berlebihan. Atau, lihatlah kebrutalan yang terjadi pekan lalu. Suporter Persebaya kesal karena timnya dikalahkan PSMS 24 di partai semifinal. Mereka pun berbondong pulang naik kereta api, Jumat siang. Sesampainya di Jatibarang, sekitar 300 suporter itu melempari rumah penduduk dengan batu. Di Cirebon mereka merusak tiga buah mobil dan sebuah sepeda motor. Memasuki wilayah Jawa Tengah mereka tetap ngamuk, meski setiap stasiun sudah dijaga polisi dan tentara. "Kami tak bisa berbuat apa-apa. Apa mau kami tembak, kan tak mungkin," kata Kepala Perum Kereta Api Wilayah Usaha Jawa, Kolonel Widjanarko. Perum KA kemudian membelikan 300 bungkus roti dan 300 botol air mineral. Siapa tahu, kebrutalan itu muncul lantaran mereka lapar, dan akan tenang setelah disuapi makanan -- seperti pengalaman dua tahun lalu. Ternyata tidak. Janji tak akan merusak lagi mereka langgar. Di Yogya mereka masih melempar-lemparkan batu, padahal sudah disediakan lagi nasi (yang gratis) sebanyak 670 bungkus. Kantor kepala stasiun di Surabaya pun tak luput dari sasaran. Kerugian Perum KA sekitar 20 juta. "Persebaya harus bertanggung jawab," kata Widjanarko. "Sudah kita kasih diskon 20 persen, mereka tidak berterima kasih, malah merusak," ujarnya lagi. Jadi, ada untungnya Persebaya tidak masuk final. Kalau kalah di final, dengan suporter yang pasti jauh lebih banyak, betapa besarnya kerugian Perum KA. Widi Yarmanto, A. Reza Rohadian, Sri Pudyastuti, Heddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini