SEORANG cowboy memacu kuda di padang rumput sambil melempar tali laso ke arah kuda liar, dan srettt... persis menjerat leher si kuda. Terjadi adu kekuatan, tapi sang cowboy terlalu tangguh. Si kuda liar takluk. Lalu, kamera menyorot wajah puas cowboy itu. Kemudian muncul narasi: Come to where the flavour is. Come to Marlboro country, lengkap dengan logo rokok itu. Film iklan semacam itu, yang dulu rajin muncul pada siaran RCTI, sejak 1 Januari 1992 telah tergusur. Karena, iklan asing seperti itu berdasarkan pasal 20 SK Menteri Penerangan Nomor 111 tahun 1990 adalah terlarang. Menurut ketentuan pasal tersebut, materi siaran niaga televisi harus diproduksi di dalam negeri dengan menggunakan latar belakang dan artis Indonesia. Seharusnya ketentuan itu sudah berlaku sejak April 1990. Tapi RCTI mendapat dispensasi menayangkan iklan asing itu sampai 20 bulan sejak ketentuan itu diberlakukan. Sebab, ketika SK dikeluarkan, kata Direktur Pembinaan Film dan Rekaman Video Narto Erawan, RCTI sudah telanjur menandatangani iklan asing yang masa putarnya satu sampai dua tahun. "Kami harus luwes menerapkan peraturan. Apalagi iklan itu berasal dari perusahaan-perusahaan besar," ujarnya. Meski sudah ada toleransi, tak berarti RCTI mudah menggantikan posisi iklan asing. "Terus terang, kami kedodoran juga," ujar Kepala Bagian Sensor Film RCTI, Bimo Sulistiono. Bisa dimengerti, karena perbandingan iklan asing dan iklan lokal adalah 60 : 40 -- pemasukan sektor iklan mendukung sekitar 60% biaya produksi. Sementara iklan pengganti belum ada, lenyapnya iklan asing sangat terasa. "Kami rugi milyaran rupiah," ujar Bimo lagi. Bimo tidak menyebut jumlah pastinya. Tetapi, bayangkan saja, tarif sekali spot sampai Rp 10,5 juta untuk setiap kali commercial hearing pada film-film yang banyak menyedot pemirsa, seperti film seri MacGyver dan Knight Rider. Itu hanya untuk penayangan RCTI di Jakarta. Kalau pemasang iklan mengambil satu paket untuk ditayangkan di Jakarta (RCTI), Surabaya (SCTV), dan Bandung (RCTI), tarif sekali spot dapat mencapai Rp 14 juta. Padahal, selama film diputar dengan beberapa kali commercial hearing, satu jenis iklan dapat muncul lebih dari sekali. Maka, hitung saja berapa pemasukan RCTI dari sektor itu. Tak hanya dari segi pemasukan. Dari segi pengisian acara pun RCTI kedodoran karena kehilangan iklan produksi asing. Pergantian acara atau penyeling film, yang biasanya penuh diisi film iklan, kini terpaksa diisi berbagai selingan yang bukan iklan, seperti layanan masyarakat Tana Toraja atau obat muntaber oralit atau penayangan film-film yang akan datang. Selingan itu diputar berulang kali. Masalahnya, produsen pembuat iklan audio visual, yang dikenal dengan sebutan production house, ternyata belum siap mengemas iklan pengganti yang buatan dalam negeri. Dihapuskannya iklan asing memang memberi angin segar bagi production house. "Produksi film iklan jelas meningkat," kata Asisten Produser Gatra Kencana Production, Ida Merdiana. Soalnya sekarang, mampukah mereka menggarap order itu. Sebab, meski production house menjamur, tak semuanya mempunyai modal yang besar. Peralatannya juga terbatas. Gatra, misalnya, baru memiliki kamera 16 mili, kalau akan memakai kamera 35 mili mesti menyewa dari Singapura. Belum lagi soal skill. Menurut Bimo, di Indonesia belum ada sekolah sutradara iklan. "Susah lo melempar pesan dalam waktu cuma 15 detik," katanya. Ini memang masalah. Itu sebabnya banyak production house mendatangkan ahli dari luar negeri. Yasawirya, misalnya, memakai tenaga ahli periklanan dari Australia. Kesulitan lainnya adalah para pemasang iklan asing ingin iklan yang dibuat di Indonesia tetap dengan setting aslinya, seperti yang biasa dibuat di Malaysia atau Australia. Keinginan konsumen itu, diakui berbagai production house, sulit dipenuhi. Karena untuk iklan Marlboro tadi, misalnya, harus diciptakan cowboy Melayu dengan gaya Barat. "Kami belum siap. Industri periklanan Indonesia ketinggalan sepuluh tahun," kata Hadianto I. Rahayoe, presiden direktur perusahaan biro iklan Indo Ad, yang selama ini dipercaya mengurus iklan PepsiCola, Arrow, Kenzo, dan sebagainya. Selain itu, menurut Presiden Direktur Yasawirya Tama Cipta, Youk Tamzil, biaya membuat film iklan di Indonesia mahal. Untuk pembuatan iklan dengan masa putar 15 detik dibutuhkan biaya sekitar Rp 400 juta. Biaya tersebut belum termasuk pengisian musik dan lagu. Menurut Direktur Pelaksana PT Ciptaswara, Helmie Indrakusuma, untuk mengisi musik dan lagu biayanya 3 juta sampai 7,5 juta rupiah. Ketidakmampuan production house dalam negeri untuk segera menggantikan produksi asing ternyata tak semata-mata karena kurangnya keterampilan awaknya dan keandalan artis dalam negeri. Likaliku pengajuan pembuatan iklan ke Departemen Penerangan, menurut sumber di production house, ternyata mirip pembuatan film komersial. Production house harus mengajukan story board kepada Deppen. Di situ harus jelas, misalnya, siapa nama dan asal artis, lokasi dan jalan cerita. Izin produksi itu dapat berbulan-bulan baru keluar. Setelah iklan selesai dibuat, masih akan diperiksa oleh Badan Sensor Film. Rumit. Sri Pudyastuti R., G. Sugrahetty D.K., dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini