KELANGSUNGAN identitas budaya negara-negara Teluk Persia terancam. Begitulah setidaknya peringatan para pejabat di negara-negara itu baru-baru ini. Ancaman itu tidak datang dari penetrasi budaya yang bisa dilihat, misalnya lewat impor musik atau buku-buku, melainkan muncul sedikit demi sedikit di rumah mereka sendiri tanpa disadari. Itulah yang ditemukan lewat sebuah studi yang dilakukan oleh Kementerian Sosial dan Perburuhan Uni Emirat Arab belum lama ini. Yakni, anak-anak Teluk yang kini berusia 6-12 tahun ternyata kurang fasih berbahasa Arab dan jauh dari agama Islam. "Empat puluh persen anak-anak berbicara Arab dengan logat asing," kata seorang pejabat yang terlibat dengan studi itu yang dikutip oleh kantor berita AFP. Dan ini bukan cuma terjadi di Uni Emirat Arab, tapi juga di lima negara Teluk yang lain: Kuwait, Qatar, Bahrain, Oman, dan Arab Saudi. Pangkal soal itu semua tak susah dicari. Sudah jadi kebiasaan orangtua di Teluk menyerahkan anak-anaknya pada pengasuh anak. Padahal, para pengasuh itu bukan orang sendiri, melainkan datang dari Filipina, India, dan Sri Lanka. Mereka adalah orang-orang yang bukan saja bahasa Arabnya ala kadarnya, melainkan latar belakang budayanya memang berbeda. Yang jelas, para pengasuh itu bukan muslimah. Menurut studi itu, sebagian Kristen, lalu Hindu dan Budha. Ketergantungan negara Teluk pada tenaga kerja asing memang sudah lama, sejak petrodolar mengalir deras. Sebenarnya, separuh dari ketergantungan itu diciptakan oleh warga Teluk sendiri. Karena banyak uang, mereka lalu enggan mengerjakan pekerjaan yang mereka anggap kasar, misalnya pembantu rumah tangga dan sopir. Belakangan ini ketergantungan itu disadari sebagai satu kelemahan, karena makin lama banyak bidang kerja dikuasai orang asing. Maka, dibukalah kursus-kursus untuk orang sendiri, agar ketergantungan pada orang asing berkurang. Tapi sektor pembantu rumah tangga dan pengasuh anak rupanya tetap tak mendapatkan peminat dari orang Teluk sendiri. Selain kesejahteraan di Teluk tinggi, pendapatan per kapita negara-negara Teluk adalah antara US$ 2.000 dan US$ 15.500, sektor ini pun dianggap tak menimbulkan ancaman bila dikuasai orang asing. Sampai muncul kecenderungan umum pada diri anak-anak Teluk, dan ini dibuktikan lewat sebuah studi. Cuma ada juga kritik terhadap hasil studi itu. Seorang warga Uni Emirat Arab yang kini sedang bertugas di Jakarta tak percaya bahwa pengaruh pengasuh anak bisa lebih besar daripada sekolahsekolah di Teluk yang rata-rata bermutu dan gratis itu. Di sekolah, katanya, pelajaran bahasa Arab maupun asing, terutama bahasa Inggris, berjalan dengan baik. Tak semua keluarga di Teluk menyerahkan anak mereka kepada para pengasuh, tambahnya. "Mungkin penelitian itu hanya dilakukan di sebuah kawasan tertentu," kata warga Uni Emirat Arab yang segan disebut identitasnya itu. Tapi ada satu hal yang ditemukan dalam studi itu, yang diakui oleh warga Emirat Arab tersebut, yakni banyaknya keluarga di Teluk belakangan ini yang seolah bersaing untuk memiliki lebih banyak pengasuh anak. Malah, di beberapa keluarga, jumlah pengasuh anak lebih banyak daripada anak-anaknya itu sendiri. Ini bisa berarti jumlah warga asing di rumah itu bisa lebih banyak dibanding warga Teluk sendiri. Bisa dibayangkan, dalam kondisi begitu, suasana rumah tersebut tentulah bukan lagi suasana Kuwait, atau Qatar, tapi mungkin suasana Filipina, atau Sri Lanka setidaknya dalam percakapan sehari-hari di rumah itu. Bila sudah begini, bisa saja pendidikan di sekolah jadi kalah. Itulah sebabnya, dalam sebuah siaran televisi Abu Dhabi, ibu kota Emirat Arab, setelah hasil studi itu dipublikasikan, ada imbauan agar mereka yang memiliki pengasuh anak berlebihan supaya memberhentikannya saja, sebelum telanjur terjadi salah asuh. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini