ADAKAH sikap orang-orang Teluk kepada pengasuh anak mereka berubah setelah ada penelitian dari Kementerian Sosial dan Perburuhan Uni Emirat Arab? Sampai akhir pekan lalu belum tersiar berita tentang itu. Tapi seandainya ada pun, rasanya nasib pengasuh anak di Teluk masih jauh lebih baik daripada pembantu rumah tangga di Kuwait, misalnya seperti yang terjadi pekan lalu. Suatu hari di pekan lalu, seorang gadis Filipina terduduk di lantai kedutaan negara itu di Kota Kuwait. Wajahnya kuyu, matanya sembap kurang tidur. "Saya ingin pulang, tak ingin bekerja lagi di Kuwait," isaknya. Ia mengaku lari dari majikannya karena dipukuli. Pada hari-hari belakangan ini bukan hanya seorang gadis dan bukan hanya di kedutaan Filipina, hal yang hampir serupa terjadi. Sampai pekan lalu terhitung sudah 250-an wanita India, Sri Lanka, Filipina, dan Bangladesh yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kuwait melarikan diri dari majikannya dan minta perlindungan di kedutaan negaranya masing-masing. Alasan mereka sama: dipukuli, kerja tanpa istirahat, upah tak dibayarkan, atau diperkosa majikan. Memang, setelah Perang Teluk, ada imbauan dari pemerintah agar orang Kuwait mengambil alih pekerjaan-pekerjaan yang ditinggalkan pekerja asing yang pada pulang ketika perang. Tapi, bangsa yang telanjur dimanja dengan pendapatan per kapita yang tinggi itu -- kini sekitar US$ 23.000 (bandingkan Indonesia yang hanya US$ 555) -- tidak cukup mempunyai bekal keterampilan. Mereka juga bukan pekerja keras, dan tidak efisien, kata seorang direktur bank. Maka, cita-cita pemerintah mengisi pekerjaan dengan orang Kuwait sendiri hanya hidup sebentar. Begitu keadaan agak pulih, Kuwait kembali membuka pintu bagi imigran. Memang, pintu tak selebar seperti sebelum Perang Teluk. Pekerja kasar kini hanya dibolehkan tinggal dua tahun. Mereka yang mempunyai keterampilan menengah, misalnya pekerja bank, paling banter hanya dikontrak tujuh tahun. Khusus pekerja Asia dilarang membawa keluarga, kecuali mereka berpenghasilan sedikitnya US$ 2.200 per bulan. Itu cerita tentang pekerjaan kantoran. Perihal pekerjaan rumah tangga, lebih-lebih lagi. Hanya sebentar setelah perang usai, ibu-ibu Kuwait merasa harus menangani pekerjaan rumah tangga sendiri. Setelah keadaan tak begitu darurat lagi, kembali mereka ingin mendapatkan pembantu rumah tangga. Dengan standar gaji pembantu US$ 40 per bulan, ibu-ibu Kuwait memang lebih senang kehilangan uang daripada harus mengepel, mencuci, dan melakukan pekerjaan rumah tangga yang lain dengan tangan sendiri. Tentu saja, itu tak menjadi soal bila kemudian para pembantu rumah tangga itu tak lari karena perlakuan yang tak pada tempatnya. "Dua warga Filipina mengaku diperkosa setiap bulan," kata seorang juru bicara Kedubes Filipina. Sejumlah bukti potret tubuh yang disundut api rokok disodorkan seorang diplomat Kedubes Sri Lanka kepada para wartawan yang meliput kejadian itu. Kini pemerintah Kuwait sedang melacak kasus-kasus yang menimpa para pembantu rumah tangga asal Asia itu. "Selalu ada ketidaksesuaian antara buruh dan majikan di mana saja di dunia ini," kata Syeikh Salem Sabah Al Salem Al Sabah, Menteri Luar Negeri Kuwait. SI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini