Festival Istiqlal banyak menampilkan kesenian dan pelosok yang tentu saja bernapaskan Islam. Salah satunya, Sintong Hadrah dari Madura, yang digelar pekan lalu. MERAH cerah mewarnai panggung di kompleks Masjid Istiqlal. Kemudian terciptalah bunyi-bunyian, lagu dan pantun, dibalut suasana religius. Terasa amat syahdu dan khusyuk. Inilah yang terasa ketika 18 orang dari sebuah desa di pelosok Madura menyuguhkan tarian Sintong Hadrah, Kamis malam pekan lalu, sebagai rangkaian Festival Istiqlal. Tujuh lelaki muncul mengenakan pakaian adat Madura: celana kombor sebatas betis, baju komprang lengan panjang tanpa kerah, dan ikat kepala. Semuanya warna merah, bukan hitam seperti lazimnya busana Madura. Masih dilengkapi sabuk kain batik melingkar di pinggang dan selembar selendang kuning. Tiga di antaranya berdiri di sudut kanan panggung membawa gendang, empat lainnya berdiri di tengah. Dua orang membawa rebana -di Jawa dan Madura disebut terbang -dua lainnya sebagai penyanyi, disebut hadi. Mereka menari, menyanyi, berpantun, dan menabuh instrumen, termasuk di antaranya sebuah beduk. Lalu tampil para lelaki lain, juga dengan seragam merah berselendang kuning hingga berjumlah 18 orang. Dari mulut seorang lelaki berusia setengah abad terdengar suara melengking penuh wibawa, Shallu 'alaih, disambut serempak oleh penari lain dengan lagu mengalun, Shallallahu 'alaih. Lalu mereka menari dan menyanyi. Itu adalah penggalan salawat kepada Nabi Muhammad saw. -doa semoga Allah menganugerahkan kesejahteraan kepada Rasulullah, yang berawal dari ajaran Quran surah al-Ahzab ayat 56, dan dari sebuah hadis yang menyebutkan keutamaan salawat. Ibadah ini berkembang menjadi kesenian. Kesenian yang berakar dari rasa cinta dan rindu kepada Rasulullah itu mendorong penyair Syekh Ja'far al-Barzanji (wafat pada pertengahan abad ke-18 Masehi), yang juga khatib Masjid Nabawi di Medinah, menulis Qishshah al-Maulid al Nabawi dalam bentuk syair, menceritakan keelokan wajah dan keluhuran perilaku Nabi. Lalu lahirlah kesenian barzanji, puja-puji dan doa salawat kepada Rasulullah, yang dinyanyikan secara koor pada peringatan maulid atau kelahiran Nabi. Kesenian yang juga dikenal sebagai salawat badriyah itu kini masih hidup di beberapa pesantren, baik di perkampungan Betawi asli maupun di kalangan kaum muslimin di pelosok desa. Di Desa Tambak Agung Barat, Kecamatan Ambunten, Kabupaten Sumenep, Madura, kesenian itu disebut Sintong Hadrah. Kata sintong atau setong artinya satu atau esa. Maksudnya, kesenian ini memang sebagai pujaan terhadap Yang Maha Esa. Adapun hadrah dari kata Arab yang berkaitan dengan seni tetabuhan. Tarian yang mengandung 23 macam gerak dan 23 jenis pantun ini, menurut Rusdi, merupakan milik warga desanya. "Ini kesenian warisan turun-temurun dari nenek-moyang. Penduduk desa lain tidak bisa menarikannya," kata kepala Desa Tambak Agung Barat itu, yang juga bertindak sebagai pelindung grup kesenian rakyat ini, sekaligus sebagai pelatih dan penari. Sintong sudah menjadi satu dalam kehidupan penduduk Desa Tambak Agung Barat. Anak-anak kini belajar menarikan kesenian rakyat yang beberapa tahun lalu hampir punah itu. Dan kini Sintong kembali ditarikan pada hari besar Islam maupun di pesta kawin, sebagai syukuran atas keberhasilan panen dan menyambut jemaah haji. Dulu, selama lebih kurang 20 tahun, Sintong tidak ditarikan lagi secara ajek. Mungkin lantaran penduduk direpotkan urusan perut atau memang tidak ada yang berusaha melestarikannya. Pada zaman Jepang, penduduk desa juga tak sempat berkesenian, karena sulitnya mencari bahan pakaian untuk para penari yang jumlahnya bisa mencapai 100 orang. Melihat usia salah seorang penarinya, kesenian ini lahir sekitar seabad lampau. Kiai Syafei yang kini berusia 70 tahun, misalnya, sudah belajar menari ketika ia berumur lima tahun. Mula-mula Kiai Hadari mengajarkannya kepada Kiai Baisyah lalu kepada Kiai Imamuddin dan Kiai Syarkawi. Dari Kiai Syarkawi inilah Kiai Syafei belajar. Grup kesenian rakyat yang tetap bertahan tidak komersial ini dihidupi oleh penduduk. Penonton yang menanggapnya menyediakan iuran paling sedikit Rp 5.000 per orang untuk membeli makanan-minuman dan untuk merawat pakaian serta peralatan musik. Para penari terdiri dari pegawai kabupaten, guru, petani, anak sekolah. Ada gerakan mirip orang salat, ada pula yang mirip tari Saman dari Aceh. Mungkin sumber kesenian ini satu: juru dakwah penyebar agama yang berkelana dari Aceh, mampir ke beberapa pesisir, sampai di Madura. Gerakan yang tegas dan cepat seperti Saman selalu diseling dengan gerak-gerak lembut. Terasa lebih religius. Ya rabbi shalli 'ala Muhammad. Ya rabbi shalli 'alaihi wa sallim .... Budiman S. Hartoyo dan Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini