Ada protes dari para pemuda Budha, agar Dewan Pimpinan Pusat Walubi lebih bisa memperjuangkan kepentingan umat, bila perlu lewat politik. TAK banyak yang tahu, belum lama ini sedikit angin mengusik umat Budha. Yakni protesnya 10 pemuda lewat surat pada Dewan Pimpinan Pusat Perwalian Umat Budha Indonesia (DPP Walubi). Isinya, minta seluruh pengurus DPP Walubi mundur, dan kepengurusan umat diberikan pada generasi muda. Soal mosi tak percaya pada pengurus organisasi itu soal biasa. Yang menarik, dari 36 alasan yang dijadikan dasar protes, di antaranya adalah masalah umat Budha yang mendesak, yang selama ini rupanya dibiarkan mengambang. Di antaranya adalah soal perkawinan umat Budha, pendirian rumah ibadah, sumpah atau janji umat Budha, dan soal rumah abu dan tradisi Cina. Dan meski Ketua Harian DPP Walubi Aggie Tjetje menilai tindakan para pemuda itu bertujuan politis -dan karena itu ia menolak mundur -ia mengakui bahwa ke-36 masalah yang dibawa-bawa itu nyata adanya. Soal tujuan politis itu mungkin benar. Tapi seandainya para pemuda punya tujuan politis, politik itu sekadar untuk melempangkan jalan agar masalah umat Budha bisa diselesaikan. Sebab, kenyataannya, kata para pemuda yang menulis surat itu, Walubi tidak mampu mempengaruhi Pemerintah untuk menyelesaikan masalah umat Budha karena menjauhkan diri dari politik. Bila maksud "politik" itu adalah pendekatan pada Pemerintah, tampaknya ini memang nyata. Banyak soal yang penyelesaian efektifnya lewat pendekatan dengan birokrasi. Aggie Tjetje mengakui, misalnya, sangat sedikitnya pembantu pencatatan perkawinan umat Budha di kantor-kantor Catatan Sipil disebabkan adanya peraturan Pemerintah yang menyebutkan warga negara Indonesia keturunan tidak boleh menjadi wali nikah. Akibatnya, terjadi kevakuman. Sebab, banyak orang Budha di kota besar yang dianggap mampu menjadi pembantu pencatat pernikahan adalah warga negara Indonesia keturunan. Sementara itu, di daerah memang banyak pribumi, tapi intelijensianya kurang. Lihat di Provinsi Jawa Tengah. Ternyata, di provinsi yang memiliki 1,2 juta umat Budha itu, pembantu pencatat perkawinan hanya ada di Semarang. Akibatnya, umat Budha yang mau menikah di desa-desa Jawa Tengah harus mengeluarkan uang lebih banyak dari umat lain, karena harus pergi ke Semarang. Persoalan selanjutnya, selama ini, umat Budha mengalami kesulitan dalam menjalankan ibadahnya. Itu disebabkan kurangnya jumlah tempat ibadah Budha. Di Jakarta, misalnya, tersedia 154 tempat ibadah Budha berupa wihara, cetya, dan kelenteng Budha untuk 400.000 umat Budha. Pukul rata, satu tempat ibadah harus menampung sekitar 2.500 umat Budha. Ini tentu terasa sesak. Sebuah gedung untuk menampung 2.500 orang sekaligus mestilah setidaknya sebesar sepertiga Balai Sidang Senayan. Padahal, wihara terbesar di Jakarta cumalah bisa menampung ratusan orang. Apalagi bila dibandingkan dengan Muangthai, yang memang mayoritasnya Budha. Di Negeri Gajah Putih itu tersedia 200.000 wihara untuk 30 juta umat Budha. Artinya, satu wihara untuk 150 umat. Betapa leganya. Kesulitan itu, menurut Aggie Tjetje, disebabkan adanya larangan dari Pemerintah untuk mendirikan kelenteng-kelenteng baru lewat instruksi Menteri Dalam Negeri. Soalnya, meski wihara bukan kelenteng, banyak arsitektur wihara mirip kelenteng, misalnya Wihara Welahan di Jawa Tengah. Tapi, sebentar, mengapa pada kebaktian bersama pada hari Ahad dua pekan lalu di Wihara Budha Tridharma Kebayoran, Jakarta, yang pintu masuknya berbentuk gapura Cina, hanya ada sekitar 50 orang yang sedang melakukan kebaktian? Mungkin soalnya bukan untuk ibadah rutin, melainkan ibadah pada hari-hari besar, wihara baru terasa sumpek. Sampai-sampai, konon, pernah terdengar keluhan putus asa di suatu kebaktian hari raya Budha di Jakarta. "Kalau begini, lebih baik kita pindah agama saja," kata keluhan berbumbu humor itu. Keluhan-keluhan seperti ini diakui banyak masuk ke Walubi. Maka, terpaksalah Waluhi membujuk mereka yang tak puas itu untuk bersabar sejenak, jangan sampai meninggalkan Budha. Untuk mengatasi kesulitan rumah ibadah itu, Aggie menyarankan umat Budha meminjam kelenteng-kelenteng untuk kebaktian bersama. Bila usul itu dirasakan berat secara psikologis, silakan beribadat bersama di rumah-rumah. Tentu beberapa umat Budha punya rumah yang cukup luas. Tapi benarkah ada larangan mendirikan wihara, karena dikhawatirkan yang didirikan kelenteng untuk agama Khonghucu? Menurut Direktur Bimas Agama Budha, Pemerintah tidak melarang umat Budha mendirikan wihara. Seperti yang tercantum dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama pada 1969, setiap pendirian rumah ibadah perlu izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya. "Jadi, tidak benar Pemerintah melarang umat Budha untuk mendirikan wihara," kata Budi Setiawan menegaskan. Biasa, mungkin soalnya birokrasi. Dan ini pun menjadikan protes para pemuda ada benarnya juga. Diperlukan pendekatan pada Pemerintah, yang kadang memang efektif lewat "politik". Julizar Kasiri, Ardian T. Gesuri, dan Andi Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini