DEBUT Pengadilan Tata Usaha Negara makin menggetarkan instansi pemerintah. Kamis pekan lalu, majelis hakim yang dipimpin Nyonya Siti Djuwariah mengabulkan semua gugatan perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) PT Karang Sari Mulya, terhadap Menteri Kehutanan. Menurut majelis, dua Surat Keputusan Menteri Hasjrul Harahap, pada 1991, yang berisi pencabutan HPH seluas 60.000 hektare, yang dipegang Karang Sari di Provinsi Kalimantan Tengah, mengandung cacat hukum. Karena itu, hakim menganggap keputusan Menteri itu tidak sah dan harus dibatalkan. Dengan demikian, keputusan untuk memberikan HPH kepada Karisma selama 20 tahun, terhitung sejak 1979, tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum. Putusan hakim itu langsung disambut senyum lega Direktur Utama PT Karang Sari, Soesalyo, bersama kuasa hukumnya, Dj.L. Aroean. Keputusan hakim itu membangkitkan kembali semangat Soesalyo, yang setahun terakhir ini mengaku bisnisnya mandek akibat SK tersebut. Menteri Hasjrul mencabut HPH Karisma karena menganggap perusahaan itu sudah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 21/1979. Perusahaan tersebut, dalam pertimbangan Menteri, tidak melaksanakan kewajibannya membangun industri pengolahan hasil hutan dan tidak melaksanakan rencana karya tahunan (RKT) selama dua tahun berturut-turut. Selain itu, Karang Sari, menurut SK tersebut, tidak melakukan kegiatan eksploitasi hutan berdasarkan RKT selama dua tahun. SK itu keluar setelah sebelumnya Menteri dua kali melayangkan surat peringatan. Tapi semua tuduhan itu ditampik pihak Karang Sari. Dalam gugatan yang dilayangkan Pengacara Aroean, Karang Sari menyodorkan bukti bahwa mereka sudah melaksanakan segala kewajiban tadi. Misalnya perusahaan tersebut memegang 20% saham industri pengolahan kayu CV Sumber Kalimantan, yang berlokasi di Pangkalanbun, Kalimantan Tengah. Dalam melaksanakan kewajiban RKT, menurut Aroean, Karang Sari sudah mendapat persetujuan Rencana Karya Lima Tahun Ketiga periode 1989 hingga 1994 dari Direktur Pengusahaan Hutan. Bahkan RKT periode 1989 sampai 1991 sudah disahkan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Kalimantan Tengah. Begitu pula soal pelaksanaan eksploitasi hutan dan produksi bulanan, menurut pihak Karang Sari, tak pernah telat dilaporkannya. Perusahaan ini memiliki bukti lapor itu dari Direktur Bina Pungutan Hasil Hutan, baik di kantor wilayah maupun dinas kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. Dengan bukti-bukti tersebut, demikian gugatan itu, jelas tuduhan Menteri tak berdasar. Tentang surat teguran Menteri, pihak Karang Sari mengaku sudah lima kali membalasnya, tapi tak pernah mendapat tanggapan. Jika pun surat pihaknya tak dijawab, menurut Aroen, seharusnya Menteri mengeluarkan surat peringatan ketiga, bukan langsung membuat surat keputusan pencabutan HPH. Sebab, sesuai dengan peraturan pemerintah, jelas tercantum bahwa HPH bisa dicabut jika pemegang HPH tak mengindahkan peringatan tiga kali berturut-turut. Majelis hakim rupanya yakin, pihak Karang Sari tak pernah alpa melaksanakan kewajibannya. Karena itu, majelis menilai, keputusan Menteri mencabut HPH tersebut sebagai tindakan yang tergesa-gesa, sehingga merugikan penggugat. "SK itu tidak didasarkan pada hasil penelitian yang cermat dan konfirmasi di lapangan, sebagaimana seharusnya dilakukan dalam menerbitkan sebuah keputusan tata usaha negara," kata anggota majelis, Paulus E. Lotulung. Pertimbangan SK yang berbunyi "Pemegang HPH tak dapat memberikan penjelasan yang dapat diterima Departemen Kehutanan", menurut majelis, bersifat subyektif dan sewenang-wenang. Toh, Menteri Hasjrul Harahap belum menyerah. Ia, katanya, menghormati putusan pengadilan, tapi tengah mempertimbangkan langkah selanjutnya dalam proses banding. "Tunggulah, kami masih mempunyai peluru-peluru rahasia untuk memenangkan perkara itu," ujar Hasjrul, enteng. Sri Pudyastuti R. dan A. Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini