Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Juara Yang Sedih

Carolina Riewpassa, 30, ingin mengundurkan diri dari dunia atletik. Ingin menjadi pelatih dan bergabung dalam klub atletik Jayakarta.

10 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CAROLINA Riewpassa 30 tahun, ingin menanggalkan sepatu larinya. "Sudah capek," alasannya. "Sudah 13 tahun saya terjun di dunia atletik. Saya kira sudah saatnya untuk mundur." Pernyataan Carolina itu mengejutkan Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI). "Apa benar?" tanya Sekjen PASI, Soejono. "Kok, saya belum mendengarnya. Padahal, ia satu kantor dengan saya." Carolina adalah karyawati Dinas Olahraga DKI Jakarta, dan merupakan bawahan Soejono. Juga Ketua Harian KONI Pusat, Soeprajogi terkesima mendengar berita tersebut. Ia langsung menyuruh M. F. Siregar, Sekjen KONI Pusat untuk mengecek kebenaran kabar itu, sekaligus untuk membujuk lagi Carolina. "Pokoknya, bisa diatur," kata Siregar meyakinkan Soeprajogi. Meski demikian Soeprajogi masih cemas juga. Ia menyayangkan lantaran potensi Carolina untuk meraih medali emas nomor atletik dalam SEA Games X di Jakarta, September depan, masih bisa diandalkan. Carolina, pemegang rekor nasional lari 100 m (11,7 detik) dan 200 m (24,2 detik), masih belum tergeserkan sejak prestasi itu dibuatnya di Jerman Barat tahun 1972. Di belakangnya, memang ada atlit muda Emma Tahapari. Tapi untuk SEA Games X nanti, Emma kelihatan belum mampu untuk mengejar. "Prestasi Emma masih jauh di bawah Carolina," kata bekas pelatih atletik AG Vlll, Awang Papilaya. Untuk nomor 100 m, rekor Emma, 12,2 detik. Repotnya, Emma bahkan sudah lama tak datang berlatih. Mengawali sebagai atlit pelajar di Ujung Pandang tahun 1965, Carolina merupakan satu-satunya atlit puteri domestik yang ambil bagian dalam 2 kali Olympiade (Munich 1972 dan Montreal 1976) serta 2 kali Asian Games (Bangkok 1966 dan 1970). Dari rangkaian pertandingan itu, ia membawa pulang 2 medali perunggu nomor lari 100 m dan 200 m dari AG VI (1970). Dan hingga sekarang, ia masih merupakan pelari wanita yang disegani di Asia. Namun PASI tidak menurunkannya dalam AG VIII, mengingat ancaman Federasi Atletik Amatir Internasional (IAAF), yang menskors atlit yang berlomba di sana. "PASI tak ingin kehilangan atlit terbaik dalam SEA Games X nanti," begitu pernah alasan Ketua PASI, Sayidiman Suryohadiprojo. Tapi perhitungan PASI ternyata meleset. Sanksi yang didengungkan IAAF ternyata tak jadi dilaksanakan seperti rencananya semula. Sidang IAAF di London Januari lalu cuma menyepakati hukuman 3 bulan saja, terhitung mulai Desember, saat AG VIII dilangsungkan. "Apa tidak sakit," komentar Carolina setelah mendengar keputusan IAAF itu. Tapi, "pengunduran diri saya bukan lantaran kecewa tidak jadi dikirim ke Asian Games (VIII), lho." Carolina selanjutnya ingin menjadi pelatih. Ia bergabung dalam klub atletik Jayakarta. Tentang keinginan Carolina ini, Awang menyambut gembira. "Kita memang kekurangan pelatih," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus