CAROLINA Riewpassa 30 tahun, ingin menanggalkan sepatu larinya.
"Sudah capek," alasannya. "Sudah 13 tahun saya terjun di dunia
atletik. Saya kira sudah saatnya untuk mundur."
Pernyataan Carolina itu mengejutkan Persatuan Atletik Seluruh
Indonesia (PASI). "Apa benar?" tanya Sekjen PASI, Soejono. "Kok,
saya belum mendengarnya. Padahal, ia satu kantor dengan saya."
Carolina adalah karyawati Dinas Olahraga DKI Jakarta, dan
merupakan bawahan Soejono.
Juga Ketua Harian KONI Pusat, Soeprajogi terkesima mendengar
berita tersebut. Ia langsung menyuruh M. F. Siregar, Sekjen KONI
Pusat untuk mengecek kebenaran kabar itu, sekaligus untuk
membujuk lagi Carolina. "Pokoknya, bisa diatur," kata Siregar
meyakinkan Soeprajogi. Meski demikian Soeprajogi masih cemas
juga. Ia menyayangkan lantaran potensi Carolina untuk meraih
medali emas nomor atletik dalam SEA Games X di Jakarta,
September depan, masih bisa diandalkan.
Carolina, pemegang rekor nasional lari 100 m (11,7 detik) dan
200 m (24,2 detik), masih belum tergeserkan sejak prestasi itu
dibuatnya di Jerman Barat tahun 1972. Di belakangnya, memang ada
atlit muda Emma Tahapari. Tapi untuk SEA Games X nanti, Emma
kelihatan belum mampu untuk mengejar. "Prestasi Emma masih jauh
di bawah Carolina," kata bekas pelatih atletik AG Vlll, Awang
Papilaya. Untuk nomor 100 m, rekor Emma, 12,2 detik. Repotnya,
Emma bahkan sudah lama tak datang berlatih.
Mengawali sebagai atlit pelajar di Ujung Pandang tahun 1965,
Carolina merupakan satu-satunya atlit puteri domestik yang ambil
bagian dalam 2 kali Olympiade (Munich 1972 dan Montreal 1976)
serta 2 kali Asian Games (Bangkok 1966 dan 1970). Dari rangkaian
pertandingan itu, ia membawa pulang 2 medali perunggu nomor lari
100 m dan 200 m dari AG VI (1970). Dan hingga sekarang, ia masih
merupakan pelari wanita yang disegani di Asia.
Namun PASI tidak menurunkannya dalam AG VIII, mengingat ancaman
Federasi Atletik Amatir Internasional (IAAF), yang menskors
atlit yang berlomba di sana. "PASI tak ingin kehilangan atlit
terbaik dalam SEA Games X nanti," begitu pernah alasan Ketua
PASI, Sayidiman Suryohadiprojo.
Tapi perhitungan PASI ternyata meleset. Sanksi yang didengungkan
IAAF ternyata tak jadi dilaksanakan seperti rencananya semula.
Sidang IAAF di London Januari lalu cuma menyepakati hukuman 3
bulan saja, terhitung mulai Desember, saat AG VIII
dilangsungkan. "Apa tidak sakit," komentar Carolina setelah
mendengar keputusan IAAF itu. Tapi, "pengunduran diri saya bukan
lantaran kecewa tidak jadi dikirim ke Asian Games (VIII), lho."
Carolina selanjutnya ingin menjadi pelatih. Ia bergabung dalam
klub atletik Jayakarta. Tentang keinginan Carolina ini, Awang
menyambut gembira. "Kita memang kekurangan pelatih," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini