JAM 10 pagi mobil pemadam kebakaran sudah mulai menyiram jalan-
jalan dalam komplek Gudang Garam Kediri yang panas itu. Dua jam
kemudian, Minggu kemarin Menteri Perindustrian A.R. Soehoed
benar-benar datang. Suryo Wonowijoyo, yang empunya pabrik,
menyambut Menteri Soehoed di gerbang kantor besar itu,
mengenakan stelan putih-putih. Tahi lalatnya yang besar di dekat
dagu ditumbuhi beberapa biji rambut yang dibiarkannya memanjang
sampai dada . . . Dan koresponden TEMPO Dahlan Iskan, yang
melaporkan dari Kediri, memastikan bahwa GG -- yang barusan saja
membeli sebuah helikopter buatan PT Nurtanio -- akan
menggelembung lebih besar lagi. Laporan Dahlan selanjutnya:
Berada di komplek perusahaan yang didirikan tahun 1958, terasa
seperti di suatu kota satelit saja. Hampir setiap tahun muncul
bangunan baru. Kini sudah ada 6 unit produksi dengan areal lebih
80 Ha. Bangunan serba megah tampak mulai merayap pula ke arah
timur pabrik, sehingga mencapai daerah kabupaten. Lebih
mengesankan lagi: bentuk bangunannya, terutama atapnya, mirip
sekali dengan kelenteng.
Suryo Wonowijoyo, 60 tahun, pendiri GG yang oleh orang di Kediri
lebih dikenal sebagai Eng Wie, berasal dari daerah Hokian,
sebagaimana banyak keturunan Tionghoa di sini. Dari ketujuh
anaknya, 5 laki-laki, sebenarnya Tjoartonang yang diharapkan
bisa melanjutkan usaha Eng Wie. Tapi tahun 1974 putera sulung
yang sudah diberi jabatan komisaris utama, meninggal dalam suatu
kecelakaan mobil di dekat Mojokerto. Kini harapan itu tampaknya
dialihkan kepada puteranya yang lain, Rahman Halim.
Adalah Rahman, kini Direktur I GG, yang lebih banyak bicara. Dia
pula yang mengantar Soehoed berkeliling pabrik. Dilaporkannya
kepada Menteri Perindustrian selama tiga tahun terakhir ini
produksi GG 8 milyar batang (1976), lalu 9 milyar batang pada
1977, tapi turun sedikit menjadi 8,5 milyar batang selama tahun
lalu. Pembayaran cukai kepada pemerintah selama tiga tahun itu,
masing-masing Rp 22 milyar, menanjak menjadi Rp 35 milyar,
kemudian Rp 45 milyar tahun yang baru lewat.
"Membahayakan . . . "
Selama Januari ini saja GG, demikian laporan pimpinannya, sudah
membayar cukai Rp 5,5 milyar. Dan poduksi sekarang rata-rata 25
juta batang sehari. Bagi Menteri Keuangan Ali Wardhana, yang
amat mengharapkan masuknya penerimaan dari cukai rokok itu, ada
kabar baik: Produksi itu akan naik lagi kalau 20 unit mesin
filternya mulai bekerja. Selama ini baru 8 unit yang bekerja.
"Mungkin April atau Mei nanti yang 20 unit sudah bisa jalan,"
ujar Rahman kepada TEMPO. Dengan demikian, sebelum pertengahan
tahun ini, produksi diharapkan akan meroket mencapai sekitar 40
juta barang sehari.
Adapun armada buruhnya sekarang sudah 25 ribu orang. Bagi buruh
yang berasal dari luar Kediri -- kebanyakan dari Solo --
disediakan asrama. Setiap buruh mendapatkan upah Rp 240/1.000
batang untuk bagian penggilingan. Dan lp 630/1.000 batang untuk
bagian pelintingan. Jumlah buruh GG ini saja sudah melebihi 27
pabrik rokok kretek di Malang, termasuk raksasa Bentoel.
Keluarnya produksi filter GG tampaknya bakal menjadi saingan
tangguh Bentoel. Meskipun yang filter itu kabarnya melulu untuk
ekspor. GG mulai disukai di Malaysia. Dan dibungkusnya pun sudah
ditempeli peringatan: "Merokok itu bisa membahayakan kesehatan
anda," dalam bahasa Inggeris dan Melayu.
Bentoel yang dibuka oleh pemuda Ong Hok Liong 48 tahun lalu,
kini dikenal menduduki tempat kedua. Menguasai separoh dari
seluruh produksi rokok kretek di Malang yang 11,5 milyar batang
lebih selama tahun lalu, Bentoel benar-benar mekar di tahun
1970, dibawah asuhan Budi Wijaya. Pemikian juga, dari cukai
seluruh pabrik rokok kretek di Malang yang Rp 23 milyar lebih
tahun lalu, andil Bentoel Rp 11,5 milyar lebih. "Padahal tahun
1970 cukai Bentoel baru Rp 3,8milyar," ujar Waluyo dari Gabungan
Perusahaan Rokok Kretek Malang.
Tapi omong-omong, bagaimana dengan keluhan pabrik kretek kecil?
"Itu soal lain. Masalahnya soal pembelian tembakau dan cengkeh,"
Menteri Soehoed menjawab TEMPO.
Para fabrikan kretek yang kecil, yang tercecer di berbagai kota
seperti Semarang, Kudus, Malang dan Kediri misalnya, makin
merasa tertindih rupanya. Ketika Menteri Soehoed meninjau pabrik
rokok kretek di Semarang akhir Januari lalu, adalah direktur PT
Gentong Gotri Budiman Sutantyo yang mengeluh: "Produksi rokok
kretek di Indonesia 80% dihasilkan 6 besar." Selain GG dan
Bentoel, tak pelak lagi yang dimaksudkan Budiman antara lain
adalah Djarum dan grup Norojono Kudus.
Nah, kalau menurut Menteri Soehoed soal pembelian tembakau dan
cengkeh yang menjadi soal, bagaimana lalu menolongnya? Sembari
melihat-lihat kehebatan pabrik GG, baru ini jawaban Soehoed
"Nanti dulu dong. Pikir dulu baik-baik. Kalau terburu-buru nanti
salah lagi. "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini