Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

GG & Bentoel & Soehoed

Menteri Perindustrian A.R. Soehoed meninjau pabrik rokok Gudang Garam. Peningkatan produksi selama 3 th terakhir. Pembayaran cukai yang terus menanjak. Bentoel menduduki tempat ke-2 setelah Gudang Garam.(eb)

10 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAM 10 pagi mobil pemadam kebakaran sudah mulai menyiram jalan- jalan dalam komplek Gudang Garam Kediri yang panas itu. Dua jam kemudian, Minggu kemarin Menteri Perindustrian A.R. Soehoed benar-benar datang. Suryo Wonowijoyo, yang empunya pabrik, menyambut Menteri Soehoed di gerbang kantor besar itu, mengenakan stelan putih-putih. Tahi lalatnya yang besar di dekat dagu ditumbuhi beberapa biji rambut yang dibiarkannya memanjang sampai dada . . . Dan koresponden TEMPO Dahlan Iskan, yang melaporkan dari Kediri, memastikan bahwa GG -- yang barusan saja membeli sebuah helikopter buatan PT Nurtanio -- akan menggelembung lebih besar lagi. Laporan Dahlan selanjutnya: Berada di komplek perusahaan yang didirikan tahun 1958, terasa seperti di suatu kota satelit saja. Hampir setiap tahun muncul bangunan baru. Kini sudah ada 6 unit produksi dengan areal lebih 80 Ha. Bangunan serba megah tampak mulai merayap pula ke arah timur pabrik, sehingga mencapai daerah kabupaten. Lebih mengesankan lagi: bentuk bangunannya, terutama atapnya, mirip sekali dengan kelenteng. Suryo Wonowijoyo, 60 tahun, pendiri GG yang oleh orang di Kediri lebih dikenal sebagai Eng Wie, berasal dari daerah Hokian, sebagaimana banyak keturunan Tionghoa di sini. Dari ketujuh anaknya, 5 laki-laki, sebenarnya Tjoartonang yang diharapkan bisa melanjutkan usaha Eng Wie. Tapi tahun 1974 putera sulung yang sudah diberi jabatan komisaris utama, meninggal dalam suatu kecelakaan mobil di dekat Mojokerto. Kini harapan itu tampaknya dialihkan kepada puteranya yang lain, Rahman Halim. Adalah Rahman, kini Direktur I GG, yang lebih banyak bicara. Dia pula yang mengantar Soehoed berkeliling pabrik. Dilaporkannya kepada Menteri Perindustrian selama tiga tahun terakhir ini produksi GG 8 milyar batang (1976), lalu 9 milyar batang pada 1977, tapi turun sedikit menjadi 8,5 milyar batang selama tahun lalu. Pembayaran cukai kepada pemerintah selama tiga tahun itu, masing-masing Rp 22 milyar, menanjak menjadi Rp 35 milyar, kemudian Rp 45 milyar tahun yang baru lewat. "Membahayakan . . . " Selama Januari ini saja GG, demikian laporan pimpinannya, sudah membayar cukai Rp 5,5 milyar. Dan poduksi sekarang rata-rata 25 juta batang sehari. Bagi Menteri Keuangan Ali Wardhana, yang amat mengharapkan masuknya penerimaan dari cukai rokok itu, ada kabar baik: Produksi itu akan naik lagi kalau 20 unit mesin filternya mulai bekerja. Selama ini baru 8 unit yang bekerja. "Mungkin April atau Mei nanti yang 20 unit sudah bisa jalan," ujar Rahman kepada TEMPO. Dengan demikian, sebelum pertengahan tahun ini, produksi diharapkan akan meroket mencapai sekitar 40 juta barang sehari. Adapun armada buruhnya sekarang sudah 25 ribu orang. Bagi buruh yang berasal dari luar Kediri -- kebanyakan dari Solo -- disediakan asrama. Setiap buruh mendapatkan upah Rp 240/1.000 batang untuk bagian penggilingan. Dan lp 630/1.000 batang untuk bagian pelintingan. Jumlah buruh GG ini saja sudah melebihi 27 pabrik rokok kretek di Malang, termasuk raksasa Bentoel. Keluarnya produksi filter GG tampaknya bakal menjadi saingan tangguh Bentoel. Meskipun yang filter itu kabarnya melulu untuk ekspor. GG mulai disukai di Malaysia. Dan dibungkusnya pun sudah ditempeli peringatan: "Merokok itu bisa membahayakan kesehatan anda," dalam bahasa Inggeris dan Melayu. Bentoel yang dibuka oleh pemuda Ong Hok Liong 48 tahun lalu, kini dikenal menduduki tempat kedua. Menguasai separoh dari seluruh produksi rokok kretek di Malang yang 11,5 milyar batang lebih selama tahun lalu, Bentoel benar-benar mekar di tahun 1970, dibawah asuhan Budi Wijaya. Pemikian juga, dari cukai seluruh pabrik rokok kretek di Malang yang Rp 23 milyar lebih tahun lalu, andil Bentoel Rp 11,5 milyar lebih. "Padahal tahun 1970 cukai Bentoel baru Rp 3,8milyar," ujar Waluyo dari Gabungan Perusahaan Rokok Kretek Malang. Tapi omong-omong, bagaimana dengan keluhan pabrik kretek kecil? "Itu soal lain. Masalahnya soal pembelian tembakau dan cengkeh," Menteri Soehoed menjawab TEMPO. Para fabrikan kretek yang kecil, yang tercecer di berbagai kota seperti Semarang, Kudus, Malang dan Kediri misalnya, makin merasa tertindih rupanya. Ketika Menteri Soehoed meninjau pabrik rokok kretek di Semarang akhir Januari lalu, adalah direktur PT Gentong Gotri Budiman Sutantyo yang mengeluh: "Produksi rokok kretek di Indonesia 80% dihasilkan 6 besar." Selain GG dan Bentoel, tak pelak lagi yang dimaksudkan Budiman antara lain adalah Djarum dan grup Norojono Kudus. Nah, kalau menurut Menteri Soehoed soal pembelian tembakau dan cengkeh yang menjadi soal, bagaimana lalu menolongnya? Sembari melihat-lihat kehebatan pabrik GG, baru ini jawaban Soehoed "Nanti dulu dong. Pikir dulu baik-baik. Kalau terburu-buru nanti salah lagi. "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus