ALI Sofyan Siregar sudah menempa diri jauh sebelum turun
bertanding. Setiap hari, pagi dan sore, ia berlari sejauh 30 km.
Lepas subuh, ia biasanya berlari selama 90 menit. Karena letih,
tak heran setibanya di kantor Ali sering jatuh tidur sampai
pukul 10. Syukur pimpinannya di Kantor Wilayah Pariwisata DKI
Jaya tak sampai jengkel menghadapi perangainya.
Latihan berat Ali memang membuahkan hasil baik. Dalam
Kejuaraan Marathon Nasional 80 (di Jakarta, 23 November),
menempuh jarak 42,195 km ia berhasil tampil sebagai pemenang
pertama mengungguli lan Imang (juara kedua) dan Sutrisno (juara
ketiga). "Napas saya tadi hampir putus karena terhambat amandel
di leher ini," keluh Ali kepada wartawan TEMPO Bachrun Suwatdi.
Ali, bujangan berusia 22 tahun, merupakan produk lari gembira
yang digalakkan di Jakarta sejak 1976. Berlainan dengan lan
Imang yang memang seorang atlet pelari jarak jauh. Sambil
berbaring di tanah, Ali mengutarakan bahwa ia sesungguhnya sejak
awal tidak banyak berharap bisa mengalahkan Ian Imang--teman
satu klub di Indonesia Muda. Ambisinya hanya nomor dua
dibelakang lan Imang pelari asal Larantuka itu.
Ali memang benar. Bersama Yacob Atarury (Irian Jaya) dan
Sutrisno (Jawa Tengah), ia sampai menjelang finish jauh berada
di belakang lan. Di km 30 ketika kakinya mulai panas tak
tertahankan, Ali mencopot sepatunya. Ia sejak itu menempuh sisa
jarak dengan mengandalkan alas kaus kaki dan 25 balutan plester
tensoplast di kedua telapak kakinya Tapi dengan tekad harus
mencapai finish, ia terus membayangi lan yang mulai tampak
kendur. Dan di depan gedung DPR/MPR, 3 km menjelang garis akhir,
Ali melampaui lan.
Sekalipun keluar sebagai pemenang pertama, waktu tempuh Ali
(2 jam 40 menit 22,57 detik) masih jauh di bawah rekor nasional
(2 jatn 35 menit 39,6 detik). Di arena Asian Games 1962, Gurnam
Singh memancang rekor nasional itu -- yang belum terlampaui
hingga kini. Sementara lan dan Sutrisno masing-masing mencatat 2
jam 41 menit 47,08 detik dan 2 jam 42 menit 34,99 detik.
Siapa Ali Sofyan Siregar? Namanya mulai dikenal ketika pada
lomba lari 28 .km memperingati Hari Sumpah Pemuda 1978, ia
menduduki urutan kesembilan.
Juaranya waktu itu lan Imang. Karena ajakan lan ia lalu
bergabung dengan klub Indonesia Muda. Di klub inilah, di bawah
asuhan M. Asro, kemampuan Ali digali. Beberapa kejuaraan
marathon diikutinya. Tapi baru pada Marathon Hangten I (Bangkok)
tahun lalu, ia menonjol dan berhasil meraih emas. Daya tahannya
terhadap terik matahari membuat dia berhasil menyisihkan pelari
dari negara lain. Meskipun catatan waktunya hampir tiga jam.
Kenapa lan Imang, merosot? Pelatih M. Asro mengakui bahwa lan
memang kurang berlatih karena sering pulang dari kantor
menjelang maghrib. Bekerja di Direktorat Pembekalan Dalam Negeri
Pertamina, lan praktis hanya punya waktu luang hari Sabtu dan
Minggu saja. Walau demikian, ia setiap hari tetap berlatih
menempuh 30 km.
Asro juga mengaku salah menduga kekuatan lan. Anak asuhannya
itu diperintahkannya melakukan pengaturan langkah yang tinggi
untuk mempertajam rekor nasional. Ian memang mampu memenuhi
permintaan Asro: menempuh 10 km pertama dengan 34 menit. tapi
pada kilometer berikutnya, kemampuan lan merosot pelan-pelan.
"Ia rupanya tidak cukup mampu untuk kecepatan setinggi itu,"
ulas Asro. "Kali ini saya memang gagal. Tapi di Honolulu nanti (7
Desember), saya akan tumbangkan rekor nasional," kata lan kepada
TEMPO,
Bagio & Elang
Ian dan Ali, kabarnya disiapkan untuk mengikuti lomba
Marathon Honolulu. Tapi bagaimana mungkin keduanya akan mencapai
kondisi prima dalam sisa waktu dua pekan. Sebab biasanya,
seorang pelari marathon sehabis mengikuti lomba, sedikitnya
membutuhkan waktu sebulan untuk memulihkan kekuatannya. Agak
janggal akhirnya bila memaksa keduanya turun di Honolulu.
Padahal di AS banyak lomba marathon diselenggarakan hampir dua
kali sebulan. Tinggal pilih.
Betapa pun catatan waktu para pelari mengecewakan, Kejuaraan
Marathonas 80, diikuti 64 pelari dari 17 daerah termasuk dua
utusan Timor Timur, cukup unik Di Stadion Utama Senayan, tempat
start dan finish, sekitar 6.000 penonton menyaksikan lomba ini.
Sambil menunggu pelari memasuki garisfinish penonton disuguhi
lawakan S. Bagio dan senandung beberapa penyanyi. Juga diselingi
sejumlah pertandingan atletik cilik. Untuk pertama kali terjadi,
setiap penonton dipungut Rp 300 buat menyaksikan marathon itu
dari tribune Stadion Utama.
Dan di arena itu tampak jelas, atlet Jakarta masih lebih
unggul ketimbang rekannya dari daerah. Enam-di antara 18 pelari
yang memenuhi persyaratan (3 jam 10 menit) prakualifikasi PON X
tahun depan adalah atlet Jakarta. Atlet daerah memang belum
menonjol. Sembilan atlet Jawa Barat, misalnya, tak satu pun mampu
menembus tembok persyaratan itu. "Peminat marathon di Jawa Barat
memang banyak, tapi jarang ada pertandingan," kata Elang, pelari
bernomor 81. Karenanya untuk mengasah kemampuan, ia selalu harus
ke Jakarta mengikuti pertandingan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini