BANYAK orang ingin mendekati Johan Cruyff. Bintang sepakbola
itu yang tampil di Stadion Utama Senayan pekan laiu seolah
dianggap luar biasa. Ketika pertandingan usai, Cruyff memang
luarbiasa kencang menyembunyikan diri di kamar pakaian. Takut?
Angkuh?
Datang ke Jakarta bersama kesebelasan Washington Diplomats
(WD), anggota Liga Sepakbola Amerika Utara (NASL), pemain asal
Belanda itu sesungguhnya Ingin bergaul dan ramah.- Dalam suatu
jamuan cocktail di Hotel Sahid, diamalah bersedia dipotret
bersama siapa saja yang memintanya. Dia juga mau minum wiski dan
merokok dengan para pengagumnya.
Kamis malam itu ia mengenakan celana hitam yang kontras
dengan kemeja biru -- tampak sederhana. Cuma arlojinya, sekalian
talinya, yang terbuat dari emas murni, kelihatan mentereng.
"Saya cuma orang biasa," katanya dalam bahasa Inggris.
Putra bekas pengusaha kantin ini tampak tidak kampungan dalam
tutur bahasanya. Dia justru menuntut sikap sopan-santun dari
siapa pun, apalagi bila istrinya, Dany, putri jutawan Cor
Coster, hadir (lihat Pokok & Tokoh).
Melawan PSSI Utama, kemudian Galatama Selection, dia sebagai
kapten memang menonjol. Sama seperti rekannya dari negeri
Belandla, Wim Jansen, yang bermain di poros belakang, Cruyff
sering berteriak memberi komando. Adakalanya dia membentak di
lapangan.
"Anda harus bisa mempergunakan seluruh organ tubuh anda bila
di lapangan. Dan terutama otak," katanya sambil menaruh jari di
dahblya yang agak berkerut.
Gemar Protes
Tentang pemain PSSI Utama, Cruyff berkomentar, " mereka cepat
sekali, punya ketrampilan, tapi masih kurang akurat dalam
mengoper bola." Nasihatnya ialah supaya setiap pemain
"mencocokkan diri dalam tim."
Dia paling gemar memprotes wasit. Di Senayan kelihatan wasit,
sering ragu. "Wasit yang baik adalah bila ia memimpin demikian
rupa sehingga tak ada pemain yang cidera," katanya. Walaupun
setiap pemain WD sudah diasuransikan, "sebaiknya jangan sampai
cidera terjadi, ujarnya lagi.
Pemain WD berwajah Melayu, Garry Darrel dari Bermuda mengaku
bahwa pemain yang cidera akan dirawat dan berhak menerima 85%
gajinya selama 3 tahun. Ketika klub ini baru berdiri, tahun
1974, pemainnya menerima US$ 25.000 setahun. Bayarannya sekarang
sudah lebih tinggi. Terutama karena bintang tenar seperti Franz
Beckenbauer, Pele dan Johan Cruyff menaikkan pasaran pemain
berbagai klub di AS.
Superstar sekarang menerima sekitar $ 500.000 setahun.
"Selain itu Beckenbauer mendapat mobil Mercedes, sedang kami
cukup Monte Carlo," cerita Darrel.
Walau sering pulang ke Negeri Belanda, Cruyff tidak mau lagi
menerima kontrak klub di Eropa. Dia masih mau bermain secara
insidentil saja, misalnya, di klub Ajax. "Saya tidak meremehkan
daya saing sepakbola internasional, tapi saya sudah putuskan
untuk tidak ikut lagi," tandasnya. Terakhir dia memperkuat tim
nasional Belanda ke Kejuaraan Piala Dunia 1974 di Jerman Barat.
Johan Cruyff, 33 tahun, memilih pindah ke Amerika "untuk
membantu perkembangan sepakbola di sana." Mula-mula ia ikut klub
Cosmos, kemudian bergabung dengan klub Aztecs, dan sekarang
memperkuat klub WD. Manager WD, Gordon Bradley menambahkan, "
sepakbola belum populer di AS. Itu sebabnya kami berusaha
menarik publik dengan menyuguhkan permainan cantik."
Klub WD bisa sampai di Jakarta karena diatur oleh Frank Yu,
seorang pengusaha kelahiran Hongkong yang juga jadi promotor
sepakbola prof di Brazil. Yu merahasiakan berapa biayanya. "Yang
pasti PSSI tidak rugi," katanya.
Sponsor pertandingan WD di Senayan adalah perusahaan iklan
terbesar di Jepang, Dentsu. Dari pertandingan pertama yang
berakhir dengan kekalahan PSSI Utama (0-2), masuk uang Rp 60
juta dari sekitar 80.000 penonton. Ketika Galatama Selection
dikalahkan (0-3), jumlah penonton merosot separuhnya. Hari kedua
itu cuaca jelek, namun WD menyuguhkan permainan yang lebih
bersemangat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini