SETIAP pagi mulai jam 04.30, landasan maupun apron (tempat
parkir pesawat udara) pelabuhan udara itu diperiksa. "Jika
selesai dan tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan, barulah
landasan itu dinyatakan siap operasi," ujar Letkol (P) Suherman,
Perwira Pelaksana Pelabuhan Udara TNI AL Juanda pekan lalu
kepada TEMPO. Tapi suatu pagi pertengahan Mei, seorang petugas
melihat garis-garis halus di permukaan apron yang baru saja selesai
diperluas dengan menggunakan sistem "Cakar Ayam". Tak serius
waktu itu.
Kebetulan Menteri PU, Poernomo sidi Hadjisarosa, meninjau
Peludal Juanda, 13 November, dan menemukan retakan dalam beton
apron itu. Sekali ini serius halnya. Poernomosidi menjelaskan
bahwa sebetulnya perencananya sendiri (PT Cakarbumi) melaporkan
tentang itu hingga ia datang meninjau.
Prof. Dr. Ir. Roosseno, ahli konstruksi beton, dalam suatu
interpiu TEMPO baru-baru ini menyangsikan tentang pemakaian
sistem "Cakar Ayam" itu. Justru sistem itu pula yang akan
diterapkan pemerintah untuk proyek pelud internasional di
Cangkareng, Jakarta.
Apron Peludal Juanda yang dulu 22.000 m2, sejak tahun lalu
diperluas dengan 12.000 m2 lagi. Apron lama tidak mampu lagi
menampung arus penerbangan yang semakin sarat. Perluasan itu
dilaksanakan oleh PT Yala Persada Angkasa dengan biaya hampir
Rp 345 juta. Maka sistem fondasi "Cakar Ayam" yang direncanakan
PT Cakarbumi pertama kali digunakan untuk landasan pelabuhan udara.
Pekerjaan ini berlangsung selama lima bulan dan selesai beberapa
hari sebelum waktu yang ditetapkan, 15 September 1979.
Oktober tahun lalu, parkir sebuah pesawat DC-10 dicoba di
apron baru itu. Ternyata tidak ada kelainan. Sebuah tim Fakultas
Teknik UGM, yang juga mengadakan evaluasi, menilainya memuaskan.
Serangkaian percobaan diadakan lagi kemudian.
Pertengahan April, apron itu mulai dipakai sepenuhnya. Setiap
hari ratarata 22 pesawat diparkir di situ. Segala jenis seperti
DC-10, DC-9, Boeing-707, F:28 Hawker Siddely, Viscount dan
Electra. Tapi baru satu bulan berlang sung, retakan di apron itu
ditemukan.
Karena ada retakan itu, penggunaannya dibatasi untuk parkir
pesawat seperti jenis HS atau VC, dan paling banter jenis F-27.
" Pokoknya pesawat yang pakai mesin jet tidak boleh lagi parkir
di apron itu," ujar seorang petugas di Juanda .
Retak-retak itu bukan hanya terdapat pada bagian apron yang
dekat tower saja. Ternyata itu juga terdapat di mana-mana. Ada
yang sambung menyambung, ada pula yang malang melintang.
"Ah, retak-retak itu kecil," ujar Ir. Rijanto P. Hadmodjo,
"tak sampai setengah milimeter." Dirut PT Cakarbumi itu tampak
tenang. "Sifat beton memang begitu, ' sambungnya. Ia
mengingatkan pada pameo tentang gading: "Kalau tak ada krek
(retak) maka bukan beton namanya."
Gajala Biasa
Menurut Poernomosidi yang dikutip koran Sinar Harapan, beton
retak merupakan gejala biasa. Besi betonlah yang menanggung
beban tarik. Beban ini dapat terjadi karena adanya pengerutan
akibat perubahan temperatur. Inilah yang diduga menjadi sumber
keretakan di apron Juanda, sekalipun konstruksi "Cakar Ayam"
mempunyai keistimewaan karena tidak terdapat sambungan ekspansi.
Satu lagi faktor luar yang disebutkan Menteri PU ialah adanya
kemungkinan tanah pendukung apron -yang sebagian merupakan tanah
baru-cukup berpengaruh pada perhitungan kekuatan konstruksi.
Sistem "Cakar Ayam" memang penting mempertahankan keaslian
tanah. Pada pembuatan apron baru di Juanda itu, terdapat
sebagian tanah urugan, terutama di tepi timur dan selatan.
Pelaksana PT Yala Persada Angkasa menyebutkan jumlah tanah
urugan hampir 11.000 m3. Pemadatannya dilaksanakan dengan
bulldozer dan peralatan khusus. Juga hujan membantu mempercepat
proses pemadatan itu.
Menurut Rijanto, apron Juanda itu sebetulnya masih merupakan
percobaan. "Tes proyek, yang setiap waktu, kami awasi terus,"
ujarnya. Tes pertama dengan tim UGM sudah selesai. Kini
dipersiapkannya tes kedua dengan pembebanan yang lebih luas.
"Bisa saja retak-retak itu diguyur dengan air semen hingga
tertutup," ujarnya, "tapi kita kan masih mau lihat apakah
seterusnya akan baik."
Bagaimana kalau retak itu semakin besar? " Saya sendiri tak
tahu retak yang bagaimana bisa dikategorikan berbahaya," jawab
Rijanto.
Berdasar Bestek
Apron di Juanda ditetapkan setebal 14 cm. Rijanto mengakui
bahwa menurut perhitungan, ketebalan untuk sistem "Cakar Ayam"
selayaknya 15 cm. "Lebih tebal tentu lebih aman," katanya.
Masalahnya bukan keamanan itu saja, tapi juga apakah masih
layak secara ekonomis. Dalam kesempatan lain Rijanto pernah
mempersoalkan penambahan ketebalan pada rencana landasan pelud
internasional di Cengkareng (TEMPO 15 November) hingga menjadi
17 dan 20 cm. "Saya yakin ketebalan 15 cm sudah cukup kuat,"
katanya ketika itu.
Penambahan 5 cm akan berarti besar. Kalau dihitung 5 cm kali
luas I,2 juta m2 (rencana luas landasan dan apron Cengkareng),
berarti 60 ribu m3. Dengan harga Rp 50.000 per kubik, menurut
Rijanto, "Bukankah itu berarti Rp 3 milyar?"
Maksudnya ialah ketebalan minimal itu sudah memenuhi faktor
keamanan. Kalau harus ditambah, agar lebih aman lagi, "itu kan
pengeluaran yang cuma-cuma saja," ujar Rijanto. Bila perhitungan
ini diterapkan pada apron di Juanda yang seluas 12.000 m2,
selisih 1 cm itu berarti penghematan Rp 6 juta.
Ir. Sartomo Sarsito tak tampak khawatir atas berita
retak-retak di apron Juanda itu. "Kami kan pemborong yang
bekerja berdasarkan bestek," ujar Dirut PT Yala Persada Angkasa
itu. "Kami pelaksana. Di atas kami'ada perencana dan pengawas."
Menurut Sartomo, yang disorot sekarang sistem "Cakar Ayam"
itu sendiri. "Kalau soal itu, saya angkat tangan."
Pokoknya, perusahaannya juga akan melaksanakan pembuatan
landasan di Pelud Polonia, Medan, dengan sistem "Cakar Ayam".
"Desember ini mulai," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini