Karena bisnis lesu, Djarum Kudus menyunat dana pembinaan olahraganya. Gudang Garam memulangkan sebagian atlet. ROKOK dan olahraga sering berjalan seiring walau umumnya atlet dilarang merokok. Lesunya pemasaran rokok ternyata berdampak pada menurunnya kegiatan olahraga yang dibina pabrik rokok itu. Perusahaan Djarum di Kudus, misalnya. Sudah 22 tahun perusahaan ini membina klub-klub olahraga dengan dana tercukupi. Kini dana itu kena pangkas tajam. "Tahun lalu Rp 2 milyar setahun, kini hanya Rp 500 ribu," kata Ketua Bidang Pembinaan POR Djarum Kudus, Ir. Prasetyo Hadiwinata. Ada lima cabang -sekitar 200 atlet -yang dibina Djarum: bulu tangkis, sepak bola, bola voli, tenis meja, dan judo. "Untuk membubarkan salah satu cabang olahraga cukup susah. Semua saling berkait dengan pihak pemerintah, KONI, dan masyarakat," kata Prasetyo. Menurut sumber TEMPO, produksi Djarum, yang dulu 125 juta batang per hari, kini hanya 75 juta. Untuk mengatrol pemasukan, terpaksa rokok itu dijual di bawah harga bandrol dengan Rp 750/16 batang dan Rp 550/12 batang. Sebagai akibatnya, Djarum menghemat. Dana promosi, bantuan sosial, dan pembinaan olahraga diciutkan. "Shuttlecock diirit. Tadinya 30 dos setiap latihan, sekarang hanya 20 dos," kata Ketua PB Djarum, Syaiful Arisanto. Seleksi atlet pun diperketat. Tahun ini 12 pemain dipulangkan karena prestasinya menurun. Namun, target regenerasi menggantikan atlet senior di Pelatnas tetap digenjot. Uang makan, pengobatan, dan beasiswa bagi atlet berjalan terus. "Semangat latihan mereka masih baik. Kami tetap memotivasi mereka," kata Arisanto. Namun, tanda-tanda kelesuan tak tampak di pusat latihan PB Djarum. "Kami dituntut latihan terus dan didorong untuk berprestasi," kata Bunari, atlet senior dari pusat latihan PB Djarum di Surabaya. "Fasilitas itu sangat cukup," kata Emilia, atlet junior yang telah bergabung empat tahun di PB Djarum. Seretnya dana Djarum ini rupanya berdampak ke klub altetik Dragon, Salatiga. Klub yang berdiri sejak 1982 ini memang mengandalkan uang Djarum. Oktober lalu, misalnya, dana Rp 1,2 juta belum mereka terima. "Saya sudah pusing memikirkannya," kata Manajer Dragon, Yon Daryono. Maka, pagi-pagi ia sudah berteriak cari donatur. Kalau tak ada yang membantu, Dragon bakal mati. Rupanya, jeritan ini didengar PGRI Jawa Tengah. Yon pun jadi terharu. "Mengapa mereka bukannya mengurusi kesejahteraan guru, tapi membantu kami?" kata Yon kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Bagaimana pabrik rokok Gudang Garam (GG) Kediri? Klub tenis meja Sanjaya Kediri masih ada walau sinarnya kurang terang. Jumlah atletnya yang 40 orang dikurangi. "Jumlah itu terlalu banyak, 20 atlet dipulangkan ke rumah," kata Pelatih PTM Sanjaya, Diana Wuisan. PTM Sanjaya berdiri 1981. Atletnya diasramakan. Gedung tenis mejanya termegah di Indonesia, di kompleks GG. Fasilitas cukup. Toh, belakangan, empat atlet top Sanjaya -Rosi, Ling Ling, Can Ling, dan Eddy Sutomo -pindah ke PTM Pupuk Kaltim. Itu membuat Sanjaya kecewa walaupun ada uang transfer Rp 8 juta per atlet. "Jumlah ini tak sebanding dengan membinanya," kata Diana. GG kini menyediakan dana Rp 25 juta per bulan untuk Sanjaya. Uang itu antara lain untuk menggaji pelatih, uang saku pemain, dan uang sekolah atlet. Diana membantah mengecilnya jumlah atlet Sanjaya karena GG mengurangi dana akibat ruwetnya dunia cengkeh. "Itu tak betul," katanya. WY, Bandelan Amarudin, dan Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini