Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu hari di bulan Agustus 2005. Faksimile di kediaman Juan Ma-nuel Marquez di Anaheim, Cali-for-nia, Amerika Serikat, tiba-tiba berbunyi. Kertas yang baru saja keluar dari mesin milik petinju asal Mek-siko itu mengabarkan berita duka: Federasi Tinju Internasional (IBF) telah mencabut gelar juara dunia kelas bulu yang disandangnya.
Marquez meraih gelar juara versi IBF itu pada 2003 setelah merobohkan rekan senegaranya, Manuel Medina. Sembilan bulan kemudian kepalan tangannya kembali memakan korban. Kali ini ia mengalahkan Derrick Gainer. Untuk itu, sekaligus ia merebut sabuk juara ver-si Asosiasi Tinju Dunia (WBA).
Sesuai dengan per-atur-an WBA, pe-nyan-dang gelar juara WBA yang ju-ga memegang sa-buk jua-ra dari ba-dan tinju lain—IBF, WBC (Dewan Tin-ju Dunia), atau WBO (Or-ganisasi Tin-ju Du-nia)—berhak menyan-dang status super-champion alias super-juara.
Karena itu, predi-kat super-champ-ion yang disandang Marquez gugur, seiring pencabutan gelar juara IBF. Yang membuat Marquez sedih, ia kehilangan gelar bukan lantaran kalah ber-tanding di atas ring.
Lalu, pelanggaran apa yang sudah dila-kukan Marquez? ”Tidak ada kesa-lah-an apa pun dari petinju itu. Kami pun sangat menyayangkan harus menca-but gelar ini,” kata Ketua Komite Pertan-dingan, Lindsey Tucker, seperti dilansir ESPN.com.
Pencabutan gelar berawal dari renca-na IBF melangsungkan mandatory fight (pertandingan wajib) antara Marquez dan Phafrakorb Rakkiatgym, petinju- asal Thailand yang kurang dikenal. Ma-salah muncul lantaran tak ada satu pun promotor yang bersedia mendanai pertandingan yang bayaran mi-nimalnya hanya US$ 50 ribu (sekitar Rp 500 juta) ini.
Menurut Tucker, IBF sudah dua kali (26 Juli dan 5 Agustus 2005) menawarkan pertanding-an wajib itu ke-pada pihak promotor dan ma-najer Marquez. Namun, pe-nawaran itu tak pernah men-dapat tanggapan. Padahal angka US$ 50 ribu bukan jum-lah besar untuk menggelar per-tandingan juara dunia. ”Kami tahu Juan Manuel Mar-quez tidak ber-salah, ta-pi jua-ra mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan gelar,” katanya.
Top Rank, yang menjadi promotor- Marquez, mengakui mereka enggan menanggapi tawaran IBF tersebut. Apalagi mereka sering terlibat masalah de-ngan Marquez dan manajernya, Ignacio Beristain. ”Saya tidak mau uang saya ter-buang percuma untuk menggelar per-tandingan seperti itu,” ujar Presiden Top Rank, Todd duBoef.
Ia menunjuk Rakkiatgym, yang pernah dipukul jatuh di ronde pertama oleh petinju Filipina, Manny Pacquiao. Dengan catatan seperti itu, tentu partai Marquez-Rakkiatgym sangat tidak menarik ditonton. ”Ini pertarungan yang tak dapat dijual,” kata duBoef.
Marquez sendiri pernah berhadap-an dengan Pacquiao pada Mei 2004. Di ronde pertama, ia jatuh tiga kali dihantam pukulan-pukulan petinju Filipina itu. Namun, ia bisa bangkit, memukul balik, dan mengakhiri pertandingan dengan seri. Pertarungan yang disiarkan langsung stasiun televisi HBO ini ter-nyata mendapat respons dari jutaan penonton. HBO lantas menawari Top Rank untuk menggelar pertandingan ulang kedua petinju itu.
Top Rank se-tu-ju. Mereka mende-kati Marquez dan me-na-war-kan bayaran US$ 750 ribu (se-kitar Rp 7,5 mi-liar). Tapi, pe-tin-ju berjuluk ”Dinamit” ini meminta ba-yar-an US$ 1,5 juta (sekitar Rp 15 mi-liar). Per-mintaan itu dianggap terlalu mahal. Ak-hirnya Top Rank tak menying-gung-nying-gung lagi partai ulang Marquez vs Pacquiao.
Menyusul kemenangan Marquez atas Victor Polo, situasi berubah. Top Rank—atas permintaan HBO—bersedia memberikan bayaran US$ 1,5 juta kepada Marquez. Hanya, lawannya bukan Pacquiao, melainkan Erick Morales, yang dua bulan sebelumnya mengalahkan Pacquiao. Lagi-lagi Marquez mengajukan permintaan bayaran setinggi langit. Kali ini ia memasang tarif US$ 3,5 juta.
Ketidakcocokan harga ini diperkira-kan membuat Top Rank kecewa. Di ke-mu-dian hari, Top Rank ”membalas” de-ngan- ogah-ogah-an -mendanai pertan-dingan Marquez. Bun-tut-nya, Mar-quez tak bi-sa meng-ikuti per-tandingan yang di-wajib-kan IBF dan berbun-tut pencopotan ge-lar jua-ra IBF itu.
Karena itu, dalam pertan-ding-an mela-wan petinju Indonesia, Chris John, Sabtu pe-kan lalu, ia hanya ber-status sebagai pe-nan-tang biasa. Chris John sendiri merupa-kan pemegang sabuk- juara WBA se-jak meme-nangi per-ta-n-dingan pe-re-butan gelar interim (sementara) melawan petinju Kolombia, Oscar Leon.
Partai Chris John versus Mar-quez itu ber-nilai -US$ 131 ribu (sekitar Rp 1,31 miliar). Pembagiannya, Chris John sebagai pemegang sabuk juara menerima 75 persen dan sisanya untuk Marquez yang kini telah berusia 32 tahun.
Di mata Marquez, Chris John memiliki ke-sa-maan gaya bertarung dengan Manny Pacquiao. Ia pernah me-rasakan kerasnya kepalan tangan pe-tin-ju Filipina yang mendapat julukan Pac Man itu pada 2004.
Chris John me-nyim-pan ambisi men-jadi juara seja-ti kelas bulu dunia. Apalagi setelah da-lam pertandingan terak-hir ia berhasil mengkanvaskan Tommy Browne di ron-de ke-10.
Bukan hanya Marquez yang menjadi incaran Chris John. Pemegang sabuk juara WBO, Scott Harrison, dan In Jin Chi asal Korea yang menguasai sabuk WBC, merupakan target berikut lelaki kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, ini. Namun, target untuk menundukkan In Jin Chi harus dibelokkan. Soalnya, sejak akhir Januari lalu sabuk itu telah berpindah ke tangan petinju Jepang, Takashi Koshimoto.
Persaingan di kelas bulu memang ke-tat, diwarnai petinju-petinju hebat yang pamornya masih garang. Di si-ni ada Derrick ”Smokin” Gainer dari Ame-rika, yang mantan juara dunia WBA. Ada pula Erik ”El Terrible” Morales asal Mek-siko, yang bekas juara dunia kelas super-bulu WBC. Dan tak kalah penting, Manny ”Mr. Pac Man” Pacquiao asal Filipina, sang juara di kelas bulu super WBC.
Manny Pacquiao, jagoan kelahiran General Santos, Filipina, naik daun setelah menggebuk KO petinju legenda-ris Marco Antonio Barrera pada 2003. Terlebih setelah itu ia juga berhasil menjatuhkan Erick Morales Januari lalu. Padahal Morales dikenal sebagai fighter dengan gerakan kaki yang lincah dan daya hindar yang licin.
Petinju yang digem-bleng pelatih top asal AS, Freddy Roach (mantan pelatih Mike Tyson dan Michael Moorer), itu kini menjadi tokoh paling populer di Filipina. Keberhasilannya menjadi ilham bagi Filipino—sebutan untuk orang Filipina.
Ada pula Acelino Freitas. Juara dunia kelas super-bulu WBA asal Brasil ini belum terkalahkan dalam 35 kali pertarungan. Bahkan 31 kemenangan ia peroleh dengan memukul jatuh lawan.
Parade para jawara di kelas bulu makin ingar-bingar bila petinju Inggris keturunan Yaman, sang Pangeran Naseem Hamed, benar-benar kembali ke ring tinju. Naseem sempat menghilang setelah kalah melawan Marco Antonio Barrera.
Maka, siapa pun pemenang pertandingan Chris John versus Juan Manuel Marquez, ia akan menjadi bintang baru yang menambah sengit persaingan di antara para jawara kelas bulu dunia.
Suseno (berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo