Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENJARA tak membuat Nazaruddin Sjamsuddin me-lupa-kan olahraga. Setiap pagi sesudah salat subuh, bekas Ketua Komisi Pemilihan Umum ini bergegas meninggalkan sel berukuran 5 x 20 meter di Blok B yang dihuninya. Dia menuju ke sebuah bangsal tak jauh dari sel tahanan Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya. Sebuah meja tenis sudah menantinya.
Dalam bermain pingpong, dia sering berpasangan dengan Hamdani Amin, mantan Kepala Biro Keuangan KPU yang ber-ada di blok yang sama. Mereka dijuluki pasangan maut oleh rekan-rekannya karena sering menang. Pasangan Nazaruddin-Hamdani bahkan pernah mengalahkan dua terdakwa teroris yang ditangkap di Semarang. Padahal, lawannya jauh lebih muda. ”Menang atau kalah tak jadi soal, yang penting bugar,” ujarnya kepada Tempo yang mengunjunginya, Kamis sore pekan lalu.
Di usianya yang sudah kepala enam, ayah tiga p-utri dan seorang putra itu tak -ingin menguras banyak te-na-ga da-lam berolahraga. Itu se-babnya dia enggan bermain badmin-ton. Selain berolahra-ga, Na-zaruddin dulu suka mem-baca dan menulis. N-amun, kegiatan ini tak lagi di-la-ku-kannya setelah terjerat kasus korupsi. Membaca beri-ta di me-dia massa pun kini dia agak ma-las.
Nazaruddin ditangkap pe-tugas Komisi Pemberantasan Korupsi pada Mei tahun lalu. Sebagai Ketua KPU, dia ditu-duh melakukan korupsi peng-adaan asuransi petugas pemilu yang merugikan negara sekitar Rp 14,1 miliar. Guru Besar Ilmu Politik, Universitas Indonesia, ini akhirnya dinyatakan bersalah oleh Peng-adilan Korupsi, Jakarta, pada Desember lalu. Dia divonis tujuh tahun penjara. Kendati telah divonis, Nazaruddin tidak dipindahkan ke penjara. Dia tetap dititipkan di tahanan Polda Metro Jaya ber-sama pengurus KPU lain-nya yang jadi terdakwa.
Sore itu, kebetulan istri-nya, Nurnida Ishak, dan ke-dua putrinya sedang menje-nguk Nazaruddin. Di ruang ta-mu tahanan, mereka meng-obrol dan bersenda gurau. Sang guru besar tampak ceria. Wajahnya pun kelihatan segar. ”Bagaimana tidak ce-rah, saya jadi lebih banyak is-ti-rahat di sini,” ujarnya sera-ya menceri-takan kesibuk-an-nya ketika menyelenggara-kan pemilu.
Tak lama berselang, azan mag-rib pun terdengar. Nur-nida buru-buru membuka tas kuning yang dibawanya. Gelas plastik berisi jus dan dua kotak berisi ketan berbungkus daun pisang disuguhkan. Nazaruddin segera berbuka puasa Senin-Kamis yang dijalaninya.
Di ruang tamu lainnya terli-hat beberapa tersangka dan terdakwa kasus korupsi. Ham-dani sedang berbincang-bincang dengan istrinya di sebuah sudut. Tak jauh darinya, Un-tung Sastrawijaya, seorang peng-usaha yang dijerat kasus peng-adaan kertas segel u-ntuk pe-milu, sedang mengobrol de-ngan seorang perempuan. S-aat itu tidak terlihat Daan Di-mara, anggota KPU yang ju-ga dibelit kasus kertas segel. Di tahanan Polda, Daan dan Untung berada satu sel de-ngan dua terdakwa kasus bom Ku-ning-an.
Bila tidak ada kunjung-an ke-luarganya, Nazaru-ddin kerap menghabiskan wa-ktu un-tuk mengobrol dengan dua terdakwa kasus korupsi lain-nya, Rusadi Kantaprawira, juga anggota KPU, dan Is-hak Harahap dari Direkto-rat Anggaran Departemen Ke-uangan. Keduanya menjadi teman satu sel Nazaruddin.
Jika Nazaruddin menghindari bulu tangkis, Mulyana W. Kusumah justru menggandrungi olahraga ini. Hampir setiap pagi, ayah dari dua putra dan dua putri ini selalu bermain badminton di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta. Dia tak takut kehabisan kok karena putra keduanya, Guevara Santayana, rajin me-ngi-rim-kan untuknya. ”Bebe-rapa pekan setelah vonis, Papa ju-ga minta dibawakan sepatu dan kaus,” kata Guevara.
Mulyana divonis 2 tahun 7 bulan penjara oleh Pengadil-an Korupsi, Jakarta, pada Sep-tember tahun lalu. Dia di-nyatakan bersalah dalam ka-sus penyuapan seorang au-di-tor Badan Pemeriksa Ke-uang-an.
Di Salemba, kini Mulyana meng-inap di Blok H bersama sejumlah penghuni lain seperti be-kas Menteri Agama Said Agil Hu-sin al-Munawar. Hanya be-lakangan dia mulai bosan ber-main badminton. Dosen FISIP Universitas Indonesia ini memilih berlari kecil di-ikuti gerakan ringan setelah salat Subuh.
Olahraga membuat lelaki 57 tahun itu tampak segar. Men-jelang siang, dia mengha-biskan waktunya dengan membaca koran dan majalah sam-bil menikmati rokok. Setiap hari Mulyana selalu me-la-lap sekitar delapan koran dan dua majalah. Kebiasaan ini dulu juga dia lakukan se-be-lum masuk penjara
Terkadang Mulyana me-nuang-kan pendapatnya me-ngenai berbagai masalah so-sial dan politik dalam tulis-an. Artikel yang ditulis ta-ngan kemudian diberikan ke-pa-da Gina Satriyana, putri per-tamanya, untuk diketik. Be-berapa sempat dikirim ke me-dia cetak, namun tidak di-muat. ”Sejak itu saya meminta anak saya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan itu. Sia-pa tahu kelak berguna,” ujar Mulyana ketika ditemui Tempo di Rumah Tahanan Salemba, Jumat pekan lalu.
Belakang ini dia sedang me-nulis tentang kecende-rungan ”Kiri” di Amerika Latin. Bahan diambil dari berita media yang dibacanya. ”Bebe-ra-pa kasus yang terjadi di sana me-mang mengarah ke situ,” ka-ta-nya.
Selain membaca koran, Mul-yana juga rajin melalap bu-ku-buku tentang politik, eko-nomi, kriminalitas, dan bah-kan agama. Di rak selnya ter-dapat buku-buku agama se-perti Menjadi Sufi karya Syaikh Abunajib Suhrawadi, Allah Menyambut Shalatku, dan Berguru kepada Allah, keduanya karya Abu Sangkan, dan Zikir dan Kontemplasi Tasauf (Mir Valiudin).
Kalau sudah penat membaca dan menulis, barulah Mul-yana keluar dari selnya untuk mengobrol dengan peng-huni lain. Dia sering bermain gaple dengan Abdullah Puteh, saat terpidana kasus korupsi peng-adaan helikopter MI-17 ini masih menginap di sana. Bila ingin bermain catur, Mul-ya-na bertandang ke sel Said Agil. Sambil mengutak-atik bi-dak, biasanya ia berdiskusi ma-salah keagamaan dengan bekas Menteri Agama ini.
Tak jarang pula Mulyana dan rekan-rekannya ses-ama penghuni Rumah Tahan-an Salemba terlibat dalam per-bin-cangan serius mengenai arah kebijakan pemerintah da-lam pemberantasan ko-rupsi. Mereka membandingkan ka-susnya dengan koru-psi lain seperti kasus bantuan li-kuiditas Bank Indonesia yang merugikan negara sampai triliunan rupiah. ”Kami he-ran kenapa kasus yang kecil-kecil seperti kasus KPU yang jadi prioritas dibongkar,” kata Mulyana.
Walau terbilang rajin ber-olahraga, dia pun sempat ja-tuh sakit selama di Salemba. As-ma yang pernah delapan ka-li menyerang selama me-nyelenggarakan pemilu m-asih se-ring kambuh. Bahkan pekan lalu penyakit ini meng-usik lagi. Tubuh Mulyana ti-ba-tiba kejang-kejang dan napasnya tersengal-sengal. Se-rang-an ba-ru reda setelah dia di-obati oleh dokter rumah ta-han-an.
Berbeda dengan Mulya-na, Nazaruddin tidak meng-alami penyakit berat selama di tahanan Polda Metro Jaya. Se-sekali dia hanya terserang flu dan cukup disembuhkan dengan obat yang dibawakan oleh anak atau istrinya.
Yang tak terobati adalah sakit hatinya karena mer-asa dilupakan begitu saja oleh pe-merintah. Saat menjadi Ke-tua KPU, memimpin penye-lenggaraan pemilu, banyak ca-lon presiden yang bersikap ra-mah kepadanya. ”Malah ada yang memandang saya se-bagai teman. Setelah pe-milu selesai, saya malah dijebloskan ke penjara. Apa tidak sa-kit hati?” ujar Nazaruddin emo-sional.
Mata lelaki 61 tahun itu tampak memerah seolah sedang menahan amarah. Di sampingnya, sang istri ber-usaha memijati punggung sua-minya untuk meredakan emosi. Suasana baru cair setelah Tempo menanyakan keadaan keluarga Nazaruddin. Dia ja-di ceria, wajahnya kembali ce-rah, secerah langit di atas ta-hanan Polda sore itu.
Purwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo