Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekali lagi Oliva Sadi memperhatikan foto di tangannya. Ia baru saja menerimanya dari Sekretaris Jenderal Persatuan Atletik Seluruh Indonesia Tigor M. Tanjung di Senayan, Rabu pekan lalu. Foto berpigura dengan ukuran 30 x 40 sentimeter itu membuat hatinya berbunga-bunga. ”Ini foto saya di SEA Games,” kata Oliva, pelari nasional asal Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Terlintas kembali kenangan indah di arena Rizal Memoriam Track & Field Stadium, Manila, Filipina. Oliva saat itu berhasil menyabet medali emas nomor lari 5.000 meter. Padahal, nomor ini baru pertama kali ia ikuti.
Gadis kelahiran 1 Juni, 23 tahun lalu, itu sebenarnya spesialis nomor lari 1.500 meter. Ketika masih berada dalam pusat latihan di Pengalengan, Jawa Barat, pelatih kebingungan mencari pelari untuk nomor 5.000 meter. Hanya nama Rini Budiarti yang siap untuk didaftarkan. Padahal, masing-masing negara bisa menurunkan dua atlet. ”Sayang kalau kosong. Karena itu saya minta didaftarkan juga,” kata Oliva.
Ternyata keputusan itu membawa keberuntungan. Setelah gagal di nomor 1.500 meter, Oliva mengerahkan segenap kemampuan di nomor 5.000 meter, dan berhasil. Prestasi ini menjadi kejutan yang menggembirakan. Bukan saja bagi Oliva, tetapi juga untuk tim atletik Indonesia. Hanya dia satu-satunya atlet dari cabang atletik yang menyumbangkan emas untuk kontingen Indonesia.
Oliva lahir di desa kecil yang masuk wilayah Manggarai, Flores. Namun, ia tumbuh besar di Liliba, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di sanalah gadis itu berkenalan dengan atletik, khususnya nomor lari jarak jauh. ”Tidak disangka, dari olahraga ini saya bisa jalan-jalan ke luar negeri,” ujar mahasiswi semester III, Fakultas Pendidikan Guru Olahraga, Universitas Atawacana, Kupang.
Sebelum mengukir prestasi di Filipina, Oliva sempat meraih emas di arena Pekan Olahraga Nasional 2004 di Palembang, Sumatera Selatan. Sayang, prestasi di ajang olahraga nasional itu tak diikuti hasil yang sama di beberapa kejuaraan atletik tingkat Asia dan Asia Tenggara. Di Kejuaraan Malaysia Terbuka dan Thailand Terbuka 2005, misalnya, ia hanya mampu mengoleksi perak.
Oliva bukan satu-satunya atlet yang membuat kejutan di Pesta Olahraga Asia Tenggara 2005. Di cabang angkat besi, lifter Sandow Weldemar Nasution tidak mau kalah membuat gebrakan. Pria 24 tahun ini merebut emas di kelas 85 kilogram dengan angkatan snatch 146 kilogram dan clean and jerk 188 kilogram.
Baru sekali tampil di arena SEA Games, Sandow memecahkan rekor yang dibuat Nguyen Quoc Thanh dari Vietnam dua tahun lalu. Saat itu Nguyen hanya menyelesaikan angkatan 145 kilogram untuk snatch dan 187,5 kilogram untuk clean and jerk.
Putra pertama bekas lifter Sori Enda Nasution itu mulai menekuni angkat besi sejak 1994. Ketertarikannya pada cabang ini karena pengaruh lingkungan keluarga. Ia dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang menekuni angkat besi. Kakek, ayah, dan ibunya adalah mantan atlet cabang itu. ”Coba-coba jadi keterusan,” katanya.
Sandow sendiri sebenarnya dipersiapkan untuk ajang Asian Games 2006 di Qatar. Karena melihat peluang meraih emas, akhirnya ia diminta bergabung dalam tim SEA Games. Peraih medali emas PON ke-15 Palembang ini tak menyia-nyiakan kesempatan. Sejak Mei lalu, Sandow meningkatkan porsi latihan. Hasilnya, ”Ternyata, saya bisa memecahkan rekor sekaligus merebut emas.”
Dalam SEA Games kali ini, target Indonesia sebenarnya tidak muluk-muluk. Hanya menyamai prestasi dua tahun lalu di Vietnam, yaitu posisi ketiga. Sayang, cabang-cabang yang diandalkan mendulang emas gagal memenuhi harapan. Kontingen Merah-Putih akhirnya harus puas bercokol di urutan kelima di bawah Malaysia, Vietnam, Thailand, dan tuan rumah Filipina yang menjadi juara umum.
Untunglah, di tengah situasi itu, sejumlah atlet bisa menyelamatkan wajah Indonesia. Contoh lainnya datang dari cabang bulu tangkis. Adriani Firdasari secara mengejutkan mampu menyabet emas di sektor tunggal putri. Putri pasangan Adnan dan Farida Hanim itu mengalahkan pemain bulu tangkis Malaysia, Wong Mew Chow, lewat pertarungan dua set langsung.
Kemenangan Adriani menjadi oase yang menyegarkan tim bulu tangkis yang lama mengalami paceklik emas di sektor tunggal putri. Terakhir pemain yang mampu mempersembahkan emas adalah Susi Susanti pada SEA Games 1997 di Jakarta. ”Saya tak menduga bisa dapat emas,” kata Adriani.
Gadis kelahiran 16 Desember 1986 ini sebenarnya lebih berkonsentrasi pada penampilan di nomor beregu putri. Sayang, tim beregu putri kandas di semifinal setelah kalah 2-3 oleh Singapura.
Ketika tampil di nomor perseorangan, Adriani bermain lebih maksimal. Sebagai pemain yang tidak diunggulkan, ia tak kesulitan menyingkirkan lawan-lawannya. Beberapa lawan pernah ia hadapi di Indonesia Open beberapa waktu lalu. ”Jadi, saya sudah punya pengalaman bertanding lawan mereka,” ujarnya.
Di cabang menembak, Bary Agustin Said juga tampil mengesankan di nomor 10 meter air rifle putri. Polisi wanita berpangkat ajun komisaris itu bukan saja mempersembahkan emas untuk Indonesia, ia juga memecahkan rekor SEA Games yang pernah dibuat atlet Vietnam, Le Thi Linh Chi.
Emas di nomor ini bukan yang pertama bagi Bary. Pada perhelatan yang sama, 1997, ia juga sudah merebut emas. Namun, perolehan kali ini menjadi istimewa sebab cabang menembak sama sekali tak diperhitungkan untuk menyumbangkan medali. ”Sekarang kami membuktikan bahwa atlet menembak Indonesia tetap harus diperhitungkan,” kata Bary.
Bary merupakan atlet yang mandiri. Ia sama sekali tidak mengikuti proses pemusatan latihan seperti atlet-atlet dari cabang lain. Berlatih sendirian saja, ia tetap tekun mengasah kemampuannya membidik sasaran. Ketekunan dan kegigihan semacam itulah yang juga menjadi kunci keberhasilan Oliva, Sandow, Adriani, dan sejumlah atlet lainnya.
Oliva rela bolos kuliah karena ingin total menempa kemampuannya berlari. Sandow selalu berusaha mengangkat beban lebih berat dari latihan sebelumnya. Sedangkan Adriani rela mengurangi jam tidurnya sekadar untuk melatih pukulan-pukulan dengan raketnya.
Suseno, Lis Yulia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo