Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Go Cap yang Bikin Heboh

Gara-gara suratnya soal pungutan biaya pengawasan minyak tanah, Menteri Dalam Negeri dilaporkan ke KPK. Di daerah, pungutan itu dibagi-bagi.

12 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruang rapat DPR Senin pekan lalu terasa lebih gerah. Empat mesin pendingin yang terpasang di ruang rapat Komisi VII DPR itu seperti tak kuasa menyejukkan suasana perdebatan yang cukup panas antar-anggota komisi yang membidangi energi dan mineral itu.

Suasana menjadi riuh karena Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma’ruf absen dalam rapat kerja itu. Padahal, rencananya, para wakil rakyat itu akan meminta penjelasan Ma’ruf perihal surat edaran yang dibuat Pak Menteri yang telah bikin heboh.

Isi surat edaran yang ditujukan kepada kepala daerah itu intinya menetapkan pungutan Rp 50 untuk setiap satu liter minyak tanah yang dijual pemerintah kepada masyarakat. Pungutan tersebut dimaksudkan untuk mengongkosi pengawasan distribusi minyak.

Absennya Ma’ruf dalam rapat kerja pada awal pekan itu dianggap oleh peserta sebagai sebuah kesengajaan untuk menghindar. Namun, tudingan itu ditangkis oleh Tarwanto, Kapuspen Departemen Dalam Negeri. Menurut dia, Menteri masih menunggu rapat koordinasi antara Komisi II sebagai mitra Depdagri dan Komisi VII. ”Sesuai tata tertib, kedua komisi itu harus berkoordinasi menyangkut rapat gabungan,” kata Tarwanto kepada Eko Nopiansyah dari Tempo.

Apa boleh buat, rapat dengan Menteri Dalam Negeri terpaksa ditunda. Akibatnya, upaya parlemen mengungkap siapa yang paling bertanggung jawab di balik surat edaran tertanggal 3 Oktober 2005 itu ikut tertunda sampai Januari 2006. Maklum, DPR segera reses.

Kontroversi pungutan go cap alias Rp 50 tersebut sudah merebak sejak akhir bulan lalu. Saat itu Komisi VII tengah menggelar rapat kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala BPH Migas, Sekjen Migas, dan PT Pertamina. Sejumlah anggota parlemen dari Fraksi PDIP-lah yang menanyakan soal adanya pungutan biaya pengawasan itu. Menurut Wakil Ketua FPDIP, Ramson Siagian, wakil pemerintah yang hadir saat itu semua bungkam.

Isi surat edaran itu memang rinci. Di sana disebutkan harga eceran tertinggi (HET) minyak tanah nasional tahun 2005 ditetapkan per liter tertinggi di tingkat pangkalan adalah Rp 2.275. Ini sudah termasuk harga jual eceran minyak tanah Rp 2.000 per liter pada instalasi depot Pertamina, ongkos angkutan radius 40 km dari instalasi/depot point Rp 80 per liter, biaya pengawasan Rp 50 per liter, margin agen/penyalur Rp 55 per liter, dan harga agen/penyalur ke pangkalan Rp 90.

Menurut Ramson, biaya pengawasan itu sudah diatur dalam APBN. Kalau ada kekurangan, mestinya tetap dilakukan dalam mekanisme APBN dengan mengajukan pada APBN perubahan. Undang-undang juga menyebutkan semua pungutan di luar pajak harus menjadi penerimaan negara bukan pajak dan masuk APBN. Selain itu, Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 tak membolehkan pungutan operasional badan usaha kepada konsumen. Itu hanya bisa dilakukan jika Badan Pelaksana (BPH Migas) tidak dibiayai APBN. ”Padahal lembaga ini dibiayai APBN,” kata Ramson

Karenanya, Ramson menilai pungutan go cap itu melanggar setidaknya tiga undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. ”Ini jelas liar. Kami pertanyakan, ke mana uang itu?” ujarnya.

Menteri Dalam Negeri tentu saja menyangkal disebut melanggar hukum. Surat edaran itu, kata dia, dimaksudkan untuk mengamankan distribusi minyak mengingat tingkat penyimpangan waktu itu amat tinggi. Sesuai dengan Undang-Undang Migas, pengawasan dan distribusi minyak dilaksanakan BP Migas. Tapi, karena badan itu tak punya struktur tingkat desa, Mendagri pun dilibatkan. Sejak itu, Menteri ESDM, BPH Migas, dan Departemen Dalam Negeri duduk bersama menyusun kebijakan pengawasan.

Karena belum punya anggaran pengawasan di APBN, dibuatkan surat edaran sebagai dasar operasinya. Soal berapa nilainya dan bagaimana penarikan uang itu, Ma’ruf mengaku tak tahu. ”Itu kewenangan Menteri ESDM dan BPH Migas. Depdagri hanya mengerahkan tenaga dan jaringan,” kilahnya.

Yang bikin bingung, di kalangan unsur pemerintah ternyata muncul pandangan beragam atas keberadaan si-go-cap itu. Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro enggan menyebutnya sebagai pungutan. ”Itu komponen harga,” ujarnya.

Sedangkan Kepala BP Migas Tubagus Haryono menyangkal menggunakan dana pungutan untuk kegiatan pengawasan distribusi BBM. Kata dia, biaya pengawasan itu adalah hasil rapat BPH Migas, ESDM, Depdagri, dan Pertamina. ”Anggaran BPH Migas sendiri dari APBN,” kata Tubagus.

Sementara itu, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie pernah menyatakan biaya pengawasan itu diputuskan dalam sidang kabinet. Uangnya akan dipakai daerah karena pemerintah tak bisa mengontrol HET gara-gara tak punya ongkos. Sejak itu, pemda diminta menetapkan HET. Ongkos pengawasan juga ada di pemda provinsi maupun kabupaten dan kota.

Demikianlah, sejumlah provinsi akhirnya sudah melakukan pungutan. Dari 26 yang sudah melaksanakan, menurut Ma’ruf, baru 11 provinsi yang riil melakukan pungutan. Itu pun besarannya berbeda-beda.

Tetapi, lain teori, lain pula praktek di lapangan. Harga minyak tanah yang dibeli masyarakat ternyata kebanyakan melebih HET pemerintah. Di Solo dan sekitarnya, misalnya, Gubernur Jawa Tengah semula menetapkan HET Rp 2.400 per liter. Itu sudah termasuk biaya pengawasan. Angka ini kemudian direvisi menjadi Rp 2.315 per liter.

Tempo malah menemukan adanya pangkalan yang masih menjual Rp 2.400 per liter (sama dengan sebelum HET direvisi). Pembulatan harga jual ini, kata salah satu pemilik pangkalan minyak di Gading, Solo, juga dilakukan di tempat lain. Karena itu, harga di tingkat pengecer pun merangkak hingga ke Rp 2.500 per liter, bahkan ada yang lebih.

Masih banyaknya penyimpangan di lapangan itu, menurut Ramson, bisa jadi disebabkan adanya praktek tak sedap di balik kebijakan tersebut. Dia mencontohkan yang terjadi di sebuah kabupaten di Sumatera. Berdasar dokumen perjanjian kerja sama yang diperolehnya, di sana disebut rincian pembagian hasil pungutan kepada tiga pihak: pemerintah daerah, institusi tertentu, dan Himpunan Pengusaha Swasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas). Total pungutan mencapai Rp 1,4 miliar.

Di situ disebutkan pembagian Rp 30 per liter milik pemerintah daerah. Sisanya, Rp 20 per liter dibagi: institusi tertentu Rp 5 per liter, Hiswana Migas daerah Rp 10 per liter, dan pemerintah daerah tertentu Rp 5 per liter. ”Ini baru dari satu kabupaten. Bagaimana dengan 400 kabupaten/kota lainnya?” ujarnya.

Angka yang disebut Ramson belum seberapa. Di Bali, NTB, dan NTT, misalnya, pungutan di tiga daerah itu berhasil meraup angka Rp 2,3 miliar dalam tempo dua bulan. Tetapi Ketua DPD V Hiswana Migas Hari Kristanto mengakui semuanya masih utuh di rekening.

Di Palembang, Hiswana Migas berhasil mengumpulkan Rp 1,4 miliar sejak Oktober sampai November. Diperkirakan mencapai Rp 2,1 miliar pada Desember. ”Sesuai SK gubernur, pangkalan menjual Rp 2.300 per liter,” kata Iyan Najib, Ketua Hiswana Migas Palembang. Ian juga mengaku uang itu masih utuh dan rencananya akan dibagi sesuai dengan kebutuhan.

Menilik besarnya kemungkinan terjadi penyimpangan atas pungutan ini, Komisi VII DPR meminta Menteri Dalam Negeri mencabut surat edaran itu. Jika tidak, mereka berniat memperkarakannya ke jalur hukum.

FPDIP bahkan telah melangkah lebih jauh dengan melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis pekan lalu. FPDIP mendesak KPK menelusuri alur dan penggunaan dana pungutan itu. Mereka juga meminta pihak-pihak terkait diperiksa. ”Prioritas utama memeriksa Menteri Dalam Negeri,” kata Jacobus Mayong Padang, sekretaris fraksi.

Merasa diancam, Menteri Dalam Negeri menyatakan tak gentar. Dia menegaskan seluruh dana yang terkumpul akan diaudit auditor tepercaya. Karenanya, Ma’ruf mempersilakan KPK memeriksa dirinya berikut auditornya.

Bagaimana KPK? Mereka masih mempelajari laporan itu. ”Setidaknya harus ada dua alat bukti yang memastikan adanya tindak pidana korupsi,” kata Erry Riyana Hardjapamekas, Wakil Ketua KPK.

Widiarsi Agustina, Yophiandi Kurniawan, Jojo Rahardjo, Sunudyantoro (Surabaya), Imron Rosyid (Solo) Arif Ardiansyah (Palembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus