Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan wajah ditekuk, Agum Gumelar memasuki Pos Komando Kontingen Indonesia untuk SEA Games Manila, Ahad dua pekan lalu. Kepada para wartawan, Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) ini menyampaikan keprihatinan atas prestasi tim Merah Putih. ”Saya atas nama KONI mohon maaf kepada seluruh bangsa Indonesia lantaran belum mencapai hasil seperti yang ditargetkan,” katanya.
Inilah prestasi terburuk dalam pesta olahraga Asia Tenggara yang digelar sejak 28 tahun lalu. Sebelumnya, Indonesia sembilan kali merebut juara umum. Hanya tahun 1985 dan 1995 tim Merah Putih menempati posisi runner-up, dan gelar juara umum pindah ke tangan Thailand.
Selepas SEA Games 1997, prestasi Indonesia melorot ke urutan ketiga—di bawah Thailand dan Vietnam—dan terus bertahan sampai 2003. Dan di Manila, tahun ini tim Merah Putih terkapar di peringkat kelima.
Di SEA Games Manila, ada 435 medali emas yang diperebutkan dari 40 cabang olahraga yang dipertandingkan. Indonesia langsung kehilangan 36 medali karena tak mengikuti lima cabang, yaitu petanque, arnis, lawn ball, muay, dan triathlon. Adapun dari 35 cabang yang diikuti, hanya 19 cabang yang berhasil mempersembahkan medali.
Sementara Agum kecewa, Djoko Pramono punya pendapat lain. Ketua Satuan Kerja Pemusatan Latihan Nasional dan Program Indonesia Bangkit itu justru menyesalkan bila keberhasilan di SEA Games hanya diukur dari ranking perolehan medali. ”Harap diingat, sekarang kita tak pernah memakai ranking sebagai tujuan,” katanya.
Jauh-jauh hari sebelumnya, kata Djoko, KONI telah menetapkan bahwa SEA Games Filipina cuma jadi ajang pembinaan. Sasaran utamanya meningkatkan kemampuan dan pengalaman atlet.
Djoko mencontohkan pembinaan di cabang bulu tangkis. Juara dunia Taufik Hidayat hanya diturunkan di nomor beregu, kendati peluangnya sangat besar mempersembahkan emas di perorangan tunggal putra. Langkah ini dilakukan untuk memberi kesempatan kepada pemain muda Sony Dwi Kuncoro dan Simon Santoso. ”Kalau Taufik main, kapan yang lain bisa main?” katanya. Sayangnya, tak semua pemain muda bisa menorehkan prestasi terbaik.
Menempatkan SEA Games sebagai ajang pembinaan bukan hal keliru. Namun, pembinaan itu sendiri terlihat kurang optimal karena hampir semua cabang melakukan persiapan dalam waktu yang mepet. Contohnya tim sepak bola. Dengan banyak pemain muka baru, tim sepak bola Indonesia hanya mempersiapkan diri selama tiga bulan. Bandingkan dengan tim Thailand, yang berlatih selama delapan bulan dan terbukti berhasil kembali menjadi juara.
Peningkatan prestasi praktis cuma terlihat di cabang olahraga karate, silat, renang, bulu tangkis, dan boling. Itu pun sebagian dengan mengandalkan muka lama. Bahkan, di cabang renang, veteran Richard Sambera masih jadi penyumbang medali emas. Kalau begini ceritanya, apa lagi yang mau dijadikan tolok ukur pembinaan?
Suseno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo