Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Harapan Tinggi, Siapa Kecewa

Harap diingat bahwa pasar selalu bergerak bagai belut, licin dan sulit dipegang ekornya. Itu sebabnya harapan dan perkiraan sebaiknya lebih disandarkan pada pertanda yang lebih mudah dipertanggungjawabkan.

12 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harapan yang berlebihan acap kali berbuntut kekecewaan. Adagium ini agaknya layak dilontarkan setelah pelantikan tim ekonomi baru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkesan memicu euforia. Sentimen pasar yang positif—dengan menguatnya rupiah dan indeks saham Jakarta—memang cerminan dari harapan yang tinggi pada tim Boediono dan kawan-kawan. Tapi harap diingat bahwa pasar selalu bergerak bagai belut, licin dan sulit dipegang ekornya. Itu sebabnya harapan dan perkiraan sebaiknya lebih disandarkan pada pertanda yang lebih mudah dipertanggungjawabkan.

Yang jauh lebih mudah dicermati dan dikendalikan itu antara lain indikator ekonomi dasar, seperti inflasi dan suku bunga. Namun, karena urusan mengontrol tingkat inflasi pokok adalah tugas utama Bank Indonesia—yang independensinya dijamin oleh undang-undang—yang diharapkan dari para menteri urusan ekonomi sebenarnya adalah kerja sama dan konsistensinya dalam menerapkan kebijakan memajukan kesejahteraan bangsa. Antara lain dengan memastikan bahwa anggaran pemerintah yang minim itu dimanfaatkan secara optimal dan segala potensi ekonomi nasional berkembang menjadi kenyataan.

Para ekonom di Indonesia umumnya melihat indikator-indikator itu menunjukkan pertumbuhan ekonomi nasional sedang melambat belakangan ini. Kecenderungan ini mempunyai momentumnya sendiri hingga diperkirakan tak dapat langsung dibalik arahnya oleh tim yang superhebat sekalipun. Para analis di IMF, Bank Dunia, dan berbagai bank besar kelihatannya sepakat bahwa perlambatan ini baru dapat dihentikan pada semester pertama tahun depan. Harapan mereka hanyalah percepatan pada semester berikutnya melompat ke tingkat pertumbuhan yang jauh lebih tinggi. Pertumbuhan 5,5 persen dan inflasi di bawah 10 persen pada 2006 dianggap sebagai target yang seharusnya tak sulit digapai.

Pemerintah tentu harus berjuang agar pertumbuhan yang diperoleh lebih tinggi. Terutama karena diperlukan laju setidaknya 6 persen agar semua tenaga kerja baru yang masuk ke pasar dapat terserap. Tantangannya adalah bagaimana mencapai kecepatan ini tanpa harus terlalu melonggarkan kendali moneter yang ketat. Perbaikan distribusi bahan kebutuhan pokok dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang anggarannya telah dialokasikan adalah salah satu cara yang harus digunakan. Pemangkasan biaya ekonomi tinggi adalah kewajiban yang lain.

Pemangkasan ini, harus diakui, tak sepenuhnya berada dalam kewenangan tim ekonomi. Perbaikan sistem legal yang berantakan, misalnya, adalah tanggung jawab Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepala Kepolisian, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bila kondisi kepastian hukum tak dapat ditegakkan, jangan harap para investor akan datang menanamkan modalnya. Tanpa penyuntikan modal mereka, laju pertumbuhan ekonomi jelas sulit didongkrak.

Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung sebenarnya sudah bergerak melakukan reformasi. Sayangnya selama ini upaya itu terkesan kurang didukung tim ekonomi dan DPR. Buktinya, anggaran MA tahun depan untuk membiayai pengadilan di seluruh penjuru negeri hanya Rp 1,4 triliun, sebuah jumlah yang jelas jauh dari memadai untuk membiayai kegiatan 60 ribuan personel, termasuk 6.000 hakim dari Sabang sampai Merauke. Kejaksaan Agung, yang punya personel hampir sama banyaknya, juga sama nasibnya, bahkan mempunyai anggaran yang lebih rendah. Mudah-mudahan, di bawah Boediono dan tim ekonominya, dukungan pembiayaan kegiatan reformasi di sektor hukum ini akan menguat.

Termasuk di antaranya adalah sokongan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dan perangkatnya, yang sampai sekarang para personelnya belum juga menerima gaji resmi. Memang, untuk kebutuhan sehari-hari telah disediakan dana talangan. Tapi solusi interim ini tentu tak boleh diperpanjang terus-menerus, karena hal itu mencerminkan sistem birokrasi yang amat buruk.

Buruknya sistem birokrasi ini juga tercermin dari berlarut-larutnya penyelesaian sengketa bisnis yang melibatkan pemerintah. Kasus Exxon, Cemex, dan Karaha Bodas adalah contoh dari rendahnya kinerja pemerintah dalam membangun iklim investasi yang menarik. Belum selesainya sejumlah undang-undang yang diharapkan memperbaiki kondisi investasi dan pemasukan pajak, misalnya, adalah contoh yang lain.

Semua persoalan itu tentu membutuhkan waktu untuk menyelesaikannya secara tuntas. Kendati demikian, bukan berarti para pelaku pasar hanya akan bergerak setelah segala hambatan itu diatasi. Bagi mereka yang lebih penting adalah keyakinan bahwa pemerintah memang berupaya serius untuk menyelesaikannya. Kepercayaan ini yang sekarang harus selekasnya diraih pemerintah agar harapan tinggi pada perbaikan keadaan ekonomi nasional secepatnya menjadi kenyataan. Agar harapan yang kini melambung tinggi tak jatuh berdebam menjadi kekecewaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus