SETELAH menyala selama 16 hari obor Asian Games IX di kuldron
stadion utama Jawaharlal Nehru dipadamkan. Di papan pencatat
skor-terlihat gajah Appu, maskot pekan olahraga Asia 1982,
pelan-pelan naik dan kemudian menghilang sambil
mengibas-ngibaskan ekornya. Selang beberapa saat muncul tulisan:
See you in Seoul, 1986. Dan berakhirlah pesta bukan yang
menghimpun 4.500 atlet dari 33 negara Asia itu.
Upacara penutupan AG IX di stadion utama Jawaharlal Nehru, Sabtu
sore, disaksikan oleh 75.000 yang membeli karcis mulai dari 10
sampai 20.000 rupee, sangat bersemarak. Reporter Radio Australia
Nuim Khaiyath dalam siaran langsung dari New Delhi menyebutnya
sebagai pertunjukan paling mengesankan yang pernah dilihatnya
dalam suatu pesta olahraga.
Yang tetap bertingkah dalam defile perpisahan itu mudah ditebak:
Kontingen Iran. Tepat di depan panggung kehormaun, tempat duduk
Presiden Zail Singh dan Perdana Menteri Indira Gandhi, mereka
membenungkan spanduk protes terhadap penahanan 85 pemuda muslim
di penjara Bangalore. Protes itu disambut penonton dengan
ejekan: "Wouw." Tapi petugas keamanan yang kecolongan dua kali
okh atlet Iran itu diam saja. Waktu upacara pembukaan
olahragawan Iran membenungkan spanduk hijau bertuliskan dua
kalimat syahadat.
Masalah keamanan memang paling memusingkan tuan rumah. Hingga
penempaun atlet pun harus diatur betul. Kontingen Iran dan Irak,
misalnya, ditempatkan berjauhan sekalipun flat sudah disusun
menurut abjad. Begitu juga Kontingen Korea Utara dan Korea
Selaun. "Kami berusaha agar tragedi Olympiade Munich (1972) tak
terulang di sini," kata seorang perwira keamanan di perkampungan
adet. Waktu di Munich pihak keamanan kecolongan oleh Gerilyawan
September Hitam yang membantai adet Israel di flat mereka.
Yang ditakuti petugas keamanan AG IX bukan cuma kemungkinan
saling culik atau berkelahi antara atlet Iran dan Irak maupun
Korea Utara dan Korea Selatan. Juga kemungkinan sabotase dari
Kaum Sikh dari Punjab yang menuntut hak-hak khusus dari
pemerintahan Indira Gandhi. Tak heran selama AG IX berlangsung
dari 19 November sampai 4 Desember, sejumlah polisi berpakaian
preman terpaksa dibaurkan dengan penonton di 17 stadion untuk
berjagajaga. Diperkirakan lebih dari 10 batalyon alat negara
dikerahkan.
Tak cuma itu tindakan pengamanan yang dilakukan. Penonton
diperiksa ketat di pintu masuk stadion. Tas tangan pengunjung
wanita dirogoh-rogoh kalau-kalau di dalamnya tersimpan sesuatu
yang bisa meledak. Jalan masuk ke New Delhi diblokade agar kaum
Sikh tak bisa merembes.
Toh masih ada juga orang-orang Sikh yang lolos dan menyebarkan
pamplet di beberapa stadion. Selang beberapa hari kemudian
mereka melancarkan protes terhadap pengiriman daging sapi ke
perkampungan atlet. "Membiarkan suplai daging sapi berarti
menyinggung perasaan umat Hindu," ujar juru bicara kaum Sikh.
Protes itu tampak tidak digubris oleh Pemerintah. Sebab dinas
pemotongan hewan dikabarkan cuma mengeluarkan izin penyembelihan
sapi jantan saja.
Di lapangan terbuka petugas keamanan tetap bertindak hati-hati
dalam menyingkirkan lembu, terutama jenis betina, untuk tidak
menyinggung perasaan umat Hindu. Mereka kelihatan seperti minta
maaf dulu kepada Tuhan sebelum menyingkirkan sapi betina dari
jalanan yang akan dipakai untuk lomba marathon dan jalan kaki 50
kilometer. Sebab lembu betina, menurut kepercayaan Hindu, adalah
makhluk mulia yang sedang mengembara untuk menyusui Batara
Kreshna -- dewa pujaan pemeluk Hindu .
Selebihnya penduduk India menyambut AG IX sebagai pesta akhir
tahun. Sekolah di New Delhi diliburkan sebulan penuh. Dua warga
Kota Bophal, Vikram Jeet Jha dan Milind Madhav Dubey, misalnya,
untuk menonton pesta olahraga Asia ini berlari selama 30 hari
untuk mencapai ibukota India tersebut. Jarak yang ditempuh 740
km. Sementara itu dari Kalkuta sejumlah pemuda mendayung sepeda
sepanjang 3.000 km dengan tujuan serupa Vikram dan Milind.
PM Indira Gandhi yang mempertaruhkan kehormatan untuk
menyelenggarahn AG IX di tengah krisis keuangan, dengan tekun
mengikuti jalannya perlombaan. Ia berkeliling dari stadion kc
stadion memberikan medali kepada pernenang. Setiap kali memasuki
gelanggang, penonton berdiri memberi hormat kepadanya. Kalau
Indira menyelenggarakan pemilihan umum sekarang pasti dia akan
menang mudah," kelakar seorang politisi India.
Pemerintah Indira Gandhi yang mengeluarkan biaya sekitar Rp 61
milyar untuk penyelenggaraan AG IX ini nampak puas dengan hasil
yang dicapai atletnya. Kontingen India menduduki tempat kelima
dengan mengantungi 13 medali emas, 20 perak, dan 25 perunggu.
Yang mengecewakan mereka barangkali adalah lepasnya medali emas
hockey, cabang andalan India, ke tangan tim Pakistan.
Yang juga dipuji dari India adalah pelayanan dalam
penyelenggaraan. Hampir tak ada keluhan dari tamu. Tak heran.
Sebab dari 10.000 petugas lapangan, sekiur 3.000 orang di
antaranya mendapat latihan atau diberi kesempatan untuk
menyaksikan pertandingan di luar negeri. Termasuk Olympiade
Moskow, 1980.
Lapangan pertandingan yang mendapat pujian adalah kolam renang.
Kelebihannya: pinggir kolam dibuat sedemikian rupa agar air
langsung terbuang hingga tidak membuat gelombang yang akan
mengganggu kecepatan perenang. Tak hanya itu. "Temperatur air
kolam, sekalipun di tempat terbuka, bisa diatur," kata Sek-Jen
KONI Pusat M.F. Siregar. Perenang Indonesia cuma mampu meraih
medali perunggu di sini--waktu Asian Games VIII di Bangkok, 1978
masih sempat mencuri satu medali emas.
Gelanggang yang baik ternyata belum jaminan untuk pemecahan
rekor. Selama dua pekan dua rekor dunia yang
terlampaui--masing-masing di cabang panahan dan senam. Di cabang
panahan nomor yang diperbaiki adalah 60 meter putri. Pemegang
rekor dunia baru adalah Kim Jin Ho dari Korea Selatan yang
mencatat skor 336 dari kemungkinan 360. Rekor lama adalah 334
atas nama atlet Uni Soviet, Valentina Kovpan, yang dipatoknya
tahun 1978.
Atlet dunia lain: pesenam putra RRC Ling Ning yang memperbaiki
rekor nomor serba alat. Prestasi baru tercatat 117,25. Rekor
lama adalah 116,50 yang dipegang oleh Nikolai Adrianov dari Uni
Soviet dalam Olympiade Montreal, 1976.
Di luar kedua nomor itu, prestasi yang boleh dibanggakan adalah
catatan angka 10 (sempurna) dari pesenam RRC Wu Jiani, dalam
mata lomba balok keseimbangan, serta Noritoshi Hiau dari Jepang
untuk nomor palang tunggal. Rekor lain adalak hasil loncatan Zhu
Jianhua yang melapaui mistar setinggi 233 cm--cuma terpaut 4 cm
dari rekor dunia. Rekor Asian Games yang ditumbangkan tercatat
81 buah.
Olahragawan RRC di AG IX tak hanya Ling Ning, Wu Jiani, dan Zhu
Jianhua yang mengagumkan. Hampir di semua (21) cabang mereka
merajai. Untuk pertama kali dalam delapan tahun terakhir RRC
berhasil menggeser dominasi Jepang dalam pengumpulan medali
emas. Di New Delhi, RRC menyabet 61 medali emas--4 angka di atas
Jepang. Dalam AG VII di Teheran, 1974, mereka meraih 33 medali
emas (Jepang: 74 buah). Pada AG VIII di Bangkok, 1978, prestasi
RRC 51 medali emas (Jepang: 70 buah).
Atlet yang melontarkan Cina ke ungga teratas di antara negara
Asia, menurut seorang ofisial Kontingen RRC, adalah hasil binaan
sesudah Revolusi Kebudayaan--sekitar satu dekade terakhir Ketika
Ketua Mao Xedong masih hidup banyak olahraga yang dianggap tidak
sesuai dengan kepribadian Cina. Antara lain: renang. "Pakaian
renang yang minim itu dianggap meniru Barat," cerita ofisial
yang tak mau dituliskan nama itu.
MAO wafat, segalanya pun berubah. Kini di RRC olahraga sudah
merupakan bagian yang tak terpisahkan secara konstitusional dari
kehidupan kebudayaan di Cina. Dalam kabinet bahhan sudah lama
ada badan khusus. istilahnya Komisi Negara (KN), yang mengurus
soal olahraga dan kegiatan fisik Tugas KN, antara lain,
mengkoordinasikan kegiatan keolahragaan dan pembinaan fisik
serta pembibitan. KN ini dipimpin oleh pejabat berpangkat
menteri --sekarang dipegang oleh Li Menghua.
Dalam kegiatannya KN menjalankan apa yang disebut keseimbangan
antara populerisasi (puji) dengan peningkatan mutu (tigao).
Untuk kegiatan dalam negeri KN punya semboyan: utamakan
persahabatan, kompetisi kemudian Tapi ntuk lawatan ke luar
target mereka dalah prestasi. Itulah sebabnya akhir-akhir ini
atlet RRC memperlihatkan restasi yang mengesankan di berbagai
gelanggang internasional.
Tahun 1970-an slogan KN baru di ingkat dobrak Asia dan
bertanding dengan juara-juara dunia. Hasilnya sepuluh tahun
kemudian, menurut statistik mereka, dari 60 kejuaraan dunia dan
Asia mereka berhasil merebut 290 medali emas. Tahun 1981 mereka
memenangkan 25 kejuaraan dunia dan delapan perbaikan rekor.
Untuk tingkat nasional tercatat 124 rekor baru.
Kunci sukses RRC meningkatkan prestasi, menurut pelatih
bulutangkis Hou Chia- Chang, terletak pada pembinaan yang
terarah dan kompetisi yang teratur. Tahun silami saja tercatat
tak kurang dari 23.000 perundingan olahraga telah
diselenggarakan mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, sampai
ke tingkat nasional.
Proyek KN selain menghasilkan atlet tangguh di tingkat dunia,
juga menelurkan rakyat yang mempunyai kesegaran jasmani sesuai
dengan standar negara. Diperkirakan lebih 10 juta warganegara
yang memiliki kualifikasi ini. Untuk mempopulerkan olahraga di
pedesaan pemerintah juga menyediakan alat-alat dan pelatih.
Cabang yang disubsidi adalah yang tidak memerlukan fasilitas
besar, seperti bola basket, bola volley, dan tenis meja.
Pembibitan dilakukan KN di sekolah mulai dari Sekolah Dasar
sampai ke Universitas. Semua siswa di RRC harus mengambil mata
pelajaran yang disebut tiga subyek besar (matematik, bahasa dan
kesusatraan, serta ilmu alam dan kimia) dan tiga subyek kecil
(olahraga, musik, dan kesenian).
Remaja yang punya bakat dalam olahraga tertentu ditampung dalam
sekolah khusus yang separuh dari kegiatannya adalah pendidikan
jasmani. Lulus dari sini mereka disalurkan ke Sekolah Tinggi
Olahraga -- saat ini jumlahnya ada tujuh buah.
Di samping itu Pemerintah RRC juga menyediakan 33.000 sekolah
yang menampung pelajar melakukan kegiatan olahraga secara
sistematis di luar jam belajar. Tak kurang dari 220.000 pelajar
yang melibatkan diri dalam sekolah yang diasuh 13.000 pelatih
itu. Sejak Sistem ini dimulai, awal 1955, pemerintah sudah
mengeluarkan biaya Rp 25 milyar untuk menyokong program
tersebut.
Pemandu bakat juga bekerja giat di RRC. Pemain bulutangkis Han
Jian, yang dijuluki Penakluk Raja, sebelumnya dikenal sebagai
pemain sepakbola. Ia baru mulai mengayunkan raket tahun 1972 dan
tak lama kemudian menjadi kampiun dunia -- cenlua itu berkar
ketajaman mata pencari bibit. Terakhir Han Jian menundukkan jago
Indonesia, Liem Swie King, di final nomor perorangan AG IX.
Untuk mendorong atlet-atlet mencapai prestasi terbaik, tiap
tahun diadakan pemilihan Olahragawan Terbaik. Tahun lampau,
menurut Majalah Olahraga Tiyu, untuk memilih 10 Olahragawan
Terbaik, panitia pemilihan harus bekerja keras. Karena atlet
yang masuk nominasi berjumlah 250.000 orang.
Yang membuat olahraga. populer di kalangan masyarakat Cina
karena olahraga juga dianggap sarana mobilitas kelas.
Olahragawan berprestasi tinggi di RRC berada di lapisan sosial
tertentu dengan segala macam hak istimewanya. Penghasilan
seorang atlet seperti Han Jian - dikabarkan hampir sama dengan
pendapatan tenaga ahli--kalau dikurs di Indonesia sekitar Rp
250.000 lebih.
Lain cerita Indonesia di New Delhi. Berangkat dengan 115 atlet,
jumlah terbesar sejak Orde Baru, kembali dengan 4 medali emas, 4
perak, dan 7 perungu -- separuh dari yang diraih dalam Asian
Games VIII di Bangkok, 1978. "Prestasi atlet kita tidak merosot,
bahkan sebagian mengalami peningkatan cuma lawan jauh lebih maju
lagi," kata M F. Siregar sepulang dari New Delhi, minggu lampau.
Sebelum bertolak ke New Delhi, Ketua KONI Soeprajogi, optimistis
Indonesia minimal meraih 11 medali emas.
Untuk membiayai Kontingen Indonesia dikabarkan telah dikeluarkan
Rp 700 juta. Artinya: 1 medali nilainya sekitar Rp 47 juta.
"Tidak sepadan," tulis wartawan olahraga Sinar Harapan, Supardi.
Gagal? "Kalau dalam pengumpulan medali, ya. Tapi dalam misi
tetap naik," lanjut Siregar. Ia menambahkan Indonesia sekarang
menempati urutan keenam di antara 33 negara--sebelumnya urutan
ketujuh dari 28 kontingen. "Ini fakta Tidak ngibul," tambahnya.
Merosotnya pengumpulan medali, menurut Siregar, umumnya
disebabkan kurangnya pengalaman bertanding. Di cabang tinju ia
menembak lebih dalam: sistem latihan mungkin kurang keras.
Pukulan "memalukan" di AG IX di mata pecandu olahraga Indonesia
adalah gagalnya King dan Verawaty d.k.k menyabet 4 medali emas
(seperti AG 1978) dari 7 yang diperebutkan. Kali ini regu
bulutangkis cuma meraih 2 medali emas - dari ganda putra (Icuk
Sugiarto/Christian Hadinata) dan ganda campuran (Christian
Hadinata/Ivanna Lie). "King memang tak jadi juara. Tapi kita
menemukan bintang baru: Icuk Sugiarto," kata Siregar.
Kegagalan King menundukkan Han Jian di final digunjingkan orang
sebagai kebodohan pembina mengarahkan permainan kampiun
Indonesia itu. King yang memiliki stamina lebih rendah dari Han
Jian tidak seharusnya bermain agresif seperti permulaan set
pertama: Ia sempat melaju 10. Tapi setelah itu keteter. Dalam
situasi seperti ini diperlukan kehadiran seorang seperti Edy
Yusuf atau Tan Joe Hok, keduanya bekas pemain nasional, yang
terkenal jeli membaca situasi. Sayang, tak seorang pun di antara
mereka yang diajak ke India.
Untuk membina atlet berpresta tinggi, Indonesia sebetulnya sudah
menerapkan sistem sekolah khusus a la RRC. Namanya: Sekolah
Olahragawa--tingkat SMP dan SMA. Tapi sekolah yang hampir
berusia 10 tahun itu baru melahirkan beberapa nama menonjol
saja: Lius Pongoh dan Icuk Sugiarto (bulutangkis), dan Tintus
(tenis)- Cabang panahan, atletik, angkat besi, dan renang belum
terlihat. Kendati demikian Siregar tetap melihat Sekolah
Olahragawan di Ragunan, Jakarta, sebagai saran pembibitan
yang baik.
Siregar bahkan sudah merencanakan untuk mengembangkan sekolah
model Ragunan ini di tiap provinsi. Kapan? "Kurang lebih dua
Pelita lagi," kata Siregar. Artinya: sekitar 10 tahun lagi
"Sekarang ini belum bisa diwujudka karena dana dan tenaga
pelatih kurang.' Tapi diam-diam cabang sepakbola sudah
mendirikan sekolah khusus di Salatiga Ujungpandang, dan
Palembang, sementara bulutangkis baru ada di Jambi.
MELOROTNYA peraihan medali emas di AG IX telah menggelitik tokoh
olahraga Acub Zainal, bekas Gubernur Irian Jaya, melonurkan
gagasan perlunya Departemen Olahraga. Iamengambil contoh: sejak
ada Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat (dijabat Cosmas
Batubara) sudah banyak warganegara Indonesia kebagian tempat
tinggal yang layak. Kalau olahraga diurus seperti itu Acub
optimistis prestasi atlet Indonesia bisa dibanggakan.
Sejak Orde Baru urusan pembinaan prestasi olahraga nasional
menjadi tanggungjawab Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)
-- badan ini sudah berakar sampai ke tingkat kabupaten. Bahkan
beberapa daerah memasukkan anggaran pembinaan olahraga ke dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Cuma hasil yang
ditelurkan masih ukuran prestasi lokal.
Prestasi Indonesia di tingkat dunia bahkan Asia, agaknya masih
jauh. Kecuali: bulutangkis, tenis dan bridge. Dalih selama ini
dana yang disediakan pemerintah, jumlahnya tak disebutkan
dinyatakan masih belum memadai.
Faktor kekurangan dana barangkali betul juga. Tapi yang selalu
luput diamati selama ini adalah bercokolnya tokoh-tokoh tua di
KONI Pusat selama bertahun-tahun, tak dinilai sebagai faktor
penghambat. Padahal untuk mening katkan prestasi juga dibutuhkan
kreativitas--yang umumnya ada pada generasi muda. Itu kalau
Indonesia mau menembus kegagalan dalam AG X di Seoul nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini