DI tengah sorak-sorai 12.000 penonton yang memadati stadion
tenis Hauz Khas, New Delhi, pekan lalu, Justedjo Tarik bersujud
di tengah jalanan.
Mulutnya komat-kamit--tidak jelas apa yang ia ucapkan.
Barangkali: Alhamdulillah. Sebab ia baru saja mengalahkan
finalis Kim Choon Ho dari Korea Selatan: 6-3, 6-7, dan 6-3.
Kemenangan Justedjo itu membuahkan medali emas kedua bagi
Kontingen Indonesia -- yang pertama, juga dari tenis, diraih
dari nomor beregu. Tak aneh bila dari mulut chef de Mission
Gatot Suwagio terlontar: "Untung ada Justedjo." Di nomor beregu,
Justedjo yang turun bersama Tintus Aribowo dan Hadiman,
menundukkan tim India 2-1.
Justedjo yang disanjung di New Delhi sebelumnya nyaris dicoret
dari daftar Kontingen Indonesia. Pasalnya: ia kabur dari
pelatnas dan bertanding di Singapura. Alasan Justedjo, waktu itu
ia butuh pengalaman bermain di lapangan rumput asli. "Biar tidak
kaget main di India," kata Justedjo yang selama di pelatnas cuma
berlatih di atas karpet. Di Singapura: Justedjo dikalahkan
finalis tak terkenal Alvin Gardiner dari Australia.
Buntut kabur ke Singapura itu, Justedjo diharuskan
menandatangani perjanjian tertulis di atas segel dengan KONl
Pusat. Isi perjanjian kalau Justedjo membuat ulah lagi maka
namanya akan dicoret dari tim Asian Games IX. "Kalau tidak
begitu dia tidak kapok," kata Ketua Harian KONI Pusat D.
Soeprajogi selepas memanggil Justedjo.
Ternyata Yustedjo tidak kapok membikin kesal. Di hari
pemberangkatan tim ke New Delhi, 11 November subuh, Justedjo
datang di bandar udara Halim Perdanakusumah terlambat 105
menit-rombongan sudah berkumpul pukul 1.00. "Ketiduran, Pak,"
alasan Justedjo kepada Gatot Suwagio. Sejak pelatnas dimulai,
awal tahun. Justedjo tidak pernah mondok bersama anggota tim
lainnya di Senayan. Ia tinggal di rumah sendiri.
Justedjo, lahir di Jakarta, 28 Agus tus 1953, sejak kecil sudah
dikenal berwatak keras. Kala keinginannya tida dikabulkan ia
akan ngambek. Ia, ketika duduk di bangku kelas satu SMA,
pernah merajuk selama dua bulan gara-gara minta sepeda motor
tidak dikabulkan ayahnya. Justedjo baru cerah setelah Honda
berwarna hitam tiba di rumah. "Adatnya memang sontoloyo," kata
ibunya, Ny. Sarti Tarik, dengan nada bangga kepada Widi Yarmanto
dari TEMPO.
Darah tenis, menurut Justedjo, mengalir dari ayahnya M. Jusuf
Tarik - pemain kawakan tahun 1930-an. Ia mulai mengayun raket
pada usia lima tahun di bawah asuhan langsung orangtua sepuluh
tahun berlatih, Justedjo sudah berani menantang ayahnya, dan
menang. Jusuf tak pernah dapat lebih dari tiga angka melawan
putranya. "Pukulan volley-nya maut," kata Jusuf memuji kelebihan
Justedjo.
Tahun 1970 Justedjo digaet pemain Nasional waktu itu, Sugiarto
Sutarjo untuk berlatih di Senayan. Sebelumnya cuma berlatih
di-lapangan tenis di samping rumah sendiri--Kramat Sentiong.
Selang setahun Justedjo sudah nenyandang predikat juara nasiona
junior. Lawan yang dikalahkan Hadiwijono. "Bakat anak itu' luar
biasa,' puji Sugiarto selepas pertandingan junior di Malang
itu.
Kelebihan Justedjo, menurut Sugiarto, terletak pada serve,
pukulan volley dan slice. Ini juga diakui oleh Juara Asia 1981
Kim Choon Ho yang dipecundang Justedjo di India.
Tahun 1972, Justedjo menjadi runer-up dalam Kejuaraan Asia
Junior di Tokyo. Selang setahun ia sudah bergabung dengan
pemain nasional senior: Atet Wiyono, Gondowijoyo, Jacky Wulur,
dan Samudra Sangitan. Sekaran Justedjo menempati urutan-teratas
di tingkat nasional. Ia sebelumnya mewakili Indonesia dalam
Asian Games 1978), SEA Games (1979 dan 1981), ala Davis 1982.
Justedjo tak cuma dikenal lantaran kehebatan pukulannya di
lapangan. Juga tingkahnya. Dalam pertandingan Asian ames IX di
New Delhi.sering ia berseeru dengan penonton. Kalau disoraki
balas memaki: "Babi, lu."Kalau maih juga diteriaki maka dia
bilang: "Shit"--kepada penonton yang paham bahasa Inggris.
Kekesalan Justedjo tak cuma terhadap penonton India. Juga pada
wartawan lokal. "Tak ada waktu," jawabnya setiap kali nyamuk
pers India mengubernya. Satu-satunya media setempat yang dia
ladeni cuma TV India. Waktu ditanya kesan-kesannya mengenai
India, Justedjo menjawab seenaknya: "Yang saya tidak suka cuma
karinya. Terlalu pedas."
Menurut Sugiarto, kebiasaan memaki penonton ditiru Justedjo dari
pemain urakan Illie Nastase dari Rumania yang pernah, 1980, main
di Jakarta.
Sejak 1975, setelah berhenti sebagai karyawan Bulog, tenis bukan
lagi sekedar bagi Justedjo. Juga sawah ladang. Tiap hari,
kalau lagi tidak di petnas, ia melatih. Tarif minimum yang
dipungutnya Rp 15.000 per jam. Selain itu juga mendapat uang
dari berbagai turnamen tingkat daerah maupun internasional dan
kontrak tahunan dari pertaliaan raket Wilson serta Bir Bintang.
Total pendapatannya diperkiran Rp 1 juta per bulan.
Tingkah urakan di lapangan itu sejak menikah dengan Elfia
Nizarwan, (juga pemain tenis nasional), tidak lagi dibawa
Justedjo pulang ke rumah. "Di rumah, dia suami 'dan bapak yang
baik," kata Elfia. Pasangan ini telah dikaruniai dua putri
Cindy Agustina, 2 tahun, dan Maudy Octavia, 2 bulan. (Konon
untuk menjaga marah tidak meledak terhadap keluatga, kalau lagi
ngambek Justedjo buru-buru masuk kamar dan tidur).
Sepulang dari New Delhi, Selasa, Justedjo menyatakan
keinginannya berlatih lagi di Alibama, Amerika Serikat -
sebagai persiapan menghadapi tim Swedia di Stockholm, Maret
depan. "Kalau tidak sulit diharapkan hasil yang baik," kata
Justedio. Dalihnya: di sini kesempatan melakukan pertandingan
percobaan dengan pemain kelas dunia kurang.
Justedjo, tinggi 178 cm dan berat 65 kg, sebelum bertolak ke New
Delhi sempat berlatih selama tiga bulan di kamp renis- Bill Tym
di Alabama. Ia berlatih bersama Tmtus, Hawin Sutopo, dan Wailan
Walalangi semuanya tim Piala Davis Indonesia. Di Stockholm yang
- akan dimainkan adalah ronde perdelapan-final. Babak 16 Besar
ini baru pertama kali dicapai regu Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini