Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

... Adatnya 'Sontoloyo', Kata Ibunya

Karir dan profil, serta keberhasilan pemain tenis, yustedjo tarik di Asian Games ke-IX di India. Merebut 2 medali emas, dari nomor beregu dan perorangan. (or)

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah sorak-sorai 12.000 penonton yang memadati stadion tenis Hauz Khas, New Delhi, pekan lalu, Justedjo Tarik bersujud di tengah jalanan. Mulutnya komat-kamit--tidak jelas apa yang ia ucapkan. Barangkali: Alhamdulillah. Sebab ia baru saja mengalahkan finalis Kim Choon Ho dari Korea Selatan: 6-3, 6-7, dan 6-3. Kemenangan Justedjo itu membuahkan medali emas kedua bagi Kontingen Indonesia -- yang pertama, juga dari tenis, diraih dari nomor beregu. Tak aneh bila dari mulut chef de Mission Gatot Suwagio terlontar: "Untung ada Justedjo." Di nomor beregu, Justedjo yang turun bersama Tintus Aribowo dan Hadiman, menundukkan tim India 2-1. Justedjo yang disanjung di New Delhi sebelumnya nyaris dicoret dari daftar Kontingen Indonesia. Pasalnya: ia kabur dari pelatnas dan bertanding di Singapura. Alasan Justedjo, waktu itu ia butuh pengalaman bermain di lapangan rumput asli. "Biar tidak kaget main di India," kata Justedjo yang selama di pelatnas cuma berlatih di atas karpet. Di Singapura: Justedjo dikalahkan finalis tak terkenal Alvin Gardiner dari Australia. Buntut kabur ke Singapura itu, Justedjo diharuskan menandatangani perjanjian tertulis di atas segel dengan KONl Pusat. Isi perjanjian kalau Justedjo membuat ulah lagi maka namanya akan dicoret dari tim Asian Games IX. "Kalau tidak begitu dia tidak kapok," kata Ketua Harian KONI Pusat D. Soeprajogi selepas memanggil Justedjo. Ternyata Yustedjo tidak kapok membikin kesal. Di hari pemberangkatan tim ke New Delhi, 11 November subuh, Justedjo datang di bandar udara Halim Perdanakusumah terlambat 105 menit-rombongan sudah berkumpul pukul 1.00. "Ketiduran, Pak," alasan Justedjo kepada Gatot Suwagio. Sejak pelatnas dimulai, awal tahun. Justedjo tidak pernah mondok bersama anggota tim lainnya di Senayan. Ia tinggal di rumah sendiri. Justedjo, lahir di Jakarta, 28 Agus tus 1953, sejak kecil sudah dikenal berwatak keras. Kala keinginannya tida dikabulkan ia akan ngambek. Ia, ketika duduk di bangku kelas satu SMA, pernah merajuk selama dua bulan gara-gara minta sepeda motor tidak dikabulkan ayahnya. Justedjo baru cerah setelah Honda berwarna hitam tiba di rumah. "Adatnya memang sontoloyo," kata ibunya, Ny. Sarti Tarik, dengan nada bangga kepada Widi Yarmanto dari TEMPO. Darah tenis, menurut Justedjo, mengalir dari ayahnya M. Jusuf Tarik - pemain kawakan tahun 1930-an. Ia mulai mengayun raket pada usia lima tahun di bawah asuhan langsung orangtua sepuluh tahun berlatih, Justedjo sudah berani menantang ayahnya, dan menang. Jusuf tak pernah dapat lebih dari tiga angka melawan putranya. "Pukulan volley-nya maut," kata Jusuf memuji kelebihan Justedjo. Tahun 1970 Justedjo digaet pemain Nasional waktu itu, Sugiarto Sutarjo untuk berlatih di Senayan. Sebelumnya cuma berlatih di-lapangan tenis di samping rumah sendiri--Kramat Sentiong. Selang setahun Justedjo sudah nenyandang predikat juara nasiona junior. Lawan yang dikalahkan Hadiwijono. "Bakat anak itu' luar biasa,' puji Sugiarto selepas pertandingan junior di Malang itu. Kelebihan Justedjo, menurut Sugiarto, terletak pada serve, pukulan volley dan slice. Ini juga diakui oleh Juara Asia 1981 Kim Choon Ho yang dipecundang Justedjo di India. Tahun 1972, Justedjo menjadi runer-up dalam Kejuaraan Asia Junior di Tokyo. Selang setahun ia sudah bergabung dengan pemain nasional senior: Atet Wiyono, Gondowijoyo, Jacky Wulur, dan Samudra Sangitan. Sekaran Justedjo menempati urutan-teratas di tingkat nasional. Ia sebelumnya mewakili Indonesia dalam Asian Games 1978), SEA Games (1979 dan 1981), ala Davis 1982. Justedjo tak cuma dikenal lantaran kehebatan pukulannya di lapangan. Juga tingkahnya. Dalam pertandingan Asian ames IX di New Delhi.sering ia berseeru dengan penonton. Kalau disoraki balas memaki: "Babi, lu."Kalau maih juga diteriaki maka dia bilang: "Shit"--kepada penonton yang paham bahasa Inggris. Kekesalan Justedjo tak cuma terhadap penonton India. Juga pada wartawan lokal. "Tak ada waktu," jawabnya setiap kali nyamuk pers India mengubernya. Satu-satunya media setempat yang dia ladeni cuma TV India. Waktu ditanya kesan-kesannya mengenai India, Justedjo menjawab seenaknya: "Yang saya tidak suka cuma karinya. Terlalu pedas." Menurut Sugiarto, kebiasaan memaki penonton ditiru Justedjo dari pemain urakan Illie Nastase dari Rumania yang pernah, 1980, main di Jakarta. Sejak 1975, setelah berhenti sebagai karyawan Bulog, tenis bukan lagi sekedar bagi Justedjo. Juga sawah ladang. Tiap hari, kalau lagi tidak di petnas, ia melatih. Tarif minimum yang dipungutnya Rp 15.000 per jam. Selain itu juga mendapat uang dari berbagai turnamen tingkat daerah maupun internasional dan kontrak tahunan dari pertaliaan raket Wilson serta Bir Bintang. Total pendapatannya diperkiran Rp 1 juta per bulan. Tingkah urakan di lapangan itu sejak menikah dengan Elfia Nizarwan, (juga pemain tenis nasional), tidak lagi dibawa Justedjo pulang ke rumah. "Di rumah, dia suami 'dan bapak yang baik," kata Elfia. Pasangan ini telah dikaruniai dua putri Cindy Agustina, 2 tahun, dan Maudy Octavia, 2 bulan. (Konon untuk menjaga marah tidak meledak terhadap keluatga, kalau lagi ngambek Justedjo buru-buru masuk kamar dan tidur). Sepulang dari New Delhi, Selasa, Justedjo menyatakan keinginannya berlatih lagi di Alibama, Amerika Serikat - sebagai persiapan menghadapi tim Swedia di Stockholm, Maret depan. "Kalau tidak sulit diharapkan hasil yang baik," kata Justedio. Dalihnya: di sini kesempatan melakukan pertandingan percobaan dengan pemain kelas dunia kurang. Justedjo, tinggi 178 cm dan berat 65 kg, sebelum bertolak ke New Delhi sempat berlatih selama tiga bulan di kamp renis- Bill Tym di Alabama. Ia berlatih bersama Tmtus, Hawin Sutopo, dan Wailan Walalangi semuanya tim Piala Davis Indonesia. Di Stockholm yang - akan dimainkan adalah ronde perdelapan-final. Babak 16 Besar ini baru pertama kali dicapai regu Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus