KESIAPAN sebuah tim belum menjamin keberhasilan dalam perlombaan. Apalagi lomba balap sepeda yang menempuh rute panjang dan bertahap-tahap, seperti Tour de ISSI 1992 yang berakhir pekan lalu. Tim Yogya yang begitu siap ternyata dikalahkan tim Jabar yang akhirnya merebut juara I. Yogya berada di urutan III di bawah Ja-Tim. Penampilan kontingen Yogya di awal-awal perlombaan mengagumkan. Ia siap dengan atlet dan pembina yang baik, juga peralatan yang bagus. Ban sepeda, misalnya, berserat keviar seharga Rp 125 ribu, sedangkan pembalap lain hanya memakai ban seharga Rp 25 ribu yang riskan pecah. Pada tahapan I (Jakarta-Subang), pembalap Yogya Yosua Kuslan, 22 tahun, melejit tak tertandingi. Padahal atlet asal Ja-Teng yang pindah ke Yogya sejak dua tahun lalu itu selama ini bukan pembalap yang layak diwaspadai. Sampai tahapan ke-4, berakhir di Solo, tak ada juara tanpa disabet atlet Yogya. Setibanya di Solo, tim Yogya pun dijagoi memboyong Piala Presiden dan uang Rp 10 juta sebagai juara beregu. Adalah pelatih Theo Gunawan yang dianggap otak tim ini. Dia instruksikan agar pembalapnya bisa saling mendukung untuk bergantian di depan agar tidak menguras tenaga. Lalu ia tampilkan destroyer (perusak) rombongan agar "musuh" bercerai-berai. Di saat begitu, dua sprinter Yogya, Yosua dan Basri, tinggal "mencuri" di akhir tahapan. Namun sesungguhnya, pada lomba sejauh 1.193 kilometer (dari Jakarta- Denpasar) ini segala kemungkinan bisa terjadi. Apalagi dari segi kemampuan tim masing-masing merata. Begitu memasuki tahapan yang berjarak pendek, siapa yang menjadi juara sudah sulit diketahui di atas kertas. "Jarak yang pendek, apalagi medan yang tak terlalu menantang, memungkinkan setiap pembalap menjadi juara etape," kata Supaedi Effendi, atlet Jawa Timur, yang pernah menjuarai perorangan pada Tour de ISSI 1990. Dengan demikian mengatur strategi dan taktik adalah mutlak dilakukan. Faktor nonteknis, misalnya ban pecah atau rantai putus, juga ikut menentukan. Kesialan itu pula yang menimpa Yosua. Di jalanan rusak sepanjang sekitar 3 kilometer di Kabupaten Tabanan, rantai sepedanya lepas. Yosua, yang hingga tahapan delapan di urutan terdepan, akhirnya terlempar di nomor tujuh di hari penentuan. Faktor non teknis seperti inilah yang membuat tim Yogya terlempar di tempat ketiga. Sementara itu juara perorangan direbut atlet Jawa Timur, Guntur Abdul Razak, 26 tahun. Pemuda asal Bondowoso ini, yang belum pernah mejuarai tahapan satu kali pun, mencatat waktu 26 jam 35 menit 45 detik. Ia berhak atas hadiah Rp 1,5 juta. Sedangkan rekannya, Supaedi, meraih juara kedua. Tim Jawa Barat dengan pembalap andalan M. Yusuf, Maulana, Abdurrachman, dan Tonton Susanto berbarengan masuk finis. "Jabar itu cerdik," kata Didi Sudijanto, ketua bidang perlombaan. Taktik lari di jalanan rusak sangat tepat. Sejak start dari Gilimanuk (etape terakhir) Maulana memang diinstruksikan oleh pelatihnya agar menempel Yosua. "Ke mana pun Yosua harus saya ikuti. Ia ke belakang saya ikut, ke depan juga saya ikuti," kata Maulana. Di jalanan rusak, Yosua terpuruk di belakang karena rantai sepedanya lepas dan Maulana meninggalkannya. Persiapan Jawa Barat juga cukup bagus untuk lomba ini. Tiga bulan mereka digembleng pelatih Gatot Senjaya dan M. Basrahil. "Kami biasa berlatih di gunung-gunung dan pantai," kata Gatot. "Bahkan sekali waktu juga menjelajah rute 700 kilometer," tambah Ketua ISSI Jawa Barat, Rusmana Ardiwinata, kepada Putu Fajar Arcana dari TEMPO. Dengan persiapan cukup ini, timnya diinstruksikan all-out. Tim Jawa Barat juga dapat dukungan finansial dari bapak angkatnya, Perum Pos & Giro. Misalnya, menyediakan peralatan sepeda dan pakaian. Dengan kemenangan ini tim Ja-Bar juga mendapat bonus sponsor (usaha ISSI Jawa Barat) Rp 2,5 juta. Terlepas dari persiapan peserta, ada kritik untuk panitia. Yaitu kemacetan jalan di tahapan I (begitu keluar dari Jakarta) selama 6 menit. Selain itu, pada rute Cirebon Pekalongan, pembalap Ja-Teng, Jumadi, yang baru saja sembuh dua bulan lalu -- ia pernah kecelakaan bersepeda -- harus tersungkur. Tulang bahunya patah, pen yang terpasang di bahunya mencuat. Itu gara-gara di dekat finis ia menabrak penonton yang hendak mengabadikan kehebatan Jumadi. Andalan utama Ja-Teng itu terpaksa digotong ke rumah sakit. Ia tak bisa meneruskan lomba. Ja-Teng terseok dari urutan nomor dua beregu ke nomor empat. "Kalau begini, jelas tim kami dirugikan. Bagaimanapun, Jumadi itu andalan utama tim untuk menyodokkan Ja-Teng," kata Joko Sugoto, manajer Ja-Teng. Surat pun dilayangkan ke PB ISSI. Bukan memprotes, hanya "meminta kebijaksanaan" atas kecelakaan itu. Ketua umum panitia pelaksana, dr. Haryo Tilarso, pun dengan lapang hati menerima kritik. "Jika ada hambatan jalan sedikit, itu biasa. Namanya jalan raya, semakin hari bertambah orang yang menggunakan jalan raya," kata Haryo Tilarso kepada Silawati dari TEMPO. Dari tour ini, menurut Haryo, yang patut disyukuri adalah bangkitnya tim Yogya, sekalipun dengan "membeli" atlet dari daerah lain. Di balik semua itu adalah nasib olah raga yang semarak di jalanan ini ternyata miskin hadiah. Bayangkan, berjuang di atas sadel sejauh 1.000 kilometer lebih, juara perorangannya hanya mendapat Rp 1,5 juta. Sementara itu, "Lomba balap sepeda santai bisa mendapat hadiah mobil," kata Haryo. Widi Yarmanto & Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini