Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak puas dengan keputusan wasit dalam simulasi pertandingan Selasa pekan lalu, Shen Hong, pemain voli wanita asal Cina yang memperkuat klub Jakarta Electric itu mendekati wasit sambil melingkarkan jari-jari tangan di depan matanya. Tak ada kata-kata keluar dari mulutnya. Namun, wasit bisa memahami apa yang ia maksudkan.
Shen Hong, 29 tahun, menilai wasit- salah memberikan keputusan. Lantar-an tak bisa berbahasa Indonesia, protes itu disampaikan dalam bahasa isyarat. ”Seperti itulah kami berkomunikasi de-ngan mereka selama ini,” kata pelatih Jakarta Electric, Victor Laiyan, di Gedung Olahraga Pusat Pendidikan dan Latihan Perusahaan Listrik Negara (PLN), Ragunan, Jakarta Selatan.
Jakarta Electric memiliki dua pemain putri asal Cina. Pemain lain adalah Tien Mei, 30 tahun. Seperti Hong, kemampu-an bahasa Indonesia Mei pun terhitung minim. Padahal, Mei sudah tiga musim memperkuat Jakarta Electric di perhelatan Sampoerna Hijau Voli Proliga.
Proliga adalah ajang kompetisi bola voli paling bergengsi di Tanah Air. Kejuaraan yang digelar tahunan ini di-klaim sebagai kompetisi voli terbesar- di kawasan Asia Tenggara. ”Hanya In-donesia yang memiliki kejuaraan voli se-macam ini,” kata Ketua Proliga Hanny Surkatty.
Bola Voli merupakan cabang olahraga- yang sudah memasyarakat di Indonesia.- Popularitasnya mungkin cuma kalah- oleh sepak bola dan bulu tangkis. Sa-king populernya, olahraga ini hampir selalu dipertandingkan dalam perayaan Kemer-dekaan RI setiap Agustus.
Sayangnya, selain di arena Pekan Olah Raga Nasional (PON), sudah lama Indonesia tak memiliki kejuaraan bola voli tingkat nasional. Pada dekade 1980 hingga 1990-an pernah ada kejuaraan- antar-per-usahaan yang disebut Liga Bola Voli In-donesia (Livoli). Namun, greget kompe-tisi itu hampir tak dirasakan masyarakat.
Pada 2002, Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PBVSI) mulai menggelar- tontonan menarik bagi masyarakat penggemar bola voli, sebuah kejuaraan yang diberi nama Proliga. Pihak sponsor kemudian membuat iklan kegiatan ini dengan slogan ”Musim Voli Telah Tiba”.
Proliga diikuti klub-klub kaya dan diperkuat pemain voli terbaik di Indonesia.- Belakangan, klub boleh menambah ke-kuat-annya dengan pemain-pemain asing. Kehadiran pemain asing itu sema-tamata untuk meningkatkan kualitas pertandingan. ”Diharapkan mereka juga mampu menularkan kemampuannya kepada pemain-pemain lokal,” katanya.
Untuk Proliga 2006, penyelenggara- membolehkan masing-masing klub me-la-pisi kekuatannya dengan tiga pemain asing. Namun, dari tiga pemain, hanya dua yang boleh diturunkan dalam setiap seri. Musim lalu, klub hanya boleh diperkuat dua pemain asing, tapi di te-ngah kompetisi mereka bisa menggantinya dengan pemain asing lain.
Sayangnya, tak mudah bagi klub untuk memperoleh pema-in asing yang benar-benar ber-kuali-tas. Tak jarang klub kecewa de-ngan yang kemampuan pemain asing yang sudah telanjur dikontrak. Kejadian seperti itu pernah dialami Jakarta Electric.
Musim lalu klub yang dimili-ki Perusahaan Listrik Negara- (PLN) itu merekrut Marcio Fer-nando, pemain asal Brasil, untuk memperkuat tim putra. Agen pemain sebelumnya selalu memuji Fernando dengan sebutan pemain serba bisa dan pernah mem-perkuat tim nasio-nal Brasil.- Kenyataannya, seper-ti kata pe-pa-tah jauh panggang dari api. ”Tekniknya saja masih di bawah pemain kita,” ujar Victor.
Padahal, dana yang sudah dikeluarkan klub untuk pema-in itu cukup banyak. Selain ga-ji bulan-an yang tak kurang dari US$ 1.000 (sekitar Rp 10 juta) per bulan, klub juga ha-rus mengeluarkan anggaran untuk transportasi dan akomodasi pemain. Soalnya, Marcio hanya mau tinggal di apartemen. Itu semua belum termasuk uang jasa untuk agen yang telah membawa pemain ke klub.
Bagaimana dengan dua pemain Cina yang dimiliki Jakarta Electric saat ini? ”Sangat berbeda,” kata Chaliz Syam, Ketua Persatuan Bola Voli PLN. Menurut dia, Mei dan Hong tak menuntut fasilitas berlebihan. Mereka bersedia tinggal di mess bersama pemain-pema-in la-in. ”Makan pun tak sulit karena me-reka cocok dengan masakan Indonesia.- Berbeda dengan pemain Eropa dan Ame-rika Latin,” ujarnya.
Untuk memperoleh kedua pemain -ta-di, Jakarta Electric cuma menyetor US$ 5.000 (sekitar Rp 50 juta) kepada induk organisasi bola voli Cina. ”Istilah-nya bukan transfer, tapi pinjam pemain,” kata Chaliz. Uang setoran itu merupa-kan kompensasi kepada klub yang telah membina pemain. Setelah kompetisi- mu-sim ini selesai, pemain-pemain itu akan dikembalikan lagi ke klubnya semula.
Uang yang dikeluarkan klub tadi di luar gaji pemain. Per bulan masingma-sing- pemain menerima kurang dari Rp 20 juta. Angka itu lebih kecil dari pa-tok-an maksimal gaji pemain asing yang ditetapkan PBVSI sebesar US$ 3.000 (se-kitar 30 juta). Walau begitu, jumlah-nya tetap mencolok jika dibanding gaji pemain lokal Jakarta Electric yang berkisar antara Rp 3 juta sampai Rp 5 juta per bulan.
Meski harus mengeluarkan dana besar untuk membo-yong kedua pemain tadi, Chaliz mengaku puas. Kua-litas kedua pemain itu, baik fisik maupun teknik, berada di atas rata-rata pemain Jakarta Electric lainnya.
Hal itu ter-bukti sejak- mere-ka terlibat da-lam Proli-ga pertama- kali. Pada 2004, bersama Tien Mei, Jakarta Electric mam-pu merebut gelar juara. Musim lalu, meski tidak juara, mereka masih tetap menjadi tim kuat dengan menempati posisi runner-up.
Dadi Saridji, manajer tim BSI Tectona Bandung, juga mengakui keunggul-an pemain-pemain asal Cina. Umumnya pemain-pemain Tiongkok memiliki gaya permainan yang mengandalkan ke-lincahan. Dengan gaya ini kemampuan teknik pemain sangat menentukan. ”Ka-lau pemain dari Amerika dan Eropa kan tidak begitu. Mereka lebih banyak menekankan power,” katanya.
Keunggulan teknis itulah yang membuat klub-klub peserta Proliga lebih su-ka memburu pemain-pemain Cina. Apa-lagi, kultur budaya Cina tak jauh berbeda dengan Indonesia. Soalnya, jika perbedaan kultur terlalu dalam, pelatih sering kesulitan untuk membangun satu tim yang kompak.
Tectona sendiri sebenarnya ingin- me-lapis kekuatan tim dengan pemain Cina. Sayangnya, mereka kurang mendapat informasi tentang pemain Cina. Selain itu, tarif pemain-pemain Negeri Tembok Besar itu dinilai terlalu mahal. ”Rata-rata meminta bayaran US$ 3.000 (sekitar Rp 30 juta) per bulan. Itu belum termasuk biaya transportasi, uang makan, fasilitas dan lain-lainnya,” kata Dadi.
Dengan pertimbangan isi kocek yang ter-batas, klub yang dulu sempat menjadi binaan Kantor Wilayah Perhutani Jawa Barat itu menjatuhkan pilihan kepada Paulo Caesar Marquez, 32 tahun, asal Bra-sil. Untuk meminang Paulo, klub ha-nya mengeluarkan uang sekitar Rp 150 juta dari kocek. Jumlah sebesar itu sudah untuk satu musim kompetisi. ”Itu sudah termasuk biaya transportasi-nya dari Brasil ke sini,” Dadi menambahkan.
Memadukan kekuatan pema-in asing dan pemain lokal bukan perkara yang gampang ba-gi para pelatih. Masalah yang termasuk pelik adalah bahasa. Hampir semua pe-main asing di Proliga tak me-nguasai bahasa Indonesia. Tectona sendiri harus menggunakan jasa penerjemah yang setiap saat mendampingi Paulo.
Masalah yang sama pernah dihadapi Jakarta Electric. Ketika Tien Mei baru bergabung, mereka juga sem-pat dibantu penerje-mah-.- ”Tapi sekarang sudah tidak. Bahasa ’Tarzan’ ternyata lebih efektif,” Victor menyebut bahasa se-perti digunakan dalam film Ho-l-lywood untuk bertahan hi-dup di hutan itu.
Di luar lapangan, Victor memang masih sering kesulitan untuk berkomunikasi dengan kedua pemain Cina-nya. Namun, ketika sudah di lapangan, kesulitan itu akan cair. ”Bahasa olah raga le-bih- universal. Kalau saya bilang smes, mereka pasti paham tanpa harus memberikan isyarat,” katanya. Ayo, smes!
Suseno, Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo