Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengedar narkoba seharusnya dihukum berat. Jika ada dua anggota sindikat pengedar sabu dan pil eks-t-asi tertangkap dan diadili, diperkirakan keduanya akan dihukum setimpal dan sama beratnya. Namun, kalau yang satu dihukum relatif ringan, yang lain diganjar pidana seumur hidup, orang bertanya: mengapa bisa beg-i-tu? Itulah yang terjadi pada Hariono Agus Tjahjono, yang hanya dihukum tiga tahun, sedangkan kawannya, Ricky Chandra, dituntut hukuman mati dan dijatuhi hukuman se-umur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Kedua kasusnya sama, tim jaksa penuntut sama, peng-adil-an yang sama, ketua majelis hakim juga sama, walau-pun perkaranya dipisah dan diperiksa sendiri-sendiri. Hariono diadili pada Desember 2005, sedangkan perkara Ricky Chandra diputus pada 16 Februari lalu. Ketika pengadil-an memutuskan menghukum Hariono tiga tahun sesuai de-ngan tuntutan jaksa, beritanya tidak dibesar-besarkan, bah-kan hampir luput dari perhatian umum. Baru setelah Ricky Chandra kena hukuman seumur hidup, pecah berita tentang perbedaan yang mencengangkan itu, karena peng-a-cara Ricky mengeluhkan ketimpangan perlakuan yang di-terima kliennya.
Kesan bahwa sistem penegakan hukum tetap bobrok, ma-sih banyak lubang terbuka untuk permainan, makin diper-kuat oleh peristiwa ini. Sangkaan bahwa ada yang tidak beres dalam cara menangani kedua perkara narkoba ini bukan lantaran kecurigaan yang dibuat-buat. Masalah bisa terletak di jaksa, bisa di hakim, dan bisa kombinasi kedua-nya. Jika pengacara Ricky mempertanyakan hukuman berat bagi Ricky dibanding yang diterima Hariono, Jaksa Agung menyesalkan bahwa pengadilan tak menja-tuhkan hukuman mati seperti dituntut jaksa bagi Ricky.
Tanda tanya terbesar sebenarnya ditujukan pada keputusan pengadilan yang ringan bagi Hariono. Ketua majelis hakim Agus Herjono menjelaskan bahwa vonis tiga tahun diberikan karena justru jaksa hanya menuntut hukuman tiga tahun juga bagi terdakwa Hariono waktu itu. Sekarang Ke-jaksaan Agung memeriksa empat jaksa yang menangani perkara itu. Keempatnya dinonaktifkan, dan pada intinya- pe-meriksaan dilakukan terhadap cara menyusun konstruk-si hukum dakwaan terhadap Hariono. Pemeriksaan ini menunjukkan bahwa ada masalah yang terletak di pihak jaksa.
Salah satu kemungkinan kesalahan adalah pada cara jaksa menilai fakta yang terjadi. Peranan Hariono tidak dilihat sebagai anggota sindikat, tapi cuma sebagai perantara yang disuruh membawa barang terlarang itu. Ketika tertangkap, Hariono membawa 20 kilogram sabu yang dipesan Ricky, yang harganya miliaran rupiah. Pemesanan itu di-lakukan Ricky atas suruhan polisi sebagai jebakan untuk me-nangkap Hariono. Ricky sendiri sudah diringkus poli-si sebelumnya, dari dirinya disita 34 kilo sabu dan 70.000 butir pil ekstasi. Anehnya, jaksa menuduh Ricky sebagai anggota organisasi pengedar narkoba, sedangkan Hariono t-i-dak, sehingga ancaman hukumannya bisa lebih ringan.
Yang sukar ialah membuktikan apakah ada kesengaja-an- dalam tidak tepatnya jaksa menggolongkan Hariono- se-ba-gai bukan bagian dari sindikat pengedar narkoba. Ju-ga harus diperiksa, apakah mengajukan Hariono lebih du-lu ke pengadilan juga sesuatu yang dirancang dengan cerdik, agar tidak menimbulkan heboh bila hukumannya jauh lebih- ringan dari Ricky. Walau sulit, cara terbaik ialah men-cari bukti apakah ada imbalan yang diterima para jaksa atau hakim. Pemeriksaan kejaksaan kepada jaksa sendiri harus- tuntas, karena terlalu mengerikan bila sindikat narkoba bisa menyusup ke tubuh penegak hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo