MEMASUKI putaran kedelapan, akhirnya tim balap sepeda Indonesia disusul para pembalap Jepang. Indonestan rtders out," perintah wasit dan tengah velodrome melalui pengeras suara. "Dor". Pistol pemberi aba-aba pun meletus. Itulah tanda pembalap Indonesia dinyatakan kalah, meski pertandingan belum selesai. Lalu Puspita Mustika Adya, M. Husein, Danny Achmad, dan Nico Subagio menghentikan laju sepedanya, dan keluar dari jalur lintasan (traek). Apa boleh buat, di babak seperempat final kejuaraan balap sepeda Asia ke-13, untuk nomor 4.000 m team pursuit (TP), Senin lalu, Puspita Mustika dan kawan-kawannya terlalu lemah untuk menghadapi regu Jepang. Lihatlah bagaimana mereka sampai tersusul oleh pembalap-pembalap lawan, padahal ketika start mereka menempati posisi di depan dengan selisih jarak 166,6 m lebih. Yaitu separuh dari panjang lintasan velodrorne Rawamangun, Jakarta Timur, yang 333,3 m itu. Nasib yang sama dialami pembalap putri. Evi Rianasari, pada hari yang sama diturunkan di nomor 3.000 m individual pursuit babak seperempat final, juga terpaksa "diusir" wasit dari lapangan, setelah ditinggalkan pembalap Cina, Lu Su Yan, pada putaran ketujuh. "Tingkat kita ya memang baru sampai di situ," kata Sutiyono, 36 tahun, pelatih yang menangani nomor track tim balap sepeda untuk SEA Games di Pelatnas. Bekas raja jalanan Asia itu menunjukkan persiapan anak asuhnya terlalu bersahaja. Mereka memang sudah masuk Pelatnas sejak Februari yang lalu, tapi baru berlatih di velodrome itu tiga hari saja. "Kita 'kan belum mengenal angin di velodrome ini, di mana angin bertiup kencang, di mana yang lemah," katanya. Ketua Umum PB ISSI (Ikatan Sport Sepeda Indonesia), Harry Sapto, mengakui, "Kita memang mundur di dalam nomor-nomor track." Kenapa? Harry menyebut, antara lain, sedikitnya gelanggang balap sepeda di sini. (luma ada satu di Semarang, dan satu lagi di Kawamangun, Jakarta. Velodrome Rawamangun yang dibangun 14 tahun lampau ternyata ukurannya tak sesuai dengan ketentuan federasi balap sepeda amatir dunia, hingga harus direparasi. Entah mengapa penyelesaiannya berlarut-larut. Tiga hari menjelang kejuaraan balap sepeda Asia ini dimulai, 11 sampai 18 Juli ini, barulah Pemda DKI menyelesaikan perbaikan velodrome itu dengan biaya sekitar Rp 500 juta. Menurut Harry Sapto, negeri sekecil Belanda memiliki 14 velodrome. Jepang, negeri balap sepeda terkuat di Asia, memiliki sampai 49 velodrome. "Padahal, medali emas yang diperebutkan paling banyak di nomor track sampai 8 medali," katanya. Tergiur oleh banyaknya medali di nomor lintasan ini, PB ISSI bertekad membangun sedikitnya tiga velodrome lagi di daerah-daerah penghasil bibit pembalap, Ja-Bar, Sum-Bar, dan Sul-Sel. "Asal daerah menyediakan tanahnya, kami yang akan membangun velodrome itu," janji Harry. Yang sudah jelas, untuk Ja-Bar, PB ISSI sudah mendapat sebidang tanah di luar Kota Bandung. Biayanya? "Kita peroleh dari sponsor," jawab pengusaha itu. Apa pun dalihnya, prestasi para penggenjot sepeda Indonesia belakangan ini memang menurun. Termasuk di nomor Jalan raya yang dulu dikuasai Sutiyono dan kawan-kawannya di tingkat Asia. Tapi dalam SEA Games Bangkok, dua tahun yang lalu, dommasi itu goyah. Indonesla cuma memperoleh sebuah medali emas dari nomor 100 km team time trial. Tapi karena itu pula, menjelang kejuaraan Asia ini, ada secercah harapan, bahwa Indonesia mungkin mampu mencuri medali nomor emas SEA Games Bangkok itu, di tengah keperkasaan pembalap Jepang, Cina, dan Kor-Sel. Ternyata, masyarakat yang Minggu pagi lalu berpanas-panas menunggu di tepi Jalan tol Tomang - Tangerang, untuk menjadi saksi Indonesia merebut medali emas di nomor 100 km team time trial itu harus kecewa. Para jago Indonesia hanya kuat bertarung separuh jalan. Sampai 50 km pertama, Fanny Gunawan, Ungut Kim Hong, Robby Yahya, dan Ian Tanujaya masih mampu menduduki posisi ketiga, di belakang Cina dan Kor-Sel. Selanjutnya mereka habis sudah, terseok-seok mengayuh sepeda untuk mencapai garis finis cuma satu nomor, di atas Makao, yang menjadi juru kunci di antara delapan negara peserta nomor ini. Ketua Bidang Teknik PB ISSI, Denny Gumulya, menilai kekalahan itu, "Karena pembalap kita tak mampu menjaga staminanya dalam keadaan puncak ketika bertanding." Alasan itu lebih masuk akal dibanding pelatih Theo Gunawan yang mengatakan anak asuhnya kalah karena angin. "Ketika latihan, angin selalu mendorong dari belakang. Justru dalam pertandingan, angin menyongsong dari depan." Yang menyedihkan, kemerosotan prestasi ini terjadi justru di saat PB ISSI gencar mengirimkan pembalap berlatih ke Jerman Barat, Belgia, dan Belanda. Menjelang kejuaraan ini, misalnya, pembalap Indonesia dikirim berlatih selama satu bulan ke Alkmar, Belanda. "Untuk mencari pengalaman, berlatih ke Belanda itu cukup baik," kata Sutiyono. Cuma pelatih itu menyayangkan, nomor-nomor yang mereka ikuti ketika berlatih adalah point race, seperti 40 kali keliling lintasan, yang sama sekali tak dipertandingkan di kejuaraan Asia ini. Di bidang peralatan, pembalap kita sebetulnya tak ketinggalan. Berbagai jenis sepeda canggih telah diimpor ISSI untuk meningkatkan prestasi para pembalap, termasuk sepeda jenis terbaru, disc jet, seperti yang dipakai pembalap Amerika ketika menjuarai Olimpiade Los Angeles, 1984. Harga satu velg sepeda jenis ini saja Rp 2 juta. Anehnya, pembalap Danny Achmad untuk individual pursuit 4.000 m, mencatit waktu lebih lambat dengan sepeda canggih itu: 5,3 menit. Padahal, dengan sepeda balap biasa, catatan waktunya meningkat menjadi 5,28 menit. Amran Nasution, Laporan Toriq Hadad & Masduki Baidlawi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini