Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Martina

Martina navratilova delapan kali menjuarai wimbledon menyamai rekor helen wills moody dari as. musuh bebuyutannya chris evert sekaligus sahabat dekatnya, yang dikenal si "gunung es".

18 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IIINGG ..., bola kuning dari Chris Evert datang. Martina menggeser badan ke kiri, memukul bola sekuat tenaga. Evert berlari ke depan jaring, memotong pukulan Martina dengan satu uolley yang menawan. Lapangan rumput Wimbledon, London, Kamis dua pekan lalu, dengan sekitar 10.000 penonton, seketika senyap. Si "harimau" tenis, Martina Navratilova juara bertahan Wimbledon, pastilah kini runtuh Tapi, sebentar. Martina menjatuhkan bahunya yang kekar ke arah kanan wah, ia melakukan koprol, berjungkir balik untuk menjangkau bola. Si kuning pun melambung kembali, melewati net. Angka untuk Martina. Tepuk tangan meledak. Matahari musim panas berwarna perak, berkilat, dan agak menyilaukan. Dua petenis wanita terkemuka itu tengah bertarung habis-habisan. Martina Navratilova, 30 tahun, berambut pirang, dengan serve pelintir dan pukulan keras yang menawan mencoba terus menekan. Keringatnya menetes, otot-otot tangan dan kakinya menegang dalam kondisi siaga penuh. Ia memang 'harimau' . Sementara itu, Chris meladeninya dengan halus. Gerakannya menutup lapangan, caranya memindahkan kaki ketika harus memberikan forehand, lalu backhand, anggun dan enak dilihat. Suatu saat Martina kehilangan kontrol. Ia memukul bola dengan ngawur. Menyesal dan kesal, dibantinglah raketnya. Entah kenapa Chris ikut membanting raket. Stadion Wimbledon penuh tawa penonton. Tapi Chris sempat mengejek lawannya, ketika ia berhasil melakukan tipuan yang lihai. Martina mencoba menyongsong bola, tak tahunya dia lari ke mana, ke mana pula dia. "Kamu seharusnya ada di sana," kata Chris tertawa, sembari menunjuk tempat masuknya bola. Si "macan" tenis tak menjawab, cuma menggeram. Lewat satu pertempuran panjang, satu pertandingan paling mengesankan dalam sejarah Wimbledon, di semifinal itu si otot baja akhirnya menang dalam tiga set: 6-2. 5-7 dan 6-4. Inilah kemenangan Martina kesekian kalinya dari Chris dalam duel yang ke-73. Di luar lapangan, keduanya adalah teman yang hangat. Bahkan, dalam pertandingan ganda, mereka adalah pasangan yang tangguh. Dan inilah satu soal bagi Martina. Persahabatan dan rasa kekeluargaan) sering menggoyahkan hatinya di arena pertandingan. Mirip Arjuna yang ragu. ketika harus melawan Kurawa di Padang Kurusetra. Tak jarang, bila yang harus dihadapi Martina adalah sahabat-sahabat dekatnya, nafsu makannya menurun. Untung, ada Kresna, yakni Nancy Lieberman, pelatihnya sampai tahun lalu, yang suka menyadarkan Martina. Nasihatnya memang tak sepanjang Bhagawad Githa, tapi cukup menaikkan semangat jagoan kelahiran Praha ini. 'Banyak kesempatan lain untuk berteman, di lapangan babat saja," kata Lierberman. Rasa ragu itu pula yang menghinggapi Martina menjelang semifinal yang lalu itu. Bahkan, di saat-saat akhir pertandingan perasaan itu muncul kembali. " Pada kedudukan 5-4 saya teringat akan persahabatan kami. Ya, Tuhan, mengapa saya bisa segila ini memikirkannya," tuturnya kepada wartawan. "Kemudian saya bisa me-nang, saya gembira sekaligus merasa sedih untuk kekalahannya. Ini sangat berat buat saya karena saya tak pernah mengharapkan sampai sejauh ini, katanya. Chris sendiri tampak tak terlalu sedih. 'Mungkin ini saat paling gembira karena saya kalah setelah pertandingan yang begitu panjang " kata Chris Evert. "Tentu saja saya kecewa. Tapi saya sudah berbuat segalanya di lapangan. Dan saya tahu, di lapangan rumput dia memang selalu bermain lebih baik dari saya." Pertarungan itu memang seru. Chris, yang memberikan perlawanan habis-habisan, kemudian malah seperti mencemaskan kondisi Martina untuk pertandingan finalnya. Ketika mereka bersalaman, kata Chris, "Saya harap pertandingan ini tak terlalu merepotkan kamu sebelum final." Air mata Martina meleleh. "Saya mengerti apa yang dirasakannya setelah kekalahan itu," tutur Martina. Dan keduanya sepakat, itulah pertarungan yang terbaik mereka selama ini. Ternyata, yang terjadi dalam final jauh dari yang dicemaskan Chris. Bagi Martina partai finalnya melawan Steffi Graf, si bintang muda dari Jerman Barat, lehih ringan dibanding pertanngannya dua malam sebelumnya. Ia hanya membutuhkan waktu 69 menit untuk menakluk.an Graf, cewek yang mengaku sekali pun belurr rernah dicium cowok itu. (Hanya sekitar separuh waktu yang dibutuhkan Martina menundukkan Chris.) Dan sekaligus Martina membayar utang atas kekalahannya dari Steffi di Turnamen Prancis Terbuka di lapangan tanah liat Roland Garros, tiga minggu sebelum Wimbledon. Dan bila setelah menang dari Graf kembali Martina berlinang air mata "Ini bukan hanya untuk kemenangan saya tapi luga untuk kekalahan Chris." Maka, hari itu Martina berhasil menyamai rekor Helen Wills Moody dari AS yang menjuarai tunggal wanita Wimbledon delapan kali Kelebihan Martina, dari delapan itu enam kali ia peroleh dengan herturut-turut -- 1982 sampai dengan 1987. Dan selain itu, selak membelot ke Amerika Serikat, yakni ketika memperkuat tim Cekoslovakia ke turnamen Piala Federasi rada 1976. berbagai kejuaraan ia menangkan. Tiga gelar tunggal di Australia Open? tiga di US Open, dan dua gelar di French Open - kejuaraan-kejuaraan besar dunia. Martina Navratilova dan Chris Evert bukan sekadar rival dan sahabat. Sejak pertarungan mereka yang pertama lapangan tertutup Akron, Ohio. AS. suatu hari di tahun 1973, dua pemain tanguh ini dalarr waktu 14 tahun amat sering bertemu di arena internasional. Dan di Wimbledon sejak Chris menjuarai untuk pertama kalinya 1974. Ialu Martina 1978 seolah mereka berdua tak ikhlas bila juara putri Wimbledon dipegang oleh di luar mereka berdua. Lima kali mereka bertemu di final Wimbledon. dan selalu Martina yang menang. Dan sedikitnya dua kali mereka bertemu di semifinal. Pada kejuaraan paling bergengsi ini pada 1980, dalam semifinal Martina digugurkan oleh Chris. Tapi. sayang, langkah Chris terhalang oleh Evon Goolagong di final. Baru di tahun berikutnya. 1981, Chris Evert muncul setelah menalahkan petenis Cekoslovakia juga, Hana Mandlikova Mungkin itu sebabnya Martina, setelah menerima Challenge Cup dari Duke dan Duchess of Kent pekan lalu, berkata terbata-bata. "Saya berharap suatu saat ia akan bisa memenangkan kejuaraan ini. Chris, yang duduk di bangku bersama penon ton lainnya. mungkin tak mendengar harapan Martina. Tapi ia tahu, begitu pertama kali mereka bertemu sahabat yang sekaligus musuhnya itu memang sosok seorang juara "Waktu itu dia berusia 16 tahun dan saya 18. Saya mengalahkan dia 7-6 dan 6-3," kata Chris Evert mengenang. "Tapi pada set pertama saya sempat shock, karena dia menyusul dan melakukan tiebreaker. Padahal, saya tak pernah mendengar tentang dia sebelumnya." Chris waktu itu telah dikenal sebagai si "Gunung Es" yang agung, suatu pujian untuk kemantapan jiwanya. Toh, ia kaget menemukan lawan baru yang belum punya nama. "Serve tangan kirinya berat. Di lapangan ia menggerutu dan menjerit. Tapi saya merasa bakatnya memang luar biasa. Pergelangan tangan yang kukuh, tenaga yang kuat kendati dia baru 16 tahun, dan tampangnya agak menakutkan," tutur Chris yang selalu sportif. Dan tak cuma di Wimbledon mereka bertarung. Di babak final French Open, Juni 1985, di Lapangan Roland Garros, umpamanya, berlangsung juga duel seru. Hampir tiga jam sudah pertarungan, ketika Evert mencapai match-point (angka terakhir). Keduanya tampak lunglai, sepatu karet keduanya dilengketi tanah liat tebal.Martina menyeka keringat yang menempel di kaca matanya sebelum mengirimkan serue. Rok kuning Evert sedikit bergoyang ditiup angin ketika ia akan menerima serve. Lalu, bola pun melambung. Lalu, si "harimau", yang waktu kecil suka termenung memandang kebun apel yang bukan lagi milik ibunya itu, maju ke depan net - teknik yang membawanya jadi juara di berbagai turnamen. Evert menerima bola dengan pukulan backhand yang keras, menusuk sisi kanan-kiri Martina. Dan Chris menang dalam permainan tiga set itu, menggusur Martina dari tahta French Open. Martina kecewa. Ia menggerutu, sebentar. Kemudian petenis wanita yang postur tubuhnya bak seorang lelaki ini melangkah ke depan net menyambut pelukan Chris. "Kenapa seseorang harus menang. Seharusnya pertandingan itu terus berlangsung," ujarnya lebih kepada dirinya sendiri. Ya, seharusnya pertandingan indah itu terus dimainkan. Itulah pertarungan api melawan es. Gunung berapi versus sungai es. Derap pasukan melawan obyek kukuh tak bergeming. Akrobatik bola-bola uolley, pukulan backhand dan forehand yang mengguntur. Ya, bila dua master bertempur, kalah dan menang memang cuma terpisah tabir yang tipis. Proses jalannya pertandingan itu sendiri adalah sebuah karya seni. Memang, baru setelah lima tahun Martina bisa memukul Chris. Orang bilang, sejumlah hal antara lain karena ia baru saja "membelot" dari tanah airnya -- menyebabkan jiwanya belum mantap. Ia, umpamanya, masih suka uring-uringan dan menggerutu, bila sedikit saja ditegur. Tapi dalam final di lapangan rumput di Eastbourne, Inggris, yang merupakan turnamen pemanasan menjelang Wimbledon, untuk pertama kalinya, "macan" Cekoslovakia itu mencairkan si "Gunung Es" Amerika, dalam pertarungan tiga set yang menakjubkan: 6-4, 4-6, dan 9-7. Dan kemenangan itu rupanya memantapkan spiritnya di Stadion Wimbledon dua minggu kemudian. Si "Otot Baja", begitulah banyak penulis olah raga menjulukinya, melindas Evert dan menjuarai Wimbledon pertama kalinya. "Saya telah ketinggalan 4-3 di set penentuan, dan saya berusaha bangkit untuk menang," tutur Martina. " Dan saya memang menang. Itulah pertama kali saya mengalahkannya, setelah dua kali dia mengalahkan saya. Itu benar-benar istimewa." Dan kemudian mereka silih berganti menang dan kalah. Untuk sementara, hingga awal Juli ini Martina memegang angka kemenangan: dari 73 kali pertarungan 39 kali untuknya. Tentu saja, semua itu tak dicapainya dengan cuma merenung di depan jendela. Diawasi beberapa pelatih, teman karib, ahli gizi, dan juga bantuan komputer, ia menyiapkan diri menjadi petenis besar. Dinaikkannya berat badannya dengan bermain basket, berlatih berjamjam setiap hari membentuk otot-otot tubuhnya. Sesuatu yang tak pernah dilakukan petenis mana pun kecuali oleh pesaingnya, Chris Evert. Ia pun suka meluncur dengan ski untuk menguatkan otot kaki. Dan bersepak bola, Martina gemar sejak kecil. Tentu saja olah raga terbaik untuk menguatkan otot seluruh tubuh, berenang. Latihan-latihan yang dilakukan Martina diakui sukses oleh Chris. "Ia melakukan sesuatu pada dirinya secara sungguh-sungguh sampai menjadi atlet bionik. Itu memberikan inspirasi kepadaku. Kalau Anda tak bisa mengalahkan dia ikutlah di belakangnya," tutur si "Gunung Es" suatu ketika. Memang, keduanya merupakan perpaduan yang kontras. Evert jauh dari impulsif. Di mana pun ia bertanding, petenis jelita ini tampil dengan ketenangan seorang yang yakin. Sementara itu, Navratilova lebih sensitif dan mudah tersinggung seorang yang bermimpi indah dengan imajinasi tak terkendali. Di final Wimbledon 1984, Martina sekali lagi melindas Evert. Pertandingan ini bisa menjelaskan bagaimana sebenarnya keduanya berkompetisi - sebagai sahabat dan musuh sekaligus. 'Ada beberapa pesaing, tapi belum ada yang sampai ke final seperti kami. Tuhan, kapan kita bisa keluar dan berhenti sampai di sini. Saya ingin mengakhiri semua ini, percaya atau tidak, karena tak benar salah satu dari kami menyatakan 'saya lebih baik'," keluh Martina dalam kegembiraan kemenangannya. Tapi mengapa pula kedua pendekar ini tak memadu jurus-jurus hingga mereka menjadi pasangan yang susah ditaklukkan? Hanya beberapa kali Navratilova - Evert bahu-membahu tampil sebagai pemain double. Padahal, menurut sejumlah pengamat tenis, keduanya bisa saling mengisi kelemahan, hingga merupakan pasangan yang fantastis. "Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan persahabatan itu," tutur Chris suatu ketika. "Kami selalu berkawan, selalu dekat. Martina memang selalu ingin bermain dobel pada tiap turnamen, saya tak bisa terus menuruti dia." Boleh dikata Martina-lah yang terlebih dahulu mengenal Chris. Ketika masih di Cekoslovakia, awal 1970-an, Martina memperoleh guntingan koran dari saudara sepupunya yang tinggal di Kanada. Dengan bahasa Inggris yang minim, dibantu kamus, Martina dari jauh mengagumi si Dewi Es dari Amerika itu. "Ia bagaikan seorang dewi berambut pirang yang membayangi Billie Jean King dan Virginia dan Evonne. Bahkan sebelum benar-benar aku bertemu dengannya saya telah mengagumi segalanya: ketenangannya, kemampuannya, kesportifannya, uangnya, gayanya," tutur Martina dalam otobiografinya, Being Myself. Tapi lebih penting dari itu semua, bila persahabatan dan permusuhan keduanya seolah abadi, adalah ibu Chris. Ibu itu akan menyalami Martina dengan sedih bila dia kalah bertanding melawan anaknya, dan akan dengan gembira memeluknya bila ia menang. Dan itu bukan sekadar diplomasi. Itu dirasakan Martina keluar dari hati yang jujur, karenanya "ia memberikan kekuatan kepadaku." Martina, si "Banci" yang demi tenis menyeberang ke AS, bukan sekadar cerita seorang juara. Seperti judul otobiografinya, seluruh gerak napas dan tubuhnya adalah demi kebebasan menjadi diri sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus