BOB Paisley bukan tukan sihir yang bisa menyulap sepak bola Indonesia menjadi sehebat Ingris dalam dua minggu. Tetapi paling tidak pelatih klub Liverpool ini bisa menumbuhkan keyakinan, sepak bola di sini bisa berjaya. Tubuh yang kurang jangkung bukan halangan. "Saya sendiri pemain yang bertubuh pendek," katanya menghibur, ketika berada di Bandung untuk memberikan penataran di kalangan pelatih. Buat ukuran Eropa, dia memang pendek, 165 cm. Menurut Bob, tubuh yang kurang ideal kalau dimanfaatkan bisa merepotkan lawan. "Apalagi pemain Indonesia punya kemampuan kontrol bola, kelincahan, dan kecepatan bergerak," ujarnya. Kritiknya yang terpenting - yang sebenarnya bukan barang baru - bahwa pemain di sini kurang menggunakan kecerdasan. "Mereka terlalu sering berlari dari ujung ke ujung. Dan pelatih seharusnya melatih berdasarkan kondisi fisik si pemain. Latihan sebaiknya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan teknik kaki dan bukan teknik kepala ataupun badan. Sebab, pemain pendek sebaiknya jangan bermain bola tinggi." Bob Paisley tidak terlalu cemerlang ketika pada tahun 1939 untuk pertama kali bermain sebagai gelandang kiri untuk Liverpool. Ia justru menjadi sanjungan pecandu sepak bola ketika selama sembilan tahun menjadi pelatih klub itu dan berhasil membawanya kepuncak kejayaan, menjadi juara Eropa tiga kali (1977, 1978, 1981). Di Liga Inggris yang terkenal sangat keras itu, dia memimpin Liverpool menjadi juara enam kali selama delapan tahun (1976 sampai 1983), yang hanya diselingi Nottingham Forest (1978) dan Aston Villa (1982). Jabatan sebagai pelatih merangkap manajer Liverpool itu dia lepaskan tahun lalu. Sekarang dia duduk sebagai direkturnya. Untuk menularkan kemahiran orang bola yang berusia 66 tahun ini kepada pelatih di sini, perusahaan rokok BAT mensponsori kedatangannya ke Indonesia. Ongkos perjalanannya saja diperkirakan Rp 15 juta. Selama dua pekan, sejak 9 Februari, dia berkeliling memberikan ceramah dan diskusi dengan pelatih. Juga memberikan petunjuk praktis kepada para pemain di Jakarta, Bandung, Medan, Padang, dan Ujungpandang. Dia menganggap pemain sepak bola di sini ingin langsung saja main, tanpa menghiraukan perlunya latikan fisik yang cukup untuk mendukung daya tahan bermain selama dua kali 45 menit. Menurut Bob Paisley, tidak ada pola permainan yang bisa ditiru secara mentak-mentah. Pola yang harus diikuti, katanya, adalah pola yang bisa didukung kemampuan pemain, dan berdasarkan kebutuhan untuk menghadapi lawan tertentu. Kemantapan dalam pola permainan yang dipilih sangat menentukan. "Boleh dikatakan, empat puluh persen gol yang dibuat Liverpool sudah dirancang sebelumnya," katanya. Yang menonjol dari kelemahan pola permainan di sini, ialah kurang dimanfaatkannya lapangan tengah. "Pemain di sini suka menendang bola langsung dari garis belakang ke garis terdepan. Kurang memanfaatkan pemain tengah. Membuat mereka terlalu banyak lari dan gampang lelah," kata Bob. Menurut Paisley, pengertian dalam permainan yang menuntut kerja sama ini sangat penting. "Selain mempunyai kekuatan fisik yang tangguh, pemain juga harus punya skill untuk membaca situasi dan mengelola bola. Maksud saya, setiap pemain harus mampu memperhitungkan nilai setiap langkah sehingga dia tak perlu terlalu banyak lari yang sering kali malah mengacaukan permainan. Di sini, pemain yang mempunyai kemampuan itu adalah Budi Tanoto dari Persija. Kalau diberi kesempatan, dia akan dapat berbicara di tingkat dunia."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini