SEPAKTAKRAW (permainan bola rotan) bukanlah sesuatu yang asing
bagi Indonesia. Olahraga yang di sini lebih populer dengan nama
sepakraga itu telah lama menjadi bagian seni permainan anak
negeri. Di Sulawesi Selatan permainan sepakraga dulu hampir
selalu dipertunjukkan dalam setiap perhelatan kaum bangsawan. Di
kalangan rakyat sendiri pun tak kurang digemari. Pemain legenda
sepakbola nasional, Ramang pada awal karirnya dikenal sebagai
pemain sepakraga yang jempolan di Ujung Pandang (d/h Makassar).
Tapi sepakraga yang dikenal masyarakat di masa lalu berlainan
dengan permainan sepaktakraw sekarang. Dulu lapangannya
berbentuk lingkaran manusia. Dan ketrampilan seseorang itu diuji
dari kelihaiannya mempermainkan bola rotan itu tanpa menyentuh
tanah. Di Semenanjung Malaysia, seni permainan sepakraga serupa
tercatat dimainkan rakyat sejak abad ke-l 5 . Sebagaimana
olahraga yang lain sepakraga juga mengalami evolusi dalam
perkembangannya. Di tahun 1945, Malaysia mulai mengintrodusir
penggunaan jaring (net) dan peraturan permainan sepakraga secara
umum. Sehingga permainan anak negeri ini bisa dipertandingkan
seperti lazimnya olahraga. Di tahun 1965 keseragaman permainan
ini pun diperluas di kawasan Asia. Dan sekaligus diresmikan
terbentuknya Federasi Sepaktakraw Asia yang dipelopori oleh
Laos, Thailand, Singapura dan Malaysia. Selepas itu sepaktakraw
pun masuk menjadi mata acara pertandingan dalam South East Asian
Peninsular Cames.
Tanpa Alas
Di Indonesia perubahan sistim permainan sepakraga yang
diperkenalkan Malaysia bersama negara semenanjung lainnya
ternyata tidak begitu dikenal luas. Di Sulawesi Selatan
masyarakat tetap bermain dengan cara lama. Adanya rerubahan
sistim permainan sepakraga ini baru dikenal Indonesia ketika
tokoh olahraga Malaysia, Mohamad Khir Johari mengadakan eksibisi
di sini, tahun 1971. Dan pada waktu itu tercapailah kesepakatan
antara Khir Johari dan Dirjen Olahraga (sekarang Irjen P & K),
Soepardi untuk juga mengembangkan sepakraga secara massal di
Indonesia.
Dua pekan selepas Indonesia mengenal sistim permainan sepakraga
baru ini, undangan pun dilayangkan oleh panitia Pesta Sukan
(1971) di Singapura untuk ikut ambil bagian di sana. "Ketika itu
team Indonesia tak berhasil meraih satu angka pun dari lawan",
cerita Soepardi di depan majelis jamuan makan malam di "Holiday
Inn", Kuala Lumpur, akhir Oktober lalu. "Itu dulu. Kini, 5 tahun
berselang kami datang kembali untuk memperlihatkan kepada
saudara-saudara kemajuan yang kami capai atas hasil pembinaan
bersama dengan Malaysia". Di tahun 1974 Indonesia mendapat
bantuan seorang pelatih dari Malaysia untuk masa 1 1/2 bulan.
Apa yang diperlihatkan ketiga regu Indonesia -- team I: Andri,
Muslimin, dan Buhala team II: Kahar, Wahab, dan Musa team III:
Syaiful, Sukemi, dan Hatta -- di balai serbaguna Datuk Keramat,
Selangor, Selasa 26 Oktober petang boleh dicatat menggembirakan
dibanding hasil 1971 lalu. Sekalipun mereka belum berjaya
mencetak kemenangan regu I kalah 15-7 dan 15-8, regu II mencatat
seri 15-10 dan 11-15 (pertandingan lanjutan tidak diteruskan)
dan regu III kalah 15-6 dan 15-6. Namun sore itu pemain-pemain
Indonesia telah memberikan perlawanan yang berarti. "Kemajuan
yang dicapai Indonesia memang terlihat dibandingkan dulu",
komentar Wakil Ketua Persatuan Sepaktakraw Selangor, Achmad
Tajudin bin Shahabudin tampak berbasabasi. "Kekurangannya pun
masih kelihatan banyak. Terutama dalam penguasaan bola, serve,
kerjasama yang kompak, dan beberapa hal lain."
Ingin Lebih Baik
Dari ketiga regu itu, ketrampilan perorangan yang berkesan di
mata Achmad Tajudin --juga beberapa pengamat sepaktakraw di Alor
Setar, Penang, mau pun Singapura -- adalah kebolehan yang
diperlihatkan apit kiri, Andri. Dalam 4 kali pertandingan memang
Andri lah yang boleh dikatakan menunjukkan kehebatannya
dibandingkan rekannya yang lain. "Saya percaya di masa depan
Andri akan jadi pemain sepaktakraw yang baik", ujar Mohamad bin
Kassim, pengurus sepaktakraw Singapura.
Permainan sepaktakraw modern -- dilakukan di atas lapangan
seluas dan sama bentuknya dengan lapangan bulutangkis --memang
menuntut kerjasama yang terjalin rapi antara ketiga pemain --
tekong, apit kiri, dan apit kanan. "Itulah yang masih kurang
sekali dalam regu Indonesia", kata pelatih nasional Malaysia,
Azmi. "Lihatlah, baik dalam waktu defence (bertahan) maupun
menyerang kekompakan itu tak tampak sama sekali". Oleh karena
secara perorangan materi pemain Indonesia dapat disusun menjadi
team yang kuat, tidakkah pantas dicoba menyusun team gabungan?
Materinya: tekong, Mohamad Hatta (Sumatera Utara) apit kiri,
Andri (Sulawesi Selatan) apit kanan, Muslimin (Sulawesi
Selatan) atau Wahab (Riau). "Idealnya memang bisa dilakukan
begitu. Tapi waktu terpendek sekali. Sehingga sulit untuk
mempersiapkan team gabungan yang baik", kata pelatih, Rachman
Daud.
Lawatan team sepaktakraw Indonesia memang bukan muhibah untuk
mencari kemenangan. Tapi dalam rangka menjajagi sudah sejauh
mana ketrampilan anak-anak Indonesia mengenal permainan
sepaktakraw -- olahraga ini merupakan projek dari Direktorat
Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga. Sebab dalam waktu
dekat ini kehadiran Indonesia sudah ditunggu dalam 2 turnamen:
Kejuaraan Sepaktakraw Asean dan SEAP Games. "Kalau di tahun
1971, Indonesia menempati urutan 3 besar dari 3 negara peserta,
dalam turnamen selanjutnya kami ingin mencapai prestasi yang
lebih baik", lanjut Chef de Mission, Soepardi dalam setiap
pertemuan di Malaysia maupun di Singapura. Adakah niat Soepardi
itu bakal kesampaian? Semua itu tergantung pada tekad dan kerja
keras pemain, pelatih. dan pembina, tentunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini