"Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan
datang dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang
datang dari segenap penjuru yang jauh ".
Qur'an Surat AL-HAJJ ayat 27.
SERUAN itu memang disambut di segenap penjuru, setiap tahun.
Bahkan ada yang datang seperti ayat di atas, berjalan kaki atau
dengan mengendarai unta-unta kurus -- karena berhari-hari
disengat panas menempuh perjalanan panjang di gurun pasir.
Persis seperti ketika nabi Muhummad beserta para sahabat
melakukannya lebih kurang 14 abad yang lalu. Tentu saja kini
lebih banyak mereka yang mengendarai unta-unta Chevrolet,
Toyota, Datsun, Mercedez, atau Peugeot, kelahiran Amerika,
Jepang, Jerman, Perancis serta berbagai negeri Eropa lainnya.
Bagi yang jauh daerahnya dari tanah suci ini, tersedia unta-unta
bersayap berbagai jenis siap menerbangkan jemaah menuju bandar
udara Jeddah dalam tempo beberapa jam saja.
Tidak terkecuali dari Indonesia. Dari pelabuhan udara Medan,
Jakarta, dan Surabaya, armada pesawat Garuda, Merpati dan
Mandala silih berganti membongkar isi perut di Jeddah untuk
kemudian kembali lagi mengisi penumpang baru. Seluruhnya
meliputi 74 kali penerbangan dengan jumlah 17.000 jemaah.
Sekitar 8.000 lainnya diangkut dengan kapal laut -- Gunung Jati,
Lehavre Abeto dan Mei Abeto dari delapan pelabuhan. Tapi tahun
ini ada tanda menarik: Jumlah jemaah haji tahun ini baru
sepertiga dibanding dua tahun lalu, atau separoh dari tahun
kemarin.
Mengapa terjadi anjlog sehehat itu? Direktur Jenderal Haji
Brigjen Burhani Tjokrohandoko mengatakan kepada Yunus Kasim dari
TEMPO -- dalam penerbangan perdana Garuda ke Jeddah, dua pekan
lalu -- bahwa berkurangnya minat naik haji tahun ini disebabkan
"kekacauan penyelenggaraan tahun lalu". Sementara itu Menteri
Agama Mukti Ali di depan wartawan di Bina Graha beberapa waktu
lampu menyebut penyebabnya "mungkin karena adanya musim kemarau
panjang di samping jual beli tanah yang tidak begitu lancar".
Mukti Ali juga membenarkan adanya keragu-raguan masyarakat
mengenai penyelenggaraan haji taJIun ini, terutama dalam
penunjukan syekh.
Dugaan Menteri Agama tersehut ternyata betul. Janji pihak Dirjen
Haji dalam hal "penunjukan syekh bisa dilakukan di Jakarta"
nyatanya tidak bisa terlaksana. Utusan dari Saudi Arabia yang
ditugasi untuk itu kembali dengan tangan kosong, berhubung
adanya ketidak sesuaian dalam pengaturannya (lihat box).
Bagi calon iemaah haji, hal ini berarti aba-aba yang kurang
menyenangkan. Dalam prakteknya jemaah yang diangkut kapal
Lehavre Abeto misalnya, memilih syekh dilakukan paling sedikit
tiga kali. Bermula ketika masih didarat. Tersedia 18 nama syekh
untuk dipilih ke sembi lan ratus jemaah yang a!kan segera
diangkut. Begitu berlayar buyar pula segala pilihan di darat
tadi. Jemaah diharuskan lagi memilih syekh menurut daftar yang
ada di atas kapal. Namun lain di tanah air, lain di atas kapal,
lain pula yang terjadi begitu Lehavre Abeto membuang sauh di
Jeddah. Kedua daftar itu ternyata tidak digubris. Dan apa boleh
buat jemaah sekali lagi menentukan syekhnya. "Pendeknya kami
jadi gelagapan semua", kata seorang jemaah asal Tebet Jakarta
kepada TEMPO di Medinah baru-baru ini.
Kesalahan itu nampaknya ingin dibebankan lagi kepada pihak
petugas syekh yang datang sendirian itu. Petugas Ditjen Haji
yang coba dihubungi TEMPO di jalan Kebon Sirih berusaha mengelak
sctiap pertanyaan sekitar "ikhwal memilih syekh itu. Sebaliknya,
sekembali dari lawatan umrah atas undangan Garuda, Dirjen Haji
Bulhani ada menyebut-nyebut ribuan jemaah haji yang terlantar di
Saudi. Berita itu kemudian dibantah sang dirjen sendiri dan
mengatakan "yang benar terlantar adalah jemaan umrah".
Tidak disebutkan pihak mana yang jemaahnya terlantar dalam
keterangan Burhani tersebut, "pihak-pihak tertentu", katanya.
Sanggahan pun datang dari mereka yang melaksanakan perjalanan
umrah maupun ziarah Timur Tengah. "Itu tidak benar", kata
Syafruddin Prawiranegara ketua Yayasan Dana Gabungan Haji dan
Pembangunan. YDTHP tahun ini memberangkatkan 115 orang untuk
umrah. Sementara itu H. Musaffa Basyir dari Yayasan Perjalanan
Haji Indonesia menyatakan bantahan serupa. "Itu isyu yang
bermaksud kurang baik", tukasnya. Apa maksudnya? Supaya tak ada
gairah dari ummat Islam untuk melakukan umrah", demikian
Musaffa.
APAPUN kelanjutan saling bantah seperti ini, yang jelas pihak
Ditjen Haji akhir-akhir ini terus mendapat sorotan masyarakat.
Bila ingin dicari-cari sebab musababnya, akhirnya toh kembali
kepada dua kesimpulan. Soal pokok haji adalah pengangkutan dan
pelayanan. Dan dari sinilah pertengkaran itu dimulai. Baik
antara jemaah dengan pemerintah selaku pelaksana tunggal, maupun
pemerintah dengan pihak swasta.
Adanya perbedaan tarif yang ditentukan pemerintah dengan tarif
pihak swasta memancing tanda tanya dan jadi bahan perdebatan.
Ongkos Naik Haji, disingkat ONH, yang ditetapkan pemerintah Rp
890.000 betapapun dinilai oleh kalangan swasta terlalu mahal.
Naiknya tarif ONH setiap tahun, menurut Burhani, selain
"inflasi, juga disebabkan beberapa faktor lain". Apa saja faktor
yang dimaksud oleh sang dirjen tidak dijelaskan.
Yang jadi tanda tanya pula bagaimana perincian jenis biaya yang
terkandung dalam ONH. "Banyak pejabat tak mengetahui pasti
komponen-komponen biaya dan penggunaannya", kata seorang jemaah
musim haji kemarin. Namun bagi ketua YDTHP dan bekas Presiden
Pemerintah Darurat Tndonesia Syafruddin Prawiranegara, dengan Rp
650 ribu saja pihaknya sudah bisa memberangkatkan haji di mana
rata-rata jemaah tinggal sebulan di Saudi. Perinciannya: 650
dollar (Amerika) buat pesawat pulang pergi, 500 dollar keperluan
di Saudi (syekh, penginapan, kasur, alat-alat dapur, bahan
bakar, uang saku, dan pengangkutan) 106 dollar royalty di Saudi
100 dollar biaya tak terduga-duga, dan 100 dollar lagi untuk
dana pembangunan ummat Islam. Karena itu menurut Syafruddin,
"terangkanlah yang Rp 890 ribu itu untuk apa. Ini kan jemaah
dicatut saja".
Biaya yang kurang lebih sama dijalankan juga oleh PHI pimpinan
Musaffa Basyir. Dengan bekerjasama biro perjalanan Jakarta
Voyage, tour Timur Tengah dan Umrah beranggotakan 28 orang
mengunjungi Malaysia, Saudi Arabia, Irak dan Iran dalarn waktu
22 hari.Di negara-negara tersebut mereka ditempatkan di hotel
kelas satu, kecuali Irak dan Iran yang batal dikunjungi
berhubung visa harus diurus tiga bulan sebelumnya. "Peserta
memang kecewa, namun akhirnya mereka memahami. Sebagai
kompensasi sekembalinya mereka singgah lagi di Malaysia selama
seminggu. Di samping itu penyelenggara memberi ganti rugi
(restitusi) sebesar 35 dollar (Amerika)", demikian Musaffa
Basyir kepada DS Karma dari TEMPO.
Selain murah, penyelenggaraan umrah seperti ini pun mendatangkan
devisa buat negara dari pajak fiskal tiap peserta. Menjadi tanda
tanya pula mengapa tarif penerbangan Jakarta Jeddah yang
dicarter -- dan ini biasanya dengan potongan -- pemerintah
berbeda hampir 200 dollar dengan tarif YDTHP dan PHI? Sofyan
Alty dari Humas Perusahaan Penerbangan Merpati mengatakan kepada
Harun Musawa dari TEMPO bahwa kontrak penerbangan dengan Ditjen
Haji untuk tarif pesawat meliputi 840 dollar. Menurut
pengakuannya dalam tarif tersebut tidak ada potongan. "Yang
tertera dalam kontrak itu sekian pula yang diterima MNA",
katanya. Padahal dengan biaya yang sama, tarif sebesar itu
dijajakan perusahaan Garuda untuk penerbangan Jakarta-Amsterdam
pulang pergi.
Celakanya, kenaikan ONH setiap tahun itu tidak dibarengi dengan
peningkatan pelayanan yang memadai. Selaku pihak yang memonopoli
pemberangkatan haji, pemerintah nampaknya lebih memementingkan
kepentingannya sebagai pemberi jasa dari pada kepentingan
jemaah. Banyaknya instansi yang harus dilalui --mulai dari lurah
sampai ke departemen-departemen -- bukannya memperlancar
pengurusan. Tapi sebaliknya terasa malah menghambat lancarnya
arus pelayanan jemaah. "Apa yang dikerjakan pemerintah otomatis
dianggap baik. Dan swasta optimis tidak baik. Apalagi bila
gagal, akan terus dipakai jadi ukuran", kata Syafruddin
Prawiranegara.
Hal ini diungkapkan menyusul berita gagalnya 325 calon jemaah
yang diurus YDTHP berangkat tahun ini akibat salah urus salah
seorang ketuanya (lihat: Kisah 325 calon yang terlantar). "Tapi
kenapa penderitaan jemaah dalam dua tahun terakhir ini, yang
merupakan eksperimen Dirjen Haji, tidak disinggung", katanya
kepada TEMPO dengan nada menggugat. Di Mekah gejala salah urus
ini sudah mulai kambuh lagi, khususnya penginapan. Rumah-rumah
lama yang tahun kemarin sewanya 400 Rial selama satu musim, kini
berkisar antara 500 sampai 700 Rial. Sedang rumah, baru tarirnya
antara 700 hingga l000 Rial. Itupun bila dipesan jauh
sebelumnya.
Adakah jemaah Indonesia yang jumlahnya tidak begitu besar akan
lebih santai dibanding tahun-tahun lewat? Pemandangan yang
dijumpai Yunus Kasim dari TEMPO, memberi kesan tidak ada
perobahan. Artinya jemaah Indonesia masih tetap berhimpit-himpit
dalam ruang kecil dan pengap. Di Medina didapatinya rombongan
asal Palembang sebanyak 23 orang menempati kamar berukuran 6 x 4
meter. Di rumah yang sama, pada tingkat atas, sebuah kamar lagi
dijejali jemaah 20 orang berikut barang-barang bawaannya. Untuk
seluruh rombongan tersebut hanya tersedia sebuah kamar mandi dan
WC. Mencuci dan tidur dikerjakan dalam satu ruangam dan kalau
hendak memasak tikar harus diangkat lebih dahulu. Sangat berbeda
sekali dengan keadaan jemaah Malaysia yang konon ONH-nya hampir
separoh dihanding ONH jemaah Indonesia.
Upaya meningkatkan pelayanan semacam ini datangnya dari
pemerintah DKI Jakarta. Pengalaman pahit yang dirasakan sendiri
oleh Gubernur Ali Sadikin, telah mendorong pemerintah DKI
meningkatkan pelayanan kepada warganya yang menunaikan rukun
Islam yang kelima itu. Pos "membantu perkembangan agama" dalam
anggaran DKI dikeluarkan sebanyak Rp 41 juta guna keperluan
pelayanan. Pelayanan khusus ini diberikan tanpa meminta tambahan
biaya apa pun dari jemaah. Meskipun begitu kebijaksanaan ini
pada gilirannya akan memancing pertikaian baru. "Kalau
daerah-daerah ingin melakukan hal yang serupa, lalu apa kerja
petugas Ditjen Haji?", kata seorang anggota DPR.
Bagaimanapun juga masalah pemberangkatan dan pelayanan haji ini
tampaknya tidak cukup hanya dimonopoli satu pihak saja. Sebab
konsumen yang dalam hal ini calon jemaah tentu tidak bisa terus
menerus menerima penawaran yang tinggi sementara pihak lain pada
waktu yang sama mengajukan penawaran lebih rendah. Monopoli bisa
dipertahankan selama dapat menekan harga serendah mungkin
sembari mengurangi liku-liku birokratis serta menghindari
terlalu banyaknya aparat yang terlibat. "Pendirian saya
hendaknya ada kompetisi dalam hal ini", demikian Syafruddin
kepada TEMPO di rumahnya di Jalan Kartanegara 3 Jakarta. Sebab
menurut ketua YDTHP tersebut, "monopoli yang selama ini hanya
akan merusak. Padahal pemerintah hendaknya memberi contoh yang
baik. Misalnya menawarkan harga yang paling rendah di antara
semua penawaran. Izinkanlah saya mengangkut 1000 jemaah dan akan
saya buktikan bahwa Rp 600 ribu itu cukup", katanya.
Persaingan semacam ini pernah juga terjadi ketika zaman Hindia
Belanda di tahun dua puluhan. Meskipun ordonansi haji no.
698/1922 mengatur cara mengangkut jemaah, syarat perkapalan, dan
syarat agen, toh pemerintah ketika itu pun membenarkan hak
monopoli. Kapal Haji Kongsi Tiga yang diserahi monopoli
pengangkutan haji dengan seenaknya memasang tarif 250 Gulden
pulang pergi. Tapi begitu sebuah kapal milik seorang Muslim
Hongkong memaki pasaran angkutan haji di Hindia Belanda, tarif
Kapal Kongsi Tiga dengan mengejutkan meluncur hingga 80 Gulden.
Sementara itu pada musim haji 1972/73 perbedaan tarif angkutan
laut dan udara antara ONH pemerintah dengan Husami cukup besar,
meskipun tidak begitu menyolok. Pemerintah menetapkan Rp 380
ribu ONH laut dan Rp 402 ribu ONH udara, sementara DPP Husami
menentukan ONH laut Rp 340 ribu dan ONH udara sebesar Rp
368.000.
Memang tidak disangkal bila pihak pemerintah dihadapkan
keragu-raguan dalam membuka kesempatan kepada pihak swasta. Ini
cukup beralasan mengingat cerita-cerita penipuan yang
mengakibatkan terlantarnya ribuan calon haji seperti pada musim
1968/69. Namun demikian kegagalan semacam ini bukan hanya milik
swasta saja. Sudah saatnya pula, sebagaimana dikatakan Yusuf
Hasyim kepada TEMPO pekan lalu, bahwa "dalam soal haji ini
ditempuh kebijaksanaan yang terbuka". Persoalan kini: bila haji
seluruhnya diselenggarakan oleh pemerintah, seberapa jauhkah
pendapatan telah masuk kas negara? Sebaliknya jika pengurusan
diserahkan kepada swasta, tidakkah ratusan juta pajak fiskal
dari jemaah haji bisa juga mengisi kas negara tiap musim haji?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini