Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Setelah Jumlah Jamaah Anjlok

Jumlah haji indonesia tahun 1976 menurun, akibat pelayanan dan penunjukan syekh yang ricuh. ongkos naik haji yang ditetapkan pemerintah tidak terperinci dan lebih mahal daripada swasta.

20 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh ". Qur'an Surat AL-HAJJ ayat 27. SERUAN itu memang disambut di segenap penjuru, setiap tahun. Bahkan ada yang datang seperti ayat di atas, berjalan kaki atau dengan mengendarai unta-unta kurus -- karena berhari-hari disengat panas menempuh perjalanan panjang di gurun pasir. Persis seperti ketika nabi Muhummad beserta para sahabat melakukannya lebih kurang 14 abad yang lalu. Tentu saja kini lebih banyak mereka yang mengendarai unta-unta Chevrolet, Toyota, Datsun, Mercedez, atau Peugeot, kelahiran Amerika, Jepang, Jerman, Perancis serta berbagai negeri Eropa lainnya. Bagi yang jauh daerahnya dari tanah suci ini, tersedia unta-unta bersayap berbagai jenis siap menerbangkan jemaah menuju bandar udara Jeddah dalam tempo beberapa jam saja. Tidak terkecuali dari Indonesia. Dari pelabuhan udara Medan, Jakarta, dan Surabaya, armada pesawat Garuda, Merpati dan Mandala silih berganti membongkar isi perut di Jeddah untuk kemudian kembali lagi mengisi penumpang baru. Seluruhnya meliputi 74 kali penerbangan dengan jumlah 17.000 jemaah. Sekitar 8.000 lainnya diangkut dengan kapal laut -- Gunung Jati, Lehavre Abeto dan Mei Abeto dari delapan pelabuhan. Tapi tahun ini ada tanda menarik: Jumlah jemaah haji tahun ini baru sepertiga dibanding dua tahun lalu, atau separoh dari tahun kemarin. Mengapa terjadi anjlog sehehat itu? Direktur Jenderal Haji Brigjen Burhani Tjokrohandoko mengatakan kepada Yunus Kasim dari TEMPO -- dalam penerbangan perdana Garuda ke Jeddah, dua pekan lalu -- bahwa berkurangnya minat naik haji tahun ini disebabkan "kekacauan penyelenggaraan tahun lalu". Sementara itu Menteri Agama Mukti Ali di depan wartawan di Bina Graha beberapa waktu lampu menyebut penyebabnya "mungkin karena adanya musim kemarau panjang di samping jual beli tanah yang tidak begitu lancar". Mukti Ali juga membenarkan adanya keragu-raguan masyarakat mengenai penyelenggaraan haji taJIun ini, terutama dalam penunjukan syekh. Dugaan Menteri Agama tersehut ternyata betul. Janji pihak Dirjen Haji dalam hal "penunjukan syekh bisa dilakukan di Jakarta" nyatanya tidak bisa terlaksana. Utusan dari Saudi Arabia yang ditugasi untuk itu kembali dengan tangan kosong, berhubung adanya ketidak sesuaian dalam pengaturannya (lihat box). Bagi calon iemaah haji, hal ini berarti aba-aba yang kurang menyenangkan. Dalam prakteknya jemaah yang diangkut kapal Lehavre Abeto misalnya, memilih syekh dilakukan paling sedikit tiga kali. Bermula ketika masih didarat. Tersedia 18 nama syekh untuk dipilih ke sembi lan ratus jemaah yang a!kan segera diangkut. Begitu berlayar buyar pula segala pilihan di darat tadi. Jemaah diharuskan lagi memilih syekh menurut daftar yang ada di atas kapal. Namun lain di tanah air, lain di atas kapal, lain pula yang terjadi begitu Lehavre Abeto membuang sauh di Jeddah. Kedua daftar itu ternyata tidak digubris. Dan apa boleh buat jemaah sekali lagi menentukan syekhnya. "Pendeknya kami jadi gelagapan semua", kata seorang jemaah asal Tebet Jakarta kepada TEMPO di Medinah baru-baru ini. Kesalahan itu nampaknya ingin dibebankan lagi kepada pihak petugas syekh yang datang sendirian itu. Petugas Ditjen Haji yang coba dihubungi TEMPO di jalan Kebon Sirih berusaha mengelak sctiap pertanyaan sekitar "ikhwal memilih syekh itu. Sebaliknya, sekembali dari lawatan umrah atas undangan Garuda, Dirjen Haji Bulhani ada menyebut-nyebut ribuan jemaah haji yang terlantar di Saudi. Berita itu kemudian dibantah sang dirjen sendiri dan mengatakan "yang benar terlantar adalah jemaan umrah". Tidak disebutkan pihak mana yang jemaahnya terlantar dalam keterangan Burhani tersebut, "pihak-pihak tertentu", katanya. Sanggahan pun datang dari mereka yang melaksanakan perjalanan umrah maupun ziarah Timur Tengah. "Itu tidak benar", kata Syafruddin Prawiranegara ketua Yayasan Dana Gabungan Haji dan Pembangunan. YDTHP tahun ini memberangkatkan 115 orang untuk umrah. Sementara itu H. Musaffa Basyir dari Yayasan Perjalanan Haji Indonesia menyatakan bantahan serupa. "Itu isyu yang bermaksud kurang baik", tukasnya. Apa maksudnya? Supaya tak ada gairah dari ummat Islam untuk melakukan umrah", demikian Musaffa. APAPUN kelanjutan saling bantah seperti ini, yang jelas pihak Ditjen Haji akhir-akhir ini terus mendapat sorotan masyarakat. Bila ingin dicari-cari sebab musababnya, akhirnya toh kembali kepada dua kesimpulan. Soal pokok haji adalah pengangkutan dan pelayanan. Dan dari sinilah pertengkaran itu dimulai. Baik antara jemaah dengan pemerintah selaku pelaksana tunggal, maupun pemerintah dengan pihak swasta. Adanya perbedaan tarif yang ditentukan pemerintah dengan tarif pihak swasta memancing tanda tanya dan jadi bahan perdebatan. Ongkos Naik Haji, disingkat ONH, yang ditetapkan pemerintah Rp 890.000 betapapun dinilai oleh kalangan swasta terlalu mahal. Naiknya tarif ONH setiap tahun, menurut Burhani, selain "inflasi, juga disebabkan beberapa faktor lain". Apa saja faktor yang dimaksud oleh sang dirjen tidak dijelaskan. Yang jadi tanda tanya pula bagaimana perincian jenis biaya yang terkandung dalam ONH. "Banyak pejabat tak mengetahui pasti komponen-komponen biaya dan penggunaannya", kata seorang jemaah musim haji kemarin. Namun bagi ketua YDTHP dan bekas Presiden Pemerintah Darurat Tndonesia Syafruddin Prawiranegara, dengan Rp 650 ribu saja pihaknya sudah bisa memberangkatkan haji di mana rata-rata jemaah tinggal sebulan di Saudi. Perinciannya: 650 dollar (Amerika) buat pesawat pulang pergi, 500 dollar keperluan di Saudi (syekh, penginapan, kasur, alat-alat dapur, bahan bakar, uang saku, dan pengangkutan) 106 dollar royalty di Saudi 100 dollar biaya tak terduga-duga, dan 100 dollar lagi untuk dana pembangunan ummat Islam. Karena itu menurut Syafruddin, "terangkanlah yang Rp 890 ribu itu untuk apa. Ini kan jemaah dicatut saja". Biaya yang kurang lebih sama dijalankan juga oleh PHI pimpinan Musaffa Basyir. Dengan bekerjasama biro perjalanan Jakarta Voyage, tour Timur Tengah dan Umrah beranggotakan 28 orang mengunjungi Malaysia, Saudi Arabia, Irak dan Iran dalarn waktu 22 hari.Di negara-negara tersebut mereka ditempatkan di hotel kelas satu, kecuali Irak dan Iran yang batal dikunjungi berhubung visa harus diurus tiga bulan sebelumnya. "Peserta memang kecewa, namun akhirnya mereka memahami. Sebagai kompensasi sekembalinya mereka singgah lagi di Malaysia selama seminggu. Di samping itu penyelenggara memberi ganti rugi (restitusi) sebesar 35 dollar (Amerika)", demikian Musaffa Basyir kepada DS Karma dari TEMPO. Selain murah, penyelenggaraan umrah seperti ini pun mendatangkan devisa buat negara dari pajak fiskal tiap peserta. Menjadi tanda tanya pula mengapa tarif penerbangan Jakarta Jeddah yang dicarter -- dan ini biasanya dengan potongan -- pemerintah berbeda hampir 200 dollar dengan tarif YDTHP dan PHI? Sofyan Alty dari Humas Perusahaan Penerbangan Merpati mengatakan kepada Harun Musawa dari TEMPO bahwa kontrak penerbangan dengan Ditjen Haji untuk tarif pesawat meliputi 840 dollar. Menurut pengakuannya dalam tarif tersebut tidak ada potongan. "Yang tertera dalam kontrak itu sekian pula yang diterima MNA", katanya. Padahal dengan biaya yang sama, tarif sebesar itu dijajakan perusahaan Garuda untuk penerbangan Jakarta-Amsterdam pulang pergi. Celakanya, kenaikan ONH setiap tahun itu tidak dibarengi dengan peningkatan pelayanan yang memadai. Selaku pihak yang memonopoli pemberangkatan haji, pemerintah nampaknya lebih memementingkan kepentingannya sebagai pemberi jasa dari pada kepentingan jemaah. Banyaknya instansi yang harus dilalui --mulai dari lurah sampai ke departemen-departemen -- bukannya memperlancar pengurusan. Tapi sebaliknya terasa malah menghambat lancarnya arus pelayanan jemaah. "Apa yang dikerjakan pemerintah otomatis dianggap baik. Dan swasta optimis tidak baik. Apalagi bila gagal, akan terus dipakai jadi ukuran", kata Syafruddin Prawiranegara. Hal ini diungkapkan menyusul berita gagalnya 325 calon jemaah yang diurus YDTHP berangkat tahun ini akibat salah urus salah seorang ketuanya (lihat: Kisah 325 calon yang terlantar). "Tapi kenapa penderitaan jemaah dalam dua tahun terakhir ini, yang merupakan eksperimen Dirjen Haji, tidak disinggung", katanya kepada TEMPO dengan nada menggugat. Di Mekah gejala salah urus ini sudah mulai kambuh lagi, khususnya penginapan. Rumah-rumah lama yang tahun kemarin sewanya 400 Rial selama satu musim, kini berkisar antara 500 sampai 700 Rial. Sedang rumah, baru tarirnya antara 700 hingga l000 Rial. Itupun bila dipesan jauh sebelumnya. Adakah jemaah Indonesia yang jumlahnya tidak begitu besar akan lebih santai dibanding tahun-tahun lewat? Pemandangan yang dijumpai Yunus Kasim dari TEMPO, memberi kesan tidak ada perobahan. Artinya jemaah Indonesia masih tetap berhimpit-himpit dalam ruang kecil dan pengap. Di Medina didapatinya rombongan asal Palembang sebanyak 23 orang menempati kamar berukuran 6 x 4 meter. Di rumah yang sama, pada tingkat atas, sebuah kamar lagi dijejali jemaah 20 orang berikut barang-barang bawaannya. Untuk seluruh rombongan tersebut hanya tersedia sebuah kamar mandi dan WC. Mencuci dan tidur dikerjakan dalam satu ruangam dan kalau hendak memasak tikar harus diangkat lebih dahulu. Sangat berbeda sekali dengan keadaan jemaah Malaysia yang konon ONH-nya hampir separoh dihanding ONH jemaah Indonesia. Upaya meningkatkan pelayanan semacam ini datangnya dari pemerintah DKI Jakarta. Pengalaman pahit yang dirasakan sendiri oleh Gubernur Ali Sadikin, telah mendorong pemerintah DKI meningkatkan pelayanan kepada warganya yang menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Pos "membantu perkembangan agama" dalam anggaran DKI dikeluarkan sebanyak Rp 41 juta guna keperluan pelayanan. Pelayanan khusus ini diberikan tanpa meminta tambahan biaya apa pun dari jemaah. Meskipun begitu kebijaksanaan ini pada gilirannya akan memancing pertikaian baru. "Kalau daerah-daerah ingin melakukan hal yang serupa, lalu apa kerja petugas Ditjen Haji?", kata seorang anggota DPR. Bagaimanapun juga masalah pemberangkatan dan pelayanan haji ini tampaknya tidak cukup hanya dimonopoli satu pihak saja. Sebab konsumen yang dalam hal ini calon jemaah tentu tidak bisa terus menerus menerima penawaran yang tinggi sementara pihak lain pada waktu yang sama mengajukan penawaran lebih rendah. Monopoli bisa dipertahankan selama dapat menekan harga serendah mungkin sembari mengurangi liku-liku birokratis serta menghindari terlalu banyaknya aparat yang terlibat. "Pendirian saya hendaknya ada kompetisi dalam hal ini", demikian Syafruddin kepada TEMPO di rumahnya di Jalan Kartanegara 3 Jakarta. Sebab menurut ketua YDTHP tersebut, "monopoli yang selama ini hanya akan merusak. Padahal pemerintah hendaknya memberi contoh yang baik. Misalnya menawarkan harga yang paling rendah di antara semua penawaran. Izinkanlah saya mengangkut 1000 jemaah dan akan saya buktikan bahwa Rp 600 ribu itu cukup", katanya. Persaingan semacam ini pernah juga terjadi ketika zaman Hindia Belanda di tahun dua puluhan. Meskipun ordonansi haji no. 698/1922 mengatur cara mengangkut jemaah, syarat perkapalan, dan syarat agen, toh pemerintah ketika itu pun membenarkan hak monopoli. Kapal Haji Kongsi Tiga yang diserahi monopoli pengangkutan haji dengan seenaknya memasang tarif 250 Gulden pulang pergi. Tapi begitu sebuah kapal milik seorang Muslim Hongkong memaki pasaran angkutan haji di Hindia Belanda, tarif Kapal Kongsi Tiga dengan mengejutkan meluncur hingga 80 Gulden. Sementara itu pada musim haji 1972/73 perbedaan tarif angkutan laut dan udara antara ONH pemerintah dengan Husami cukup besar, meskipun tidak begitu menyolok. Pemerintah menetapkan Rp 380 ribu ONH laut dan Rp 402 ribu ONH udara, sementara DPP Husami menentukan ONH laut Rp 340 ribu dan ONH udara sebesar Rp 368.000. Memang tidak disangkal bila pihak pemerintah dihadapkan keragu-raguan dalam membuka kesempatan kepada pihak swasta. Ini cukup beralasan mengingat cerita-cerita penipuan yang mengakibatkan terlantarnya ribuan calon haji seperti pada musim 1968/69. Namun demikian kegagalan semacam ini bukan hanya milik swasta saja. Sudah saatnya pula, sebagaimana dikatakan Yusuf Hasyim kepada TEMPO pekan lalu, bahwa "dalam soal haji ini ditempuh kebijaksanaan yang terbuka". Persoalan kini: bila haji seluruhnya diselenggarakan oleh pemerintah, seberapa jauhkah pendapatan telah masuk kas negara? Sebaliknya jika pengurusan diserahkan kepada swasta, tidakkah ratusan juta pajak fiskal dari jemaah haji bisa juga mengisi kas negara tiap musim haji?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus