KINI ada sasaran baru bagi anak buah Dirjen Bea Cukai Tahir:
pabrik-pabrik rokok putih dan rokok kretek. Melalui sepucuk SK
baru-baru ini, Dirjen Tahir memerintahkan pengawasan lebih ketat
terhadap 11 pabrik rokok putih dan 22 pabrik rokok kretek.
Pengawasan terhadap yang putih tujuannya untuk mencegah
manipulasi jumlah pita cukai. Maksudnya, pemesanan pita cukai
yang kurang dari produksi rokok sesungguhnya. Sedang pengawasan
terhadap pabrik rokok kretek tujuannya mencegah manipulasi harga
jual yang jauh di atas harga limit yang tertera pada pita cukai
(hanrol) yang dipesan. Untuk itu, kc-22 pabrik rokok kretek itu
(untuk sementara?) dilarang menggunakan pita harga limit/ yang
dlpakal sebelumnya.
Dua puluh dua pabrik rokok kretek itu, termasuk 4 besar Gudang
Garam (Kediri), Dji Sam Soe (PT H.M. Sampurna, Surabaya),
Bentoel (Malang), dan VIP (PT Djarum, Kudus). Tapi bukan 4 besar
itu saja, melainkan praktis semua pabrik rokok kretek yang cukup
punya nama di Bali, Jawa dan Sumatera Utara masuk 'daftar hitam'
Dirjen Bea Cukai itu lantaran menjual rokok kreteknya jauh di
atas harga banrol. Ini tentu tak termasuk pabrik-pabrik kecil
yang sudah gulung tikar akibat mahalnya harga cengkeh.
Apa tindak lanjut SK Dirjen Tahir itu belum diumumkan. Juga
sanksi apa yang akan diambil terhadap 22 pahrik rokok kretek
yang memanipulir harga banrolnya itu. Tapi terang pemerintah
tidak mau dirugikan oleh pembayaran cukai pabrik-pabrik kretek
yang terasa tak wajar. Diperkirakan, setelah meneliti kasus
ke-22 pabrik kretek itu satu per satu, harga banrolnya akan
dinaikkan mendekati harga jual riil dari pabrik.
Ambillah contoh 4 besar itu. Menurut keterangan seorang grosir
yang dihubungi TEMPO di daerah Pasar Senen Jakarta, harga jual
pabrik-pabrik itu lewat perwakilannya di Jakarta -- atau lewat
agen besar -- "jauh di atas harga banrol". Satu bungkus Gudang
Garam berisi 10 batang, yang harga banrolnya Rp 85 dari pabrik
harganya sekitar Rp 145. Selanjutnya dijual ke pengecer seharga
Rp 175 per bungkus. Bentoel Premium yang banrolnya Rp 45 per
bungkus, dijual oleh pabrik seharga Rp 110 sehingga harga eceran
di Jakarta jadi Rp 125 sebungkus. Begitu pula rokok Jarum Coklat
yang banrolnya pun Rp 45 sebungkus, dari pabrik harganya Rp 104
dan di pasaran eceran sudah Rp 125 pula. Yang paling mahal di
kios-kios pengecer adalah Dji Sam Soe, yakni Rp 300 scbungkus.
Padahal harga banrolnya cuma Rp 120.
Cukai yang dibayar 4 besar kretek itu bcrdasarkan harga
banrolnya saja sudah cukup besar. Pertengahan 1974 ketika harga
cengkeh mendadak naik 3 x lipat dan harga eceran kretek ikut
naik sampai 2 x harga banrol cukai 4 besar itu sudah berkisar
antara 1/2 sampai 1 milyar rupiah sebulan. Yang paling top waktu
itu adalah Gudang Garam yang setiap bulan menyetor 1 milyar
rupiah ke Bea Cukai (TEMPO 1 Juni 1974). Sekarang, lebih dari 2
tahun kemudian, produksi 4 besar yang ditunjang olch promosi
besar-besaran itu tentunya sudah naik.
Apa alasan pabrik menjual produknya hampir 2 x harga banrol?
Kata Imam Santoso dari perwakilan Bentoel Jakarta: "Karena harga
cengkeh dan tembakau makin mahal saja, maka terpaksa dijual
lebih mahal dari itu". Maka timbul anggapan bahwa keuntungan
yang bebas cukai itu merupakan dana cadangan untuk menghadapi
kenaikan harga bahan baku. Atau untuk menutup biaya promosi yang
menelan biaya besar. Menurut dua fabrikan kretek yang nyaris
bangkrut di Yogyakarta cengkeh resminya dari importir berharga
Rp 5.500 sekilo tapi di luaran bisa mencapai Rp 8000 sekilo
(Pelita, 27 Oktober). Sementara itu upah buruh rokok kretek
masih termasuk paling rendah di Indonesia. Menurut ketua FBSI
Agus Sudono, ada buruh rokok kretek di Kudus yang hanya mendapat
upah Rp 60 per 1000 batang. Padahal sehari maksimal segitulah
yang mampu dilinting seorang buruh kretek.
Fihak Bea Cukai tampaknya keberatan membiarkan manipulasi harga
banrol ini berjalan terus. Apalagi dengan ditingkatkannya
sasaran penerimaan cukai tembakau dari Rp 104 n1ilyar menjadi Rp
112 milyar untuk tahun fiskal ini. Dari sasaran baru itu, 51%
sudah tercapai selama semester 1 yakni Rp 50,8 milyar. Atau
sekitar Rp 8,4 milyar sebulan. Berarti andil si 4 besar kretek
cukup menonjol -- yakni sekitar 50%. Belum lagi 18 fabrikan
kretek lainnya. Jadi sepantasnyalah Dirjen Tahir mengambil
tindakan drastis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini