Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menjala Cukai Kretek

Dirjen bea cukai memerintah pengawasan ketat terhadap 11 pabrik rokok putih dan 22 pabrik kretek. mencegah manipulasi pita cukai terpakai & harga jual melebih banrol. (eb)

20 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI ada sasaran baru bagi anak buah Dirjen Bea Cukai Tahir: pabrik-pabrik rokok putih dan rokok kretek. Melalui sepucuk SK baru-baru ini, Dirjen Tahir memerintahkan pengawasan lebih ketat terhadap 11 pabrik rokok putih dan 22 pabrik rokok kretek. Pengawasan terhadap yang putih tujuannya untuk mencegah manipulasi jumlah pita cukai. Maksudnya, pemesanan pita cukai yang kurang dari produksi rokok sesungguhnya. Sedang pengawasan terhadap pabrik rokok kretek tujuannya mencegah manipulasi harga jual yang jauh di atas harga limit yang tertera pada pita cukai (hanrol) yang dipesan. Untuk itu, kc-22 pabrik rokok kretek itu (untuk sementara?) dilarang menggunakan pita harga limit/ yang dlpakal sebelumnya. Dua puluh dua pabrik rokok kretek itu, termasuk 4 besar Gudang Garam (Kediri), Dji Sam Soe (PT H.M. Sampurna, Surabaya), Bentoel (Malang), dan VIP (PT Djarum, Kudus). Tapi bukan 4 besar itu saja, melainkan praktis semua pabrik rokok kretek yang cukup punya nama di Bali, Jawa dan Sumatera Utara masuk 'daftar hitam' Dirjen Bea Cukai itu lantaran menjual rokok kreteknya jauh di atas harga banrol. Ini tentu tak termasuk pabrik-pabrik kecil yang sudah gulung tikar akibat mahalnya harga cengkeh. Apa tindak lanjut SK Dirjen Tahir itu belum diumumkan. Juga sanksi apa yang akan diambil terhadap 22 pahrik rokok kretek yang memanipulir harga banrolnya itu. Tapi terang pemerintah tidak mau dirugikan oleh pembayaran cukai pabrik-pabrik kretek yang terasa tak wajar. Diperkirakan, setelah meneliti kasus ke-22 pabrik kretek itu satu per satu, harga banrolnya akan dinaikkan mendekati harga jual riil dari pabrik. Ambillah contoh 4 besar itu. Menurut keterangan seorang grosir yang dihubungi TEMPO di daerah Pasar Senen Jakarta, harga jual pabrik-pabrik itu lewat perwakilannya di Jakarta -- atau lewat agen besar -- "jauh di atas harga banrol". Satu bungkus Gudang Garam berisi 10 batang, yang harga banrolnya Rp 85 dari pabrik harganya sekitar Rp 145. Selanjutnya dijual ke pengecer seharga Rp 175 per bungkus. Bentoel Premium yang banrolnya Rp 45 per bungkus, dijual oleh pabrik seharga Rp 110 sehingga harga eceran di Jakarta jadi Rp 125 sebungkus. Begitu pula rokok Jarum Coklat yang banrolnya pun Rp 45 sebungkus, dari pabrik harganya Rp 104 dan di pasaran eceran sudah Rp 125 pula. Yang paling mahal di kios-kios pengecer adalah Dji Sam Soe, yakni Rp 300 scbungkus. Padahal harga banrolnya cuma Rp 120. Cukai yang dibayar 4 besar kretek itu bcrdasarkan harga banrolnya saja sudah cukup besar. Pertengahan 1974 ketika harga cengkeh mendadak naik 3 x lipat dan harga eceran kretek ikut naik sampai 2 x harga banrol cukai 4 besar itu sudah berkisar antara 1/2 sampai 1 milyar rupiah sebulan. Yang paling top waktu itu adalah Gudang Garam yang setiap bulan menyetor 1 milyar rupiah ke Bea Cukai (TEMPO 1 Juni 1974). Sekarang, lebih dari 2 tahun kemudian, produksi 4 besar yang ditunjang olch promosi besar-besaran itu tentunya sudah naik. Apa alasan pabrik menjual produknya hampir 2 x harga banrol? Kata Imam Santoso dari perwakilan Bentoel Jakarta: "Karena harga cengkeh dan tembakau makin mahal saja, maka terpaksa dijual lebih mahal dari itu". Maka timbul anggapan bahwa keuntungan yang bebas cukai itu merupakan dana cadangan untuk menghadapi kenaikan harga bahan baku. Atau untuk menutup biaya promosi yang menelan biaya besar. Menurut dua fabrikan kretek yang nyaris bangkrut di Yogyakarta cengkeh resminya dari importir berharga Rp 5.500 sekilo tapi di luaran bisa mencapai Rp 8000 sekilo (Pelita, 27 Oktober). Sementara itu upah buruh rokok kretek masih termasuk paling rendah di Indonesia. Menurut ketua FBSI Agus Sudono, ada buruh rokok kretek di Kudus yang hanya mendapat upah Rp 60 per 1000 batang. Padahal sehari maksimal segitulah yang mampu dilinting seorang buruh kretek. Fihak Bea Cukai tampaknya keberatan membiarkan manipulasi harga banrol ini berjalan terus. Apalagi dengan ditingkatkannya sasaran penerimaan cukai tembakau dari Rp 104 n1ilyar menjadi Rp 112 milyar untuk tahun fiskal ini. Dari sasaran baru itu, 51% sudah tercapai selama semester 1 yakni Rp 50,8 milyar. Atau sekitar Rp 8,4 milyar sebulan. Berarti andil si 4 besar kretek cukup menonjol -- yakni sekitar 50%. Belum lagi 18 fabrikan kretek lainnya. Jadi sepantasnyalah Dirjen Tahir mengambil tindakan drastis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus