Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ngawur memang, karena pertandingan dengan tim Reggina pada hari terakhir seri A musim 1999/2000 masih bersisa lima menit. Skor 3-0 untuk Lazio saat itu memang membuat para fans tak tahan. Padahal, saat itu saingan berat mereka, Juventus, masih bermain dengan Perugia. Beruntung bagi Lazio, Juventus keok. Gelar scudetto alias kampiun Liga Italia pun diraih klub asal Roma ini untuk kedua kalinya. Terakhir kali mereka juara pada 1974. Kemenangan kali ini lebih dramatis karena diperoleh pada hari terakhir saat mereka ketinggalan dua angka dari Juve. Bahkan, mereka juga sempat tercecer sembilan angka dari rivalnya.
Empat hari kemudian, kegembiraan tim berjuluk Biru-putih Langit ini makin komplet. Di kandang Inter Milan, mereka berhasil menahan tuan rumah imbang tanpa gol dalam putaran kedua final Copa Italia. Hasil ini membuat Lazio berhak membawa pulang trofi karena dalam pertandingan di kandang sebulan sebelumnya mereka menekuk Inter 2-1. Dalam pertandingan di Milan, Lazio tampak siap berpesta. Para pemain muncul di lapangan dengan rambut, pula jenggot, yang dicat aneka warna. "Sungguh pekan yang luar biasa," ujar Sven Goran Eriksson, pelatih Lazio yang berkebangsaan Swedia.
Bila saja mereka tak digulung klub Valencia (Spanyol) dalam perempat final Piala Champions, peluang untuk mengulang prestasi Manchester United meraih treble atau tiga gelar sekaligus akan terbuka. Namun, dua gelar domestik ini tetap istimewa. Hanya tiga tim yang mampu mengawinkan dua gelar lokal, yaitu Torino (1943), Napoli (1987), dan Juventus (1960 dan 1995).
Sukses tim yang bernama lengkap Societa Sportiva Lazio Spa ini tak bisa lepas dari tangan dingin Eriksson. Pelatih berusia 52 tahun ini selalu berhasil mempersembahkan gelar ganda setiap musim sejak melatih klub ini tiga tahun lalu. Pada musim pertama (1997-1998), bekas pelatih Sampdoria ini mengantar timnya meraih Copa Italia dan Piala Super Italia. Tahun lalu, giliran piala Cup Winners' Cup dan Piala Super Eropa dibawa pulang.
Skema menyerang yang diterapkan Eriksson bisa berjalan karena memang ditunjang materi yang ciamik. Boleh dibilang, hampir semua lini klub yang berdiri pada tahun 1900 ini solid. Bahkan, semua pemain inti Lazio bisa disebut bintang. Perkecualian paling pada dua kiper gaek Luca Marchegiani dan Marco Ballota, yang permainannya sering mengkhawatirkan.
Di antara taburan bintang, dua pemain layak dikedepankan dalam peraihan sukses tahun ini. Pertama adalah gelandang Diego Pablo Simeone, 30 tahun, asal Argentina. Ia adalah pemimpin sejati para pemain saat ini sekalipun ban kapten dipegang Nesta. Pemain yang dibeli dari Inter awal musim ini sering membuat gol pada saat-saat kritis, terutama lewat tandukan tajamnya. Sayangnya, Simeone yang kapten tim nasional negaranya ini juga kondang ketengilannya. Ingat saat ia berguling bagai tong dalam Piala Dunia 1998 gara-gara kena sabet ringan kaki David Beckham?
Pemain kedua adalah Veron, yang juga anggota tim Negeri Tango. Peran gelandang pelontos ini sebagai jiwa permainan tim sangat vital. Saat ia payah, klub ikut gena getah. Pemain berusia 25 tahun ini memang belum stabil. Salah satu biangnya adalah perilaku selebornya di luar lapangan. Maklum, usia muda, kaya raya, tinggal di Kota Roma pula. Namun, pemain yang dibeli dari Parma tahun lalu itu berhasil membuktikan tuahnya, karena tahun lalu ia juga mengantar timnya meraih gelar ganda, Piala UEFA dan Copa Italia.
Sayang, sukses ini ternoda karena ulah tifosi mereka sepanjang musim kompetisi. Dosa yang paling utama adalah mengobarkan kebencian rasialis pada pemain klub tamu berkulit hitam setiap pertandingan digelar di Olympico. Mereka juga pernah mengusung spanduk yang memuja Nazi dan Arkan, jagal Serbia yang kini sudah tewas. Akibatnya, striker Alan Boksic asal Kroasia sempat ngambek berat. Terakhir kali, saat peluang Lazio menipis, para penggemar fanatik mengamuk dan merusak fasilitas umum. Bila Lazio mampu mengendalikan ulah pendukung gilanya, keharuman mereka tentu tak lagi tercemari.
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo