Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETAPAK lagi, sebuah sejarah akan ditorehkan di Senayan. Untuk pertama kalinya, setelah lebih dari setengah abad republik ini berdiri, sistem pemilihan presiden langsung akan diterapkan. Dalam sidang Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat, ide itu telah disokong sebagian besar fraksi.
Dari 11 fraksi, cuma dua yang menyatakan tak setuju. Penolakan datang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Utusan Golongan. Fraksi Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia belum menyatakan sikap. Didukung 400 suara (jika suara fraksi dihitung bulat), hampir dapat dipastikan Pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR akan diamendemen.
Adalah Presiden Abdurrahman Wahid yang lantang menyuarakannya. Dalam pembukaan Kongres PDI-P di Semarang akhir Maret lalu, Abdurrahman—disebut-sebut berniat kembali maju pada periode berikutnya—menyatakan harapannya agar pada Pemilu 2004 nanti mekanisme baru ini sudah bisa diterapkan.
Presiden Wahid memang punya pengalaman tak enak dengan jalur sekarang. Ia naik ke kursi presiden melalui utak-atik suara di MPR. Partainya sendiri, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), cuma berada di urutan keempat. Dukungan terbesar datang dari Golkar, TNI/Polri, dan Poros Tengah—yang kian mengambil jarak terhadapnya. Buntutnya, kursinya jadi gampang goyah. Baru enam bulan memerintah, Senayan sudah hiruk-pikuk dengan upaya menggelar sidang istimewa. Dengan sistem sekarang, kata Ali Masykur Musa dari PKB, posisi presiden selalu terjepit jika berhadapan dengan parlemen. ”Apa saja yang dikatakan Presiden selalu dianggap salah oleh DPR,” katanya.
Pemilihan presiden secara langsung memang menjamin pemerintahan yang lebih stabil. Legitimasi yang didapat langsung dari rakyat pemilih membuat pihak legislatif tak gampang merontokkan eksekutif.
Toh, perombakan ini akan berbuntut sejumlah persoalan. MPR, yang tak lagi menjadi lembaga tertinggi, harus dipikirkan kembali posisinya. Dua kewenangannya—memilih presiden dan wakil presiden serta menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara—otomatis terpangkas. Berikutnya, mesti diatur mekanisme kontrol baru terhadap presiden yang posisinya bakal sangat kukuh itu. Ali Masykur, misalnya, menyodorkan formula impeachment (pemecatan) model Amerika Serikat.
Yang menarik, sikap PDI-P. Partai pemenang pemilu ini justru menyatakan keberatan. Ada dua hal yang diajukan sebagai dasar: rakyat tak cukup siap dan rawan konflik. Di mata Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Pramono Anung Wibowo, tingginya heterogenitas masyarakat akan menjadi potensi konflik jika pemilihan langsung diterapkan.
Tapi, buat pengamat politik Dr. Andi Alfian Mallarangeng, kekhawatiran itu terlalu mengada-ada. ”Apa sih yang harus disiapkan? Kenapa harus punya tingkat pendidikan yang tinggi untuk memilih orang?” kata Mallarangeng kepada Gita Laksmini dari TEMPO. Menurut dia, rakyat justru akan lebih mudah memilih figur ketimbang memelototi tanda gambar yang mirip-mirip dan berderet-deret itu. Adalah kenyatan, selama ini, pilihan terhadap suatu partai dijatuhkan atas pertimbangan figur. Tambahan lagi, kata Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil, rakyat di pedesaan toh sudah terbiasa melakukan pemilihan lurah secara langsung.
Argumen rawan konflik juga terasa janggal. Masih lekat di ingatan bagaimana massa PDI-P justru mengamuk setelah Mega secara dramatis terjungkal di pentas MPR.
Lalu, apa alasan sebenarnya PDI-P menolak? Mallarangeng menyodorkan jawaban menarik. PDI-P selama ini amat bergantung pada figur seorang Megawati yang putri Bung Karno itu. Sementara itu PDI-P rupanya jeri dengan debat kandidat yang menjadi konsekuensi sistem pemilihan. Mega, yang selalu menolak menghadiri forum semacam itu, dinilai terlalu riskan untuk dipertarungkan di podium bersama kandidat lain sekelas: Abdurrahman Wahid, Amien Rais, atau Akbar Tandjung.
Toh, Mallarangeng menilai, jika dugaannya benar, kekhawatiran itu terlalu berlebihan. PDI-P masih punya waktu empat tahun untuk melakukan konsolidasi. Kalau soal debat? ”Ibu Mega bisa berdebat dengan gaya ibu rumah tangga dan itu tetap bisa memukau,” katanya. Jadi, siapa takut?
Fraksi | Pemilihan Presiden Langsung | Kursi di MPR | |
Sikap | Metode | ||
Partai Golkar | Setuju | Suara lebih dari 50% dan menang di 2/3 provinsi. | 181 |
Partai Persatuan Pembangunan | Setuju | Calon presiden dipilih MPR lebih dulu. Dua besar paket presiden dan wapres dipilih langsung. | 70 |
Partai Kebangkitan Bangsa | Setuju |
| 58 |
Reformasi | Setuju | Pemilihan dua tahap:
| 48 |
Partai Bulan Bintang | Setuju | Suara lebih dari 50%. | 14 |
Daulatul Ummah | Setuju | -- | 13 |
Partai Demokrasi Kasih Bangsa | Setuju | Suara lebih dari 50%. Kalau tidak tercapai, dua paket terbesar dipilih MPR. | 5 |
Kesatuan Kebangsaan Indonesia | Setuju | Suara lebih dari 50%. | 11 |
Total | 400 | ||
PDI Perjuangan | Menolak | MPR memilih di antara paket yang diajukan dua partai pemenang pemilu. | 185 |
Utusan Golongan | Menolak | Presiden-wapres dipilih MPR (tetap seperti sekarang). | 65 |
Total | 250 | ||
TNI/Polri | Belum Bersikap | -- | 38 |
Total | 38 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo