Ulang tahun ke-79 mantan Presiden Soeharto, yang jatuh pada 6 Juni mendatang, besar kemungkinan tak akan lagi dirayakan di rumah Jalan Cendana itu, tapi di Pulau Seribu, Taman Mini Indonesia Indah, atau di kawasan lain di Jakarta.
Kejaksaan Agung, yang telah menyatakan jenderal tua itu berstatus tahanan kota, berencana memindahkannya. "Melihat situa-si saat ini, Pak Harto akan dicarikan tempat yang lebih kondusif bagi pemeriksaan," kata Marzuki Darusman. Presiden Abdurrahman Wahid sendiri, menurut Marzuki, sudah menyetujui langkah itu. Namun, tempat baru untuk "menahan" Soeharto hingga kini belum diputuskan.
Benarkah pemindahan itu sekadar untuk melancarkan pemeriksaan? Tampaknya tidak. Selama ini persoalan utama Kejaksaan Agung memeriksa Soeharto bukan pada tempat tersangka itu berdiam diri. "Tapi alasan kesehatannya," tutur Andi Hamzah, pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti.
Soeharto sendiri enggan dipindahkan. Menurut Juan Felix Tampubolon, pengacara Cendana, Soeharto tetap akan bertahan di rumah Jalan Cendana—yang didiaminya selama 34 tahun. "Bahkan, kalau bisa, sampai meninggal pun beliau tetap ingin di Cendana," kata Felix menirukan ucapan Siti Hardiyanti Rukmana, putri tertua Soeharto.
Lebih dari itu, pemindahan tempat tersangka juga punya implikasi hukum. Menurut pengamat hukum Loebby Loqman, kebijakan itu tidak ada dasar hukumnya. Apalagi jika tempat yang dipilih berada di luar wilayah Jakarta. Otomatis status tahanan kota Soeharto akan gugur dan menjadi tahanan rumah.
Namun, kemungkinan perubahan status itu dibantah Marzuki Darusman. "Status Soeharto hingga kini masih tahanan kota," ujarnya. Ini berarti, tempat tinggal baru itu masih berada di wilayah Ibu Kota.
Jika begitu, apa yang sebenarnya sedang diupayakan oleh Kejaksaan Agung? Di samping alasan pemeriksaan, ada soal lain yang memang menjadi pertimbangan: demonstrasi mahasiswa yang kian deras menuju Cendana. Mahasiswa menilai cara kerja Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus korupsi Soeharto tidaklah serius. Demonstrasi itu belakangan berubah jadi bentrok kekerasan.
Dalam demonstrasi terakhir pekan silam, tercatat lima kendaraan dinas milik TNI dibakar massa. Kemarahan mahasiswa dan massa itu dipicu oleh aksi brutal aparat ketika membubarkan demo mahasiswa sehari sebelumnya. Ini memang hanya satu dari rangkaian demonstrasi anti-Soeharto sejak mantan presiden itu turun pada 1998.
Awal Mei lalu, ratusan mahasiswa yang menamakan diri Jaringan Mahasiswa Indonesia juga melakukan aksi serupa di gedung Kejaksaan Agung. Pintu gerbang kejaksaan yang terkunci mereka bongkar dengan paksa. Jaksa Agung Marzuki Darusman kala itu sempat menemui para demonstran. "Kalau dihalangi terus dalam memeriksa Soeharto, saya akan mundur," ujarnya kepada mahasiswa. Ia berjanji, sebelum 10 Agustus mendatang kasus korupsi mantan petinggi Orde Baru itu akan sampai ke pengadilan.
Janji itu rupanya tidak lagi dipercaya para mahasiswa. Beberapa kali mahasiswa masih saja melakukan aksi. Menurut salah seorang mahasiswa, mereka akan berhenti menggelar unjuk rasa jika Soeharto sudah masuk penjara. Upaya yang dilakukan pihak Kejaksaan Agung, di mata Juori, salah satu demonstran, tidak serius dan terkesan main-main.
Melihat tuntutan besar seperti itu, bentrok-bentrok serupa akan terus terjadi, dengan intensitas yang kian tinggi.
Meski menganggap langkah yang dikerjakan Kejaksaan Agung itu positif, menurut Loebby Loqman, pihak Soeharto harus dimintai persetujuan terlebih dahulu. Hal itu berkaitan dengan, "negara berkewajiban memberi fasilitas keamanan khusus kepada mantan presiden," ujarnya. Meski begitu, jika pihak Soeharto menolak dipindahkan, pemerintah, melalui Kejaksaan Agung, bisa mengatakan kepada yang bersangkutan bahwa pihaknya sudah tidak sanggup mengamankan wilayah tersebut.
Dan pihak Cendana punya sikap yang jelas pula dalam hal ini. Mereka menampik bahkan pertimbangan keamanan yang dipandang bisa menguntungkan Soeharto itu. "Soal tidak aman itu bukan Pak Harto yang membuat, tetapi karena aparat tidak mampu menangani demonstrasi," kata Felix. Hingga kini pengacara Soeharto mengaku belum diajak berunding soal kepindahan itu.
Pemindahan itu tidak menjamin gelombang demonstrasi akan terhenti. "Belum tentu dengan pindahnya Soeharto bentrokan massa dengan aparat dapat diredam," kata Loebby.
Felix Tampubolon cenderung melihat ada maksud tersembunyi dari pihak kejaksaan. "Pengungkapan rencana pemindahan itu merupakan pernyataan politis, bukan yuridis, dan caranya tidak elegan sama sekali," katanya. Ia merasa bahwa kliennya sudah sangat kooperatif dalam pemeriksaan dan tidak pernah keluar rumah. Lagi pula, menurut Felix, persoalan utama yang ada pada Soeharto hanyalah soal medis.
Sementara pengacara Cendana menuduh Marzuki Darusman sedang memainkan "kartu politik" dengan pengungkapan rencana pemindahan Soeharto tadi, para mahasiswa menilainya sedang "membeli waktu" untuk tidak mengadili Soeharto sama sekali.
Pemeriksaan Kejaksaan Agung terhadap Soeharto sebenarnya tidak mengalami kemajuan berarti pada masa Marzuki. Isu pemindahan tersangka, seperti penerapan status tahanan kota, tak lebih merupakan upaya untuk menutup-nutupi lambatnya kasus ini bisa disidangkan.
Dalam pernyataannya beberapa waktu lalu, Marzuki sendiri sudah tampak putus asa bisa menuntaskan soal ini. Dia mengimbau agar Sidang Umum MPR Agustus nanti mendatangkan "penyelesaian politik" bagi kasus Soeharto. Dalam isyarat yang lebih spesifik untuk menghentikan proses hukum, Marzuki berharap "setelah Agustus nanti kita memasuki babak yang baru" dan agar kasus ini "jangan sampai menyedot energi kita berlebihan sehingga mengabaikan penyelesaian ekonomi".
Seperti diakui Felix, pemeriksaan terhadap Soeharto terakhir dilakukan pihak kejaksaan 6 Mei silam, untuk kemudian dihentikan. Itu pun dengan cara para penyidik yang mendatangi kediaman Soeharto di Cendana. "Penghentian pemeriksaan itu lebih dikarenakan alasan medis, bukan yuridis," kata Felix.
Kemajuan penyidikan pun juga kurang menggembirakan. Pertanyaan yang diajukan ke Soeharto tidak dijawab semua. Seperti pemeriksaan terakhir itu, dari 20 pertanyaan yang diajukan pihak kejaksaan, hanya dijawab 12, itu pun dengan pertanyaan yang sederhana. "Bagaimana mungkin memeriksa kasus korupsi yang begitu rumit dengan pertanyaan sederhana dan kalimat tunggal seperti itu?" kata Felix.
Namun, waktu kian sempit bagi Marzuki, yang sadar bahwa kredibilitas pemerintahan Abdurrahman akan diukur dari seberapa jauh lembaganya mampu membuat perhitungan hukum terhadap Soeharto. Ruang toleransi juga kian sempit, seperti ditunjukkan oleh radikalisasi para demonstran yang ingin Soeharto diadili.
Johan Budi S.P., Andari Karina Anom, I G.G. Maha Adi, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini