SUATU hari di tahun 1960, di sebuah rumah dalam kompleks militer
Husein Sastranegara (d/h Andir), Bandung, seorang nyonya tak
mendua hati lagi untuk memakai pistol milik suaminya. Kendati ia
belum begitu faham bagaimana cara menarik picu senjata tersebut.
Maklum, ia bekas guru Sekolah Dasar.
Kekurangan itu sama sekali tak mengecilkan hatinya. Dalam kepala
ia diam-diam memadu tekad: tantangan dwi lomba menembak antar
isteri militer yang dilayangkan Persit Kartika Chandra Kirana,
organisasi isteri TNI-AD harus dijawab dengan prestasi.
Mengingat di tangannya kini tergengyam nama baik organisasi
isteri TNI-AU, PIA Ardya Garini. Dialah, Lely Kuntratih, isteri
perwira TNI-AU, Sampurno.
Tekad Nyonya Lely Sampurno untuk menjadi yang terbaik itu
ternyata mendat tempat tersendiri di hati Wiriadinata, Komandan
Pangkalan Husein Sastranegara -- sekarang Wakil Gubernur DKI
Jakarta. Sehingga ia merasa perlu turun tangan langsung melatih
isteri koleganya itu.
Dua bulan dalam gernblengan Wiriadinata, kebolehan Lely
Sarnpurno membidik sasaran telan menguak tabir masa depan
olahraga menembak wanita. Dua tahun setelah pemunculan
pertamanya dalam dwi-lomba antar isteri militer itu, ia terpilih
untuk memasuki pelatnas Asian Games IV di Jakarta.
Pemilihan Lely Sampurno yang dulu suka berenang tenis dan
atletik itu ternyata tak meieset. Enam bulan dalam asuhan
pelatih Yugoslavia, Milon Stefanovic jangkauan prestasi Lely
Sampurno melesat jauh. Ia berhasil meraih medali perak Asian
Games IV dalam nomor free pistol dengan nilai bidikan 527--juara
pertamanya mencatat angka 541 dari 600 kemungkinan.
"Keberhasilan itu tak terlepas dari dorongan almarhum suami
saya," kata Lely Sampurno mengenang masa lampaunya. KoIonel
Sampurno meninggal dunia, per tengahan 1976 silam.
Sejak berhasil meraih medali perak itu, nama Lely Sampurno
seolah tak terpisahkan dari setiap kejuaraan menembak yang
diikuti tim Indonesia-kecuali Asian Games V (1966) dan Asian
Games VI (1970). Tapi dalam perjalanan karir yang panjang itu
hanya satu turnamen yang paling berkesan di hatinya. Yaitu
Kejuaraan Menembak Asia di Korea Selatan, September 1977 lalu.
"Karena di Kejuaraan Asia itulah untuk pertama kalinya saya
mendapat medali emas dari gelanggang internasional," ujar Lely
Sampurno. Ia membawa pulang medali emas nomor air pistol wanita
dengan pengumpulan angka 369 dari 400 kemungkinan.
Adakah kegagalan Ley Sampurno menempati tempat utama di masa
sebelumnya lantaran prestasinya merangkak lambat. Sulit untuk
dikatakan begitu. "Dalam pertandingan-pertandingan sebelumnya
saingan saya adalah penembak pria," ungkap Lely Sampurno.
"Rata-rata prestasi mereka memang jauh lebih baik dari saya."
Sukses yang diraih Lely Sampurno (lahir di Sukabumi, 2 Desember
1935) dalam Kejuaraan Menembak Asia tahun lalu itu, sekaligus
mengantar dirinya ke turnamen menembak SEASA VIII di Manila,
akhir Pebruari ini. Juga Asian Games VIII di Bangkok, Desember
depan. Keduanya tanpa melalui seleksi.
Minus 1,5
Lolosnya Lely Sampurno dari persyaratan seleksi bukan berarti
beban yang dipikulnya bertambah ringan. Apalagi sejak
sepeninggal almarhum suaminya, ia tak mungkin lagi bergabung
dalam pelatnas. "Saya harus menemani anak-anak di rumah," alasan
Lely Sampurno yang mempunyai 3 orang puteri. Ia masih tinggal di
perumahan TNI-AU di Kebayoran Baru, Jakarta. "Untuk mengimbangi
itu saya latihan tiap hari," tambahnya.
Bagaimana dengan kehidupannya? Ia mengakui hidup tanpa suami
itu memang agak berat bagi dirinya. Karena ia harus melakukan
dwi-fungsi kehidupan: sebagai kepala kelualga dan ibu rumah
tangga.
Menyadari kenyataan hidup itu, Lely Sampurno yang berperawakan
sedang dengan tinggi 153 cm dan berat badan 49,5 kg, telah
mengambil ancang-ancang untuk bekerja kembali. Tapi bukan
sebagai guru sebagaimana proisinya semula. "Kalau bisa saya
ingin menyumbangkan tenaga di sport medical centre " kata Lely
Sampurno yang memakai kacamata minus 1,5 itu.
Ia memilih pusat kesehatan tersebut karena lembaga ini masin
punya kaitan erat dengan dunia olanraga. Pusat Kesehatan
Olahraga ini berada di bawah naungan KONI Pusat. "Jika saya jadi
guru lagi bisa repot. Soalnya, dulu saya tidak belajar
matematika," tambahnya. Lely Sampurno adalah lulusan SGA tahun
1956.
Memilih pekerjaan hagi Lely Sampurno agaknya bukan didasarkan
pada pendapatan uang semata. Sekalipun masih tinggal di flat,
tapi kehidupannya terhitung lumayan. Ia punya rumah di Bandung.
Serta mengendarai mobil Citroen GS. "Lama-lama simpanan yang
sedikit itu bisa habis. Itulah makanya saya harus bekerja," kata
Lely Sampurno yang gemar aerobik, menonton detektif, membaca
buah tangan Pearl S. Buck serta Sommerset Maugam.
Adakah persoalan hidup yang dihadapinya itu akan mempengaruhi
prestasinya dalam membidik sasaran? Lely Sampurno yang dalam
Pemilihan Olahragawan Terbaik 1977 SIWO/PWI Jaya menempati
urutan ketujuh menjawab: "Saya akan berusaha untuk tetap
meningkatkan prestasi." Dalam olahraga menembak, seorang atlit
masih bisa berprestasi baik sampai umur 65 tahun-asalkan
penglihatannya tidak terganggu, tentunya.
Bagaimana dengan peluang di turnamen menemb ak South ast Asia
Shooting Association (SEASA) VIII nanti? "Untuk nomor wanita
kans kita cukup besar dibandingkan penembak pria," kata Lely
Sampurno yang jejaknya diikuti oleh puterinya Lolo, 14 tahun.
Perhitungan Lely Sampurno itu didasarkan pada kemampuan penembak
wanita luar negeri yang dilihatnya dalam Kejuaraan Menembak
Asia, tahun 1977 lalu. Dan yang akan ikut dalam SEASA VIII
adalah atlit yang sama.
Adakah Lely Sampurno atau penembak Indonesia lainnya mampu
membikin kejutan prestasi lagi di Manila? "Insya Allah," jawab
Lely Sampurno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini