Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kita Dan Pers Asing Kalau Orang Sana Menyorot Sini

Berita koresponden kantor berita asing dibuat untuk konsumsi ln, sehingga sering menyakitkan. gagasan di dirikannya kantor berita milik dunia ketiga. kisah tentang koresponden kantor berita asing di ri. (md)

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH koran itu coreng moreng dengan cat hitam. Pengantar korannya sendiri menyerahkannya tanpa menunjukkan rasa penyesalan. Langganan boleh saja menggerutu, tetapi ia sudah terlalu terbiasa melihat halaman surat-kabar atau majalah asing yang masuk Indonesia dihiasi dengan coretan-coretan hitam. Ia menjadi tak peduli. "Sensor" hitam yarlg dikenakan pada penerbitan asing yang masuk Indonesia memang sudah lama dilakukan. Tetapi agaknya wabah hitam ini belakangan ini makin meluas. Koran-koran Jepang yang masuk ke sini misalnya, untuk pertama kalinya tahun ini, terkena juga penghitaman. Yang dihitamkan apa saja? Jika dulu umumnya hanya gamb ar-gambar yang dikategorikan porno, belakangan ini sasaran utamanya adalah berita-berita politik yang mengenai keadaan Indonesia, terutama yang dinilai "kurang positif" menggambarkan keadaan Indonesia. "Padahal berita-berita itu kami tulis untuk konsumsi luar-negeri," keluh seorang wartawan asing di Jakarta. Dia mungkin benar. Tetapi tampaknya pihak berwajib lidak mau ambil risiko. Beberapa penerbitan asing itu memang beredar cukup luas di sini, terutama di Jakarta. Asian Wallstreet Journal - suatu suratkabar ekonomi terbitan Hongkong--misalnya, mempunyai oplag 13 ribu eksemplar di Indonesia. Majalah Time menurut agennya punya peredaran 17 ribu, walau semuanya tidak habis terjual. Tidak heran, setelah Kopkamtib menutup untuk sementara beberapa suratkabar ibukota bulan lalu, sasaran peringatan berikutnya ditujukan kepada pers asing. Pers asing yang masih terus saja menjelek-jelekkan Pemerintah Indonesia dan masih saja melakukan tindakan yang "macam-macam" diancam akan ditutup perwakilannya di Indonesia, kala Kaskopkamtib Sudomo akhir bulan lalu. Bahkan menurut Sudomo, ada orang Indonesia yang bekerja sebagai wartawan pers asing telah menyiarkan berita dengan menjelek-jelekkan Pemerintah Indonesia. Orang-orang semacam ini dianggapnya sebagai tidak mempunyai jiwa patriotisme dan jiwa nasionalisme Indonesia. "Walaupun bagaimana sejelek-jeleknya Pemerintah tidak sepantasnya orang-orang Indonesia semacam itu menyiarkan berita yang isinya menjelekkan Pemerintah untuk kemudian dikonsumsi ke luar negeri " Tak lupa Sudomo mengakhiri peringatannya dengan ucapan: "Bercerminlah pada mukamu sendiri." Sudomo tidak secara tegas menunjuk perwakilan pers asing manayangdimaksudnya. Sampai sekarang belum ada pers asing yang diperingatkan langsung atau bahkan akan ditutup. Tigapuluhsatu perwakilan pers asing ada di Jakarta, tidak termasuk beberapa wartawan yang berstatus freelance yang menulis untuk beberapa media sekaligus. Beberapa kantor berita (KB) Barat yang menguasai sebagian besar "perdagangan berita" dunia, seperti The Associated Press (AP), United Press International ((JPI), Reuter dan Agence France Presse (AFP) punya perwakilan di Jakarta. Negara-negara Sosialis terwakili oleh KB Tass (Uni Soviet) dan KB Tanjug (Yugoslavia). Media Jepang puna 8 koresponden di Jakarta, jumlah terbesar yang mewakili satu negara, dan mereka seakan merupakan kelompok tersendiri. Tidak semua perwakilan ditangani wartawan asing. Beberapa perwakilan penting malahan dipegang oleh koresponden berkebangsaan Indonesia. Seberapa leluasa mereka datang ke mari? Cukup panjang jalan yang harus ditempuh sebelum seorang wartawan asing dapat izin bertugas di Indonesia. Seperti juga hampir di semua negara, pemegang paspor wartawan mendapat penelitian yang ketat di Indonesia. Wartawan itu mula-mula harus mengajukan permohonan kepada perwakilan RI setempat. Selanjutnya ada dua kemungkinan, kata Direktur Bina Wartawan Departmen Penerangan Oemar Khatab. Kalau wartawan tersebut dikenal baik dan "dianggap positif", kepala perwakilan RI dapat memberikan visa atas kuasa sendiri berupa visa kunjungan untuk maksimum 5 minggu. Jika wartawan tersebut tidak dikenal baik arau perwakilan RI ragu-ragu, mereka akan meminta clearance pemerintah, dalam hal ini Deppen, lebih dulu. Baru kemudian permohonan diproses. Wartawan asing yang ditugaskan ke Indonesia, begitu datang harus melaporkan diri ke Deppen untuk mendapat kartu pers sementara dan dengan itu ia dapat menjalankan tugasnya. Buat mereka yang ditempatkan sebagai koresponden tetap, diharuskan juga untuk memiliki Kartu Ijin Menetap Sementara (KIM/S), kartu tanda lapor diri dari Kepolisian dan Ijin Kerja. Ada juga kemungkinan lain. Ada wartawan asing yang menyadari bahwa kalau dia mengajukan permohonan, akan sulit baginya mendapat clearance dari pemerintah RI. Biasanya dia minta visa turis dengan akibat kepada mereka tidak akan diberikan fasilitas sebagai wartawan. Setibanya di sini, dapat saja dia menemui orang yang diingininya, melakukan wawancara dan sebagainya. Wartawan macam beginilah yang menurut Oemar Khatab sering "menyulitkan pemerintah." Dijelaskannya bahwa tujuan pemberian kesempatan kepada pers asing untuk beroperasi di sini adalah untuk tidak memberikan gambaran pada dunia bahwa di Indonesia tidak ada kebebasan pers. Di samping: itu juga agar Indonesia lebih hanyak diberiakan oleh pers dunia, demi kepentingan nasional, supaya Indonesia tidak diisolir oleh pers dunia. "Kita mengharapkan tulisan yang seimbang, yang menunjukkan kemajuan Indonesia tetapi juga menunjukkan kekurangan kita -- justru agar kita dapat lebih meningkatkan kemajuan itu," kata Khatab. Apa yang dimaksud dengan pengertian "seimbang"? Mana yang dianggap positif dan mana yang tidak? Nampaknya ada perbedaan tanggapan antara pemerintah dengan para wartawan hingga selalu ada semacam ketegangan. Kata Raphael Pura, koresponden The Asian Wallstreet Journal: "Yang saya tulis bukan kebohongan, tapi hal-hal yang sudah dicek kebenarannya," kata Pura. Lanjut Pura, "Itu mungkin tak menguntungkan pemerintah, tapi membuat pemerintah senang 100% adalah suatu hal yang tidak reasonable untuk diharapkan." Di lain pihak. Oemar Khatab menyinggung adanya wartawan asing yang sengaja datang ke sini untuk menjelek-jelekkan Indonesia. Bahkan ada juga pendapat bahwa ada koresponden asing yang sengaja begitu karena senang kalau diusir sebagai akibat tulisannya: ia bisa dianggap pahlawan. Bagaimana? "Saya kira tidak begitu. Indonesia ini negara penting. Kalau kita diusir, kita kehilangan satu sumber berita yang penting," kata David Jenkins koresponden For Eastern Economic Review (FEER). Pengusiran seorang koresponden asing karena tulisannya belum pernah terjadi di Indonesia selama Orde Baru. Seorang koresponden asing umumnya ditugaskan selama sekitar 3 tahun di suatu negara. Ijin tinggal mereka harus diperpanjang setiap tahun. Untuk meminta perpanjangan ijin itu diperlukan surat rekomendasi Deppen bagi Kantor Imigrasi. Dan seperti telaL pernah beberapa kali terjadi, Deppen dapat saja menolak memberikan surat rekomendasi itu sehingga akhirnya koresponden itu terpaksa meninggalkan Indonesia. Namun, seperti dikatakan seorang pejabat, sering kepada wartawan asing tidak terus terang dikatakan bahwa dia dinilai "kurang positif"--dan surat rekomendasi tidak akan diberikan. Caranya dengan menunda-nunda memberikan surat rekomendasi itu dan diharapkan wartawan asing itu akhirnya "akan mengerti sendiri." Mungkin cara ini bisa dianggap sesuai dengan "kepribadian Indonesia." Bentrokan antara wartawan asing dengan pemerintah memang risiko yang harus dibayangkan sejak mula. Persoalannya berpulang pada perbedaan ukuran yang digunakan. Ukuran yang digunakan oleh seorang kqresponden asing, terutama mereka yang helum lama tingal di sini. tentu berbeda. Ini diakui oleh Oemar Khatab. Ia menyebut juga satu contoh. Seorang wartawan Barat mungkin saja akan terkejut melihat keadaan tahanan di Indonesia yang kalau dibandingkan dengan fasilitas yang diterima tahanan di negerinya berbeda jaun. Bila ia orang yang baru tiba di sini bisa saja ia menulis tentang nasib tahanan di Indonesia yang menyedihkan. Tetapi bila ia sudah lama tinggal di sini, ia pasti mengetahui bahwa nasib tahanan itu cukup lumayan dibanding banyak orang di luar yang nasibnya lebih buruk. Suatu hal lain yang perlu dipertimbangkan wartawan asing, menurut Oemar Khatab ialah kondisi dan nilai-nilai bangsa Indonesia yang berbeda dengar negara Barat. Misalnya dalam cara penyampaian kritik. Orang Indonesia pada dasarnya bisa menerima kritik, asal penyampaiannya disesuaikan dengan nilai-nilai di Indonesia. Khatab mengambil contoh kritik pada kepala negara. Di negara Barat kepala negara adalah murni kepala pemerintahan, tetapi di Indonesia ada unsur sebagai bapak dan pemimpin rakyat. Kalau ada seorang bapak dipukul orang lain, anaknya tidak akan bisa diam sekalipun tahu bahwa bapaknya mungkin bersalah. Faktor inilah yang harus diperhatikan, kata Khatab. "Kalau orang menyerang Pak Harto mungkin bukan pak Hartonya yang jengkel, sebagian rakyat yang akan jengkel. Apalagi kalau yang menyerangnya itu orang asing, sebagian rakyat tidak akan rela. Mungkin di sini terletak sumber dari beberapa ketegangan yang pernah terjadi antara pemerintan dan pers asing. Seperti apa yang terjadi dengan majalah Newsweek. Sekitar satu setengah tahun yang lalu, majalah ini menulis tentang Indonesia, antara lain berisi kritik pada Presiden dan Ibu Tien. Akibatnya, majalah ini untuk sementara dilarang masuk. Sulitnya, para koresponden asing ini menulis untuk konsumsi luar negeri, sehingga mereka harus menggunakan gaya atau istilah yang buat orang sini mungkin dianggap salah atau menyakitkan. Seperti dikatakan Guy Sacerdoti, koresponden beberapa penerbitan termasuk FEER: "Bagi wartawan asing seperti saya, yang menulis bukan untuk pembaca Indonesia, tetapi bagi pembaca di luar negeri, saya harus menggunakan bahasa, struktur kalimat dan gaya sehingga orang Amerika misalnya, akan mengerti masalah pokoknya." Guy mengambil contoh kalau dia menulis bahwa ada 7 koran yang SlT-nya tidak dicabut tetapi diambil untuk sementara, itu tidak ada artinya. "Jadi saya tulis bahwa korankoran itu diberangus (banned) atau lebih kena lagi kalau disebut crackdown." Kesulitan lain bagi para wartawan asing ialah: peranan public relations di Indonesia, yang bagi mereka "aneh". Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) di Indonesia umumnya sulit dikontak. Hampir semua wartawan asing yang diwawancarai TEMPO dengan tandas menyebut hampir semua Humas di instansi pemerintah "payah". Padahal mereka memerlukannya, supaya berita bisa tidak berat sebelah. Hanya Encik Zainoor Sulaiman, koresponden dari KB Malaysia Bernama, yang mengatakan sangat puas dengan humas di Indonesia. Mitsunori Matsumura, koresponden NHK, berpendapat bahwa humas di Indonesia sangat buruk. Yoshitaka Masuko, koresponden Asahi Shimbun malahan berpikir mungkin pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tahu apa peranan humas. Menurut Raphael Pura agaknya humas di sini tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membantu pers. Tapi ia ambil segi positif: suasana yang serba kurang informasi itulah yang dianggapnya sebagai "tantangan". Menurut dia, dalam keterbatasan data itu kemungkinan untuk membuat "scoop " atau suatu eerita yang eksklusif. Untunglah tidak semua humas dinilai buruk oloh pero asing. Dopartomen Pertambangan, Portamna, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Sekretariat Negara dan Deplu, dinilai mereka sebagai "lumayan". Tapi umumnya humas di sini, tidak mempunyai 'instant info' kata wartawan freelance Hamish Mc Donald. TIDAKKAH semua itu gara-gara para wartawan asing itu "cerewet" atau "terlalu banyak menuntut"? Betapapun harus diakui bahwa humas di Indonesia rata-rata kurang menguasai bidangnya. Atau mungkin mereka terbiasa dengan pers nasional yang lebih santai dalam bekerja. Padahal para wartawan asing lebih diburu waktu. Mungkin benar juga yang dikatakan Moh. Chudori, Direktur Pemberitaan KB Antara, bahwa koresponden asing itu adalah "jurnalis-jurnalis profesionil". "Pers asing memang lebih gigih daripada pers dalam negeri," juga kata G. Dwipayana Kepala Humas Sekneg. Ia mengambil contoh usaha pers asing untuk dapat mengadakan wawancara dengan Presiden, yang menggunakan bermacam-macam taktik dan mendekati banyak orang sehingga mereka lebih berhasil. Kegesitan wartawan asing ini dengan sendirinya perlu sekali diimbangi dengan kegesitan pihak pemerintah, untuk memberikan informasi dan pengarahan kepada mereka Bagaimanapun juga, peranan pers asing ini menentukan sekali dalam menciptakan gambaran Indonesia di dunia internasional. Seperti dikatakan dengan tepat oleh Oemar Khatab, "Keterbukaan penting untuk menhindari--laporan yang negatif yang disebabkan karena sumbernya yang tidak berwenang." Padahal pers asing di Indonesia memang mendapatkan kebebasan penuh dalam pemberitaan. David Jenkins malah berpendapat bahwa "Indonesia barangkali merupakan negeri terbebas bagi pers asing di Asia Tenggara." Wartawan berkebangsaan Australia ini mengingatkan kasus penangkapan dua wartawan FEER di Singapura dan pengusiran seorang lainnya di Thailand. Itu tak berarti mereka tidak diawasi. Departemen Luar Negeri adalah yang bertugas me-monitor laporan-laporan wartawan itu. Kedutaan Besar RI akan mengirimkan tulisan-tulisan itu ke Deplu yang kemudian membaginya, antara lain jugake Bakin dan Deppen. Berdasar tulisan-tulisan inilah "konduite" wartawan asing di sini ditentukan. Sedang laporan-laporan yang disiarkan radio luar-negeri dimonitor di dalam negeri. Jika laporan seorang wartawan dinilai kurang seimbang atau kurang positif, bisa saja ia mula-mula mendapat peringatan "persahabatan" dari Deppen yang dalam hal ini dilakukan oleh Direktorat Bina Wartawan. Bila suatu tulisan dianggap "negatif" mula-mula diteliti di mana terjadi distorsinya. Sebab seperti sering terjadi kesalahan itu tidak dilakukan oleh si penulis berita. Suratkabar yang memuat tulisan itu bisa saja memotong tulisan itu, melengkapinya dengan berita dari sumber lain --atau memberikan kepala berita yang tidak sesuai dengan isi beritanya, seperti yang akhir-akhir ini dilakukan oleh suratkabar Singapura The Straits Times. Tahun lalu misalnya, seorang wartawan Indonesia yang bekerja di Depthnews dipanggil Deppen sehubungan dengan tulisannya yang dimuat di Bangkok Post yang menonjolkan korupsi di Indonesia. Wartawan tersebut berhasil membuktikan bahwa tulisannya yang asli cukup "seimbang", tetapi oleh Bangkok Post tulisan itu dipotong sehingga cerita tentag korupsi saja yang menonjol. Deppen sendiri mempunyai semacam daftar wartawan asing yang "tidak menunjukkan sikap persalabatan". Pemerintah, kata Oemar Khatab, "susah untuk bertoleransi dengan orang yang datang dengan iktikad jelek dan seolah bersikap memusuhi." Apa dasar penentuan iktikad baik dan jelek'? "Misalnya waktu beberapa wartawan asing ikut kita undang untuk meninjau pulau Buru. Itu kan suatu kehormatan bagi mereka? Tetapi dalam tulisannya kemudian yang diexpose kok nanya segi yang jelek dan keluh-kesah tahanan. Apa itu bukan iktikad jelek?", kata Oemar Khatab. Pemerintah Indonesia tentu saja punya alasan untuk mengontrol lalulintas pers asing. Para wartawan itu umumnya mewakili media yang besar sekali pengaruhnya, sementara buat mereka toh yang disebut "kepentingan nasional Indonesia" bukan jadi pertimbangan utama. Kecuali mungkin buat koresponden asing yang kerkebangsaan Indonesia. Kini soalnya bagaimana mengadakan pendekatan yang kontinyu. Pertengahan pendapat atau kesefakatan tidak usah terlalu diharapkan. Yang penting ialah kedua belah pihak memahami posisi masing-masing. Dalam hubungannya dengan pers asing, forum Jakarta Foreign Correspondent Club yang beberapa tahun ini tidak aktif, bisa dimanfaatkan. Kelemahan humas pelbagai departemen di Indonesia mungkin juga diatasi dengan memusatkannya pada suatu badan informasi yang kompeten.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus