WAJAH koran itu coreng moreng dengan cat hitam. Pengantar
korannya sendiri menyerahkannya tanpa menunjukkan rasa
penyesalan. Langganan boleh saja menggerutu, tetapi ia sudah
terlalu terbiasa melihat halaman surat-kabar atau majalah asing
yang masuk Indonesia dihiasi dengan coretan-coretan hitam. Ia
menjadi tak peduli.
"Sensor" hitam yarlg dikenakan pada penerbitan asing yang masuk
Indonesia memang sudah lama dilakukan. Tetapi agaknya wabah
hitam ini belakangan ini makin meluas. Koran-koran Jepang yang
masuk ke sini misalnya, untuk pertama kalinya tahun ini, terkena
juga penghitaman. Yang dihitamkan apa saja? Jika dulu umumnya
hanya gamb ar-gambar yang dikategorikan porno, belakangan ini
sasaran utamanya adalah berita-berita politik yang mengenai
keadaan Indonesia, terutama yang dinilai "kurang positif"
menggambarkan keadaan Indonesia.
"Padahal berita-berita itu kami tulis untuk konsumsi
luar-negeri," keluh seorang wartawan asing di Jakarta. Dia
mungkin benar. Tetapi tampaknya pihak berwajib lidak mau ambil
risiko. Beberapa penerbitan asing itu memang beredar cukup luas
di sini, terutama di Jakarta. Asian Wallstreet Journal - suatu
suratkabar ekonomi terbitan Hongkong--misalnya, mempunyai oplag
13 ribu eksemplar di Indonesia. Majalah Time menurut agennya
punya peredaran 17 ribu, walau semuanya tidak habis terjual.
Tidak heran, setelah Kopkamtib menutup untuk sementara beberapa
suratkabar ibukota bulan lalu, sasaran peringatan berikutnya
ditujukan kepada pers asing. Pers asing yang masih terus saja
menjelek-jelekkan Pemerintah Indonesia dan masih saja melakukan
tindakan yang "macam-macam" diancam akan ditutup perwakilannya
di Indonesia, kala Kaskopkamtib Sudomo akhir bulan lalu.
Bahkan menurut Sudomo, ada orang Indonesia yang bekerja sebagai
wartawan pers asing telah menyiarkan berita dengan
menjelek-jelekkan Pemerintah Indonesia. Orang-orang semacam ini
dianggapnya sebagai tidak mempunyai jiwa patriotisme dan jiwa
nasionalisme Indonesia. "Walaupun bagaimana sejelek-jeleknya
Pemerintah tidak sepantasnya orang-orang Indonesia semacam itu
menyiarkan berita yang isinya menjelekkan Pemerintah untuk
kemudian dikonsumsi ke luar negeri " Tak lupa Sudomo mengakhiri
peringatannya dengan ucapan: "Bercerminlah pada mukamu sendiri."
Sudomo tidak secara tegas menunjuk perwakilan pers asing
manayangdimaksudnya. Sampai sekarang belum ada pers asing yang
diperingatkan langsung atau bahkan akan ditutup.
Tigapuluhsatu perwakilan pers asing ada di Jakarta, tidak
termasuk beberapa wartawan yang berstatus freelance yang menulis
untuk beberapa media sekaligus. Beberapa kantor berita (KB)
Barat yang menguasai sebagian besar "perdagangan berita" dunia,
seperti The Associated Press (AP), United Press International
((JPI), Reuter dan Agence France Presse (AFP) punya perwakilan
di Jakarta. Negara-negara Sosialis terwakili oleh KB Tass (Uni
Soviet) dan KB Tanjug (Yugoslavia). Media Jepang puna 8
koresponden di Jakarta, jumlah terbesar yang mewakili satu
negara, dan mereka seakan merupakan kelompok tersendiri. Tidak
semua perwakilan ditangani wartawan asing. Beberapa perwakilan
penting malahan dipegang oleh koresponden berkebangsaan
Indonesia.
Seberapa leluasa mereka datang ke mari? Cukup panjang jalan yang
harus ditempuh sebelum seorang wartawan asing dapat izin
bertugas di Indonesia.
Seperti juga hampir di semua negara, pemegang paspor wartawan
mendapat penelitian yang ketat di Indonesia. Wartawan itu
mula-mula harus mengajukan permohonan kepada perwakilan RI
setempat. Selanjutnya ada dua kemungkinan, kata Direktur Bina
Wartawan Departmen Penerangan Oemar Khatab. Kalau wartawan
tersebut dikenal baik dan "dianggap positif", kepala perwakilan
RI dapat memberikan visa atas kuasa sendiri berupa visa
kunjungan untuk maksimum 5 minggu. Jika wartawan tersebut tidak
dikenal baik arau perwakilan RI ragu-ragu, mereka akan meminta
clearance pemerintah, dalam hal ini Deppen, lebih dulu. Baru
kemudian permohonan diproses.
Wartawan asing yang ditugaskan ke Indonesia, begitu datang harus
melaporkan diri ke Deppen untuk mendapat kartu pers sementara
dan dengan itu ia dapat menjalankan tugasnya. Buat mereka yang
ditempatkan sebagai koresponden tetap, diharuskan juga untuk
memiliki Kartu Ijin Menetap Sementara (KIM/S), kartu tanda lapor
diri dari Kepolisian dan Ijin Kerja.
Ada juga kemungkinan lain. Ada wartawan asing yang menyadari
bahwa kalau dia mengajukan permohonan, akan sulit baginya
mendapat clearance dari pemerintah RI. Biasanya dia minta visa
turis dengan akibat kepada mereka tidak akan diberikan fasilitas
sebagai wartawan. Setibanya di sini, dapat saja dia menemui
orang yang diingininya, melakukan wawancara dan sebagainya.
Wartawan macam beginilah yang menurut Oemar Khatab sering
"menyulitkan pemerintah." Dijelaskannya bahwa tujuan pemberian
kesempatan kepada pers asing untuk beroperasi di sini adalah
untuk tidak memberikan gambaran pada dunia bahwa di Indonesia
tidak ada kebebasan pers. Di samping: itu juga agar Indonesia
lebih hanyak diberiakan oleh pers dunia, demi kepentingan
nasional, supaya Indonesia tidak diisolir oleh pers dunia. "Kita
mengharapkan tulisan yang seimbang, yang menunjukkan kemajuan
Indonesia tetapi juga menunjukkan kekurangan kita -- justru agar
kita dapat lebih meningkatkan kemajuan itu," kata Khatab.
Apa yang dimaksud dengan pengertian "seimbang"? Mana yang
dianggap positif dan mana yang tidak? Nampaknya ada perbedaan
tanggapan antara pemerintah dengan para wartawan hingga selalu
ada semacam ketegangan. Kata Raphael Pura, koresponden The Asian
Wallstreet Journal: "Yang saya tulis bukan kebohongan, tapi
hal-hal yang sudah dicek kebenarannya," kata Pura. Lanjut Pura,
"Itu mungkin tak menguntungkan pemerintah, tapi membuat
pemerintah senang 100% adalah suatu hal yang tidak reasonable
untuk diharapkan."
Di lain pihak. Oemar Khatab menyinggung adanya wartawan asing
yang sengaja datang ke sini untuk menjelek-jelekkan Indonesia.
Bahkan ada juga pendapat bahwa ada koresponden asing yang
sengaja begitu karena senang kalau diusir sebagai akibat
tulisannya: ia bisa dianggap pahlawan. Bagaimana? "Saya kira
tidak begitu. Indonesia ini negara penting. Kalau kita diusir,
kita kehilangan satu sumber berita yang penting," kata David
Jenkins koresponden For Eastern Economic Review (FEER).
Pengusiran seorang koresponden asing karena tulisannya belum
pernah terjadi di Indonesia selama Orde Baru. Seorang
koresponden asing umumnya ditugaskan selama sekitar 3 tahun di
suatu negara. Ijin tinggal mereka harus diperpanjang setiap
tahun. Untuk meminta perpanjangan ijin itu diperlukan surat
rekomendasi Deppen bagi Kantor Imigrasi. Dan seperti telaL
pernah beberapa kali terjadi, Deppen dapat saja menolak
memberikan surat rekomendasi itu sehingga akhirnya koresponden
itu terpaksa meninggalkan Indonesia.
Namun, seperti dikatakan seorang pejabat, sering kepada wartawan
asing tidak terus terang dikatakan bahwa dia dinilai "kurang
positif"--dan surat rekomendasi tidak akan diberikan. Caranya
dengan menunda-nunda memberikan surat rekomendasi itu dan
diharapkan wartawan asing itu akhirnya "akan mengerti sendiri."
Mungkin cara ini bisa dianggap sesuai dengan "kepribadian
Indonesia."
Bentrokan antara wartawan asing dengan pemerintah memang risiko
yang harus dibayangkan sejak mula. Persoalannya berpulang pada
perbedaan ukuran yang digunakan. Ukuran yang digunakan oleh
seorang kqresponden asing, terutama mereka yang helum lama
tingal di sini. tentu berbeda.
Ini diakui oleh Oemar Khatab. Ia menyebut juga satu contoh.
Seorang wartawan Barat mungkin saja akan terkejut melihat
keadaan tahanan di Indonesia yang kalau dibandingkan dengan
fasilitas yang diterima tahanan di negerinya berbeda jaun. Bila
ia orang yang baru tiba di sini bisa saja ia menulis tentang
nasib tahanan di Indonesia yang menyedihkan. Tetapi bila ia
sudah lama tinggal di sini, ia pasti mengetahui bahwa nasib
tahanan itu cukup lumayan dibanding banyak orang di luar yang
nasibnya lebih buruk.
Suatu hal lain yang perlu dipertimbangkan wartawan asing,
menurut Oemar Khatab ialah kondisi dan nilai-nilai bangsa
Indonesia yang berbeda dengar negara Barat. Misalnya dalam cara
penyampaian kritik. Orang Indonesia pada dasarnya bisa menerima
kritik, asal penyampaiannya disesuaikan dengan nilai-nilai di
Indonesia.
Khatab mengambil contoh kritik pada kepala negara. Di negara
Barat kepala negara adalah murni kepala pemerintahan, tetapi di
Indonesia ada unsur sebagai bapak dan pemimpin rakyat. Kalau ada
seorang bapak dipukul orang lain, anaknya tidak akan bisa diam
sekalipun tahu bahwa bapaknya mungkin bersalah. Faktor inilah
yang harus diperhatikan, kata Khatab. "Kalau orang menyerang Pak
Harto mungkin bukan pak Hartonya yang jengkel, sebagian rakyat
yang akan jengkel. Apalagi kalau yang menyerangnya itu orang
asing, sebagian rakyat tidak akan rela.
Mungkin di sini terletak sumber dari beberapa ketegangan yang
pernah terjadi antara pemerintan dan pers asing. Seperti apa
yang terjadi dengan majalah Newsweek. Sekitar satu setengah
tahun yang lalu, majalah ini menulis tentang Indonesia, antara
lain berisi kritik pada Presiden dan Ibu Tien. Akibatnya,
majalah ini untuk sementara dilarang masuk.
Sulitnya, para koresponden asing ini menulis untuk konsumsi luar
negeri, sehingga mereka harus menggunakan gaya atau istilah yang
buat orang sini mungkin dianggap salah atau menyakitkan. Seperti
dikatakan Guy Sacerdoti, koresponden beberapa penerbitan
termasuk FEER: "Bagi wartawan asing seperti saya, yang menulis
bukan untuk pembaca Indonesia, tetapi bagi pembaca di luar
negeri, saya harus menggunakan bahasa, struktur kalimat dan gaya
sehingga orang Amerika misalnya, akan mengerti masalah
pokoknya." Guy mengambil contoh kalau dia menulis bahwa ada 7
koran yang SlT-nya tidak dicabut tetapi diambil untuk sementara,
itu tidak ada artinya. "Jadi saya tulis bahwa korankoran itu
diberangus (banned) atau lebih kena lagi kalau disebut
crackdown."
Kesulitan lain bagi para wartawan asing ialah: peranan public
relations di Indonesia, yang bagi mereka "aneh". Bagian Hubungan
Masyarakat (Humas) di Indonesia umumnya sulit dikontak.
Hampir semua wartawan asing yang diwawancarai TEMPO dengan
tandas menyebut hampir semua Humas di instansi pemerintah
"payah". Padahal mereka memerlukannya, supaya berita bisa tidak
berat sebelah. Hanya Encik Zainoor Sulaiman, koresponden dari KB
Malaysia Bernama, yang mengatakan sangat puas dengan humas di
Indonesia. Mitsunori Matsumura, koresponden NHK, berpendapat
bahwa humas di Indonesia sangat buruk. Yoshitaka Masuko,
koresponden Asahi Shimbun malahan berpikir mungkin pemerintah
Indonesia sebenarnya tidak tahu apa peranan humas. Menurut
Raphael Pura agaknya humas di sini tidak mempunyai rasa tanggung
jawab untuk membantu pers. Tapi ia ambil segi positif: suasana
yang serba kurang informasi itulah yang dianggapnya sebagai
"tantangan". Menurut dia, dalam keterbatasan data itu
kemungkinan untuk membuat "scoop " atau suatu eerita yang
eksklusif.
Untunglah tidak semua humas dinilai buruk oloh pero asing.
Dopartomen Pertambangan, Portamna, Badan Koordinasi Penanaman
Modal, Sekretariat Negara dan Deplu, dinilai mereka sebagai
"lumayan". Tapi umumnya humas di sini, tidak mempunyai 'instant
info' kata wartawan freelance Hamish Mc Donald.
TIDAKKAH semua itu gara-gara para wartawan asing itu "cerewet"
atau "terlalu banyak menuntut"? Betapapun harus diakui bahwa
humas di Indonesia rata-rata kurang menguasai bidangnya. Atau
mungkin mereka terbiasa dengan pers nasional yang lebih santai
dalam bekerja. Padahal para wartawan asing lebih diburu waktu.
Mungkin benar juga yang dikatakan Moh. Chudori, Direktur
Pemberitaan KB Antara, bahwa koresponden asing itu adalah
"jurnalis-jurnalis profesionil". "Pers asing memang lebih gigih
daripada pers dalam negeri," juga kata G. Dwipayana Kepala Humas
Sekneg. Ia mengambil contoh usaha pers asing untuk dapat
mengadakan wawancara dengan Presiden, yang menggunakan
bermacam-macam taktik dan mendekati banyak orang sehingga mereka
lebih berhasil.
Kegesitan wartawan asing ini dengan sendirinya perlu sekali
diimbangi dengan kegesitan pihak pemerintah, untuk memberikan
informasi dan pengarahan kepada mereka Bagaimanapun juga,
peranan pers asing ini menentukan sekali dalam menciptakan
gambaran Indonesia di dunia internasional. Seperti dikatakan
dengan tepat oleh Oemar Khatab, "Keterbukaan penting untuk
menhindari--laporan yang negatif yang disebabkan karena
sumbernya yang tidak berwenang."
Padahal pers asing di Indonesia memang mendapatkan kebebasan
penuh dalam pemberitaan. David Jenkins malah berpendapat bahwa
"Indonesia barangkali merupakan negeri terbebas bagi pers asing
di Asia Tenggara." Wartawan berkebangsaan Australia ini
mengingatkan kasus penangkapan dua wartawan FEER di Singapura
dan pengusiran seorang lainnya di Thailand.
Itu tak berarti mereka tidak diawasi. Departemen Luar Negeri
adalah yang bertugas me-monitor laporan-laporan wartawan itu.
Kedutaan Besar RI akan mengirimkan tulisan-tulisan itu ke Deplu
yang kemudian membaginya, antara lain jugake Bakin dan Deppen.
Berdasar tulisan-tulisan inilah "konduite" wartawan asing di
sini ditentukan. Sedang laporan-laporan yang disiarkan radio
luar-negeri dimonitor di dalam negeri. Jika laporan seorang
wartawan dinilai kurang seimbang atau kurang positif, bisa saja
ia mula-mula mendapat peringatan "persahabatan" dari Deppen yang
dalam hal ini dilakukan oleh Direktorat Bina Wartawan. Bila
suatu tulisan dianggap "negatif" mula-mula diteliti di mana
terjadi distorsinya.
Sebab seperti sering terjadi kesalahan itu tidak dilakukan oleh
si penulis berita. Suratkabar yang memuat tulisan itu bisa saja
memotong tulisan itu, melengkapinya dengan berita dari sumber
lain --atau memberikan kepala berita yang tidak sesuai dengan
isi beritanya, seperti yang akhir-akhir ini dilakukan oleh
suratkabar Singapura The Straits Times.
Tahun lalu misalnya, seorang wartawan Indonesia yang bekerja di
Depthnews dipanggil Deppen sehubungan dengan tulisannya yang
dimuat di Bangkok Post yang menonjolkan korupsi di Indonesia.
Wartawan tersebut berhasil membuktikan bahwa tulisannya yang
asli cukup "seimbang", tetapi oleh Bangkok Post tulisan itu
dipotong sehingga cerita tentag korupsi saja yang menonjol.
Deppen sendiri mempunyai semacam daftar wartawan asing yang
"tidak menunjukkan sikap persalabatan". Pemerintah, kata Oemar
Khatab, "susah untuk bertoleransi dengan orang yang datang
dengan iktikad jelek dan seolah bersikap memusuhi." Apa dasar
penentuan iktikad baik dan jelek'? "Misalnya waktu beberapa
wartawan asing ikut kita undang untuk meninjau pulau Buru. Itu
kan suatu kehormatan bagi mereka? Tetapi dalam tulisannya
kemudian yang diexpose kok nanya segi yang jelek dan keluh-kesah
tahanan. Apa itu bukan iktikad jelek?", kata Oemar Khatab.
Pemerintah Indonesia tentu saja punya alasan untuk mengontrol
lalulintas pers asing. Para wartawan itu umumnya mewakili media
yang besar sekali pengaruhnya, sementara buat mereka toh yang
disebut "kepentingan nasional Indonesia" bukan jadi pertimbangan
utama. Kecuali mungkin buat koresponden asing yang kerkebangsaan
Indonesia.
Kini soalnya bagaimana mengadakan pendekatan yang kontinyu.
Pertengahan pendapat atau kesefakatan tidak usah terlalu
diharapkan. Yang penting ialah kedua belah pihak memahami posisi
masing-masing. Dalam hubungannya dengan pers asing, forum
Jakarta Foreign Correspondent Club yang beberapa tahun ini
tidak aktif, bisa dimanfaatkan. Kelemahan humas pelbagai
departemen di Indonesia mungkin juga diatasi dengan
memusatkannya pada suatu badan informasi yang kompeten.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini