BAGI 65.000 pembeli karcis, belum terhitung mereka yang
menyaksikan lewat layar tv, pertandingan antara kesebelasan Ajax
dan Bayern Muen chen di stadion Olympiade, Amsterdam (7
Nopember) mungkin merupakan tontonan yang tak akan pernah
ditemui lagi. Malam itu adalah perpisahan pemain pujaan mereka
dan dunia.
Johan Cruyff, 31 tahun, selanjutnya akan menggantungkan sepatu
bola, menghindari turnamen resmi. Cruyff, malam itu, setelah 5
tahun bergabung dengan klub Barcelona dari Spanyol kembali
mengenakan kostum Ajax - klub di mana ia mengawali karir.
Kesebelasan Ajax, juara Eropa 3 kali, malam itu ternyata tak
berkutik di kaki pemain Bayern Muenchen. Delapan gol bersarang
di jala mereka tanpa balas -- 3 dicetak oleh Paul Breitner, 3
dari kaki Rummeninge dan 2 lagi lewat tendangan Gerd Mueller. "
Ini adalah suatu pertandingan perpisahan yang tidak
menyenangkan," kata Cruyff seusai permainan.
Kabar Besar
Lepas dari gagalnya Cruyff memperlihatkan ketrampilan di hari
perpisahannya, dirinya akan tetap merupakan pribadi menarik dari
lapangan hijau. Ia dilahirkan dari sebuah keluarga miskin.
Orangtuanya adalah pemilik kantin. Ia mulai mengenal permainan
sepakbola pada usia 5 tahun, ketika ayahnya, Manus Cruyff
menghadiahinya sepasang sepatu bola. "Setiap sore, sehabis
sekolah, aku langsung pergi ke jalan main sepakbola " cerita
Cruyff mengenang masa lalunya. Lima tahun kemudian ia sudah
bergabung dalam tim bocan kesebelasan Ajax. Ia diterima tanpa
melalui ujian. "Suatu kabar besar bagiku. Karena setiap tahun,
ratusan anak memasukkan permohonan untuk menjadi anggota klub
Ajax. Dan setelah melalui ujian dalam suatu pertandingan, hanya
5 dari 6 pemain terbaik yang diterima, lanjut Cruyff yang
memilih karir berbeda dengan adiknya, Hennie. Adiknya sekarang
bergerak dalam bidang bisnis.
Dibebaskannya Cruyff dari seleksi masuk bukan tanpa dasar.
Pelatih klub Ajax muda, salah seorang di antaranya bernama Jany
van der Veen, telah mengenal ketrampilannya di lapangan. Sebab
Cruyff memang telah lama menghabiskan hari-hari senggangnya di
tempat pemain Ajax berlatih. Bahkan pada usia 6 tahun, ia sudah
sering, meski belum secara resmi menjadi anggota klub,
memperoleh kesempatan bermain bersama-sama kelompok usia 12 - 13
tahun. Dua musim setelah diterima menjadi anggota klub Ajax, ia
termasuk dalam barisan utama tim junior B. Pada usia 16 tahun,
ia bahkan sudah menanda-tangani kontrak sebagai pemain bayaran
di kelompok pemain muda. Ia mendapat gaji 60 gulden (sekitar
12.000 rupiah) seminggu. Dari bayaran itu ia membantu ibunya
yang menjanda sejak ayahnya meninggal 4 tahun sebelumnya.
Kendati Cruyff tergabung dalam grup pemain junior, ia tak jarang
dipakai di kelompok pemain senior. Debut pertamanya dalam
barisan pemain dewasa ini adalah pada pertandingan kompetisi
antara Ajax melawan klub GVAV, 2 Pebruari 1964. Dalam
pertandingan tersebut, Ajax menderita kalah 3-1. Tapi,
"satu-satunya gol untuk Ajax, akulah yang menciptakannya," ujar
Cruyff. Sejak itu ia bermain penuh untuk kesebelasan senior.
Jika dibandingkan dengan pemunculan Pele dari Brasilia, Cruyff
memang sedikit terlambat tampil di tingkat sepakbola
internasional. Pele sudah memperkuat tim nasional dalam
Kejuaraan Piala Dunia 1958 di Swedia pada umur 18 tahun. Tapi
pemunculan Cruyff di final Kejuaraan Piala Dunia 1974 di
Muenchen telah memberikan gambaran tersendiri bagi dirinya.
Namanya tak ayal disejajarkan orang, bahkan ada yang menyebutnya
lebih baik, dibandingkan Pele.
Kartu Kuning
Tidak heran ketika kedudukan klub Barcelona terancam, dalam kata
perpisahannya manager Vic Buckingham menyarankan kepada pimpinan
klub, Agustin Montal untuk membeli Cruyff. "Belilah dia,
berapapun harganya," kata Buckingham. Perhitungan Buckingham
ternyata benar. Setahun setelah Cruyff bergabung dengan mereka,
klub Barcelona berhasil menjadi juara liga sepakbola Spanyol
kembali.
Tapi, sayang, Cruyff yang pernah menjadi motor tim nasional
Belanda ke final Kejuaraan Piala Dunia 1974 tidak turun di
gelanggang yang sama di Argentina, Juni 1978. Tak jelas
alasannya, mengapa ia menolak memperkuat tim nasional Belanda.
Kabar selentingan yang terdengar, ia mau bermain untuk
negerinya, jika Ratu Juliana sendiri yang memmta dirinya
bermain.
Tingkah Cruyff, yang menjadi topik pembicaraan, bukan itu saja.
Di lapangan, ia dikecam sebagai pemain yang gemar memprotes
wasit. Tidak jarang ia harus dikeluarkan dari lapangan akibat
perilaku itu. Lihat saja, ketika final Piala Dunia 1974. Ia
terpaksa diberi kartu kuning oleh wasit, gara-gara ia memprotes
pimpinan pertandingan.
Tapi Cruyff dengan segala polanya itu tetap disanjung, dikenang,
dan tak jarang diancam penggemar sepakbola. Ketika ia menyatakan
tekad untuk pindah ke klub Barcelona, salah seorang pemujanya di
Belanda mengancam akan menculik isteri dan anaknya. Cruyff
menikah dengan Danny, puteri jutawan Cor Coster. Ia, dikaruniai
2 orang puteri, Chantal dan Suzie, serta seorang putera, Jordie.
Di Spanyol nasibnya pun tak berbeda. Dalam hal pendapatan, ia
dibeli oleh klub Barcelona seharga 2 juta dollar AS. Perkara
ancaman maupun maki-maki, terutama bila klubnya kalah, baginya
sama saja. "Antara puji dan maki itu cuma terletak antara 1 gol
saja," kata Cruyff Setelah mengundurkan sebagai pemain, ia
bercita-cita menjadi konsultan sepak bola.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini