SERATUS lima puluh orang murid SD di Kecamatan Jatiroto, antara
Lumajang dan Jember, Jawa Timur, menjelang Idul Fitri yang lalu
berhasil menerima bea siswa dari Karya Asih, sebuah unit
kegiatan dari Yayasan Taman Karya Lumajang.
Bea siswa tentunya suatu anugerah yang bagus. Tapi ceritanya
berkembang -- sampai bulan-bulan berikutnya -- lantaran setiap
siswa yang mendapat keberuntungan itu diberi kartu tanda anggota
yang bergambar salib. Masyarakat pun heboh, dan cerita yang
sudah sering terdengar berulang kembali. Di kartu itu tertulis
Christian Children Fund -- dan masyarakat Jatiroto lantas
berkesimpulan bahwa anak-anak mereka sedang diusahakan berpindah
agama. Anak-anak ini sendiri 147 orang lahir dalam keluarga
Islam, 1 orang Katolik dan 2 orang Protestan.
Beberapa orangtua murid kemudian mengembalikan kartu itu. Bahkan
ada yang kemudian menandatangani surat pernyataan: mengatakan
bahwa dirinya merasa tertipu, seperti dilakukan Kartono,
penduduk Kaliboto yang anaknya bernama Rohim duduk di kelas 3
SD Inpres Danatantra. Demikian juga Ny. Maimunah, ibu Taufik,
kelas 4 SD yang sama. Taufik sendiri sebelumnya sudah
ogah-ogahan ke sekolah lantaran diejek teman-temannya begini:
"He kamu memakai sepatu haleluya!" -- lantaran sepatu itu dibeli
dari uang bea siswa.
Berdasarkan surat-surat pernyataan wali murid itulah Kantor
Urusan Agama Jatiroto melayangkan surat ke atasannya 4 Oktober
lalu. Surat ditandatangani Kepala KUA Jatiroto, Abdul Qodir.
Isinya bukan saja menyebut adanya keberatan sementara orangtua,
tapi juga melaporkan dipakainya Kantor P&K Jatiroto sebagai
kantor Karya Asih.
Surat itulah yang membuat Muspida Lumajang turun tangan. PS
Yudho, Ketua Yayasan Taman Karya pun dipanggil Lalu masalahnya
tidak lagi terbatas pada keberatan sebagian wali murid tapi
sudah berkembang ke soal SK Menteri Agama yang mengatur bantuan
asing.
SGA Katolik
Sementara pembicaraan antara Muspida dengan Taman Karya masih
berlangsung terus, PS Yudho menyetujui untuk menghentikan
sementara pemberian bea siswa yang sudah berjalan dua bulan itu
-- sambil menunggu penyelesaian lebih lanjut. Persetujuan ini
dituangkan dalam bentuk surat dari Yayasan Taman Karya kepada
para petugas Karya Asih Jatiroto, 18 Oktober 1978.
Lalu, mendengar dihentikannya bea siswa itu, di Jatiroto ada
yang menjerit. Bukan orangtua murid, tapi Ny. Sumantri, Kepala
SD Inpres Danatantra di tempat itu. Ny. Sumantri inilah antara
lain yang didesas-desuskan sebagai "menjerumuskan" anak-anak di
sekolahnya untuk dijadikan Kristen, meskipun dla sendiri Islam.
Ketika ditemui Dahlan Iskan dari TEMPO di kediamannya, ibu guru
yang didampingi suaminya ini (juga Kepala SD Negeri di Jatiroto,
dan sama-sama tamatan Sekolah Guru Atas Katolik) mengakui memang
dirinyalah yang merintis bea siswa itu. "Tapi sama sekali tidak
ada motif keagamaan," katanya.
Ia pun bercerita bahwa sejak 1974, berbagai usaha sudah
dilakukan untuk membantu murid yang tergolong miskin. Antara
lain mengusulkan, dalam suatu pertemuan kepala-kepala sekolah,
agar mengadakan kegiatan penumpulan baju bekas untuk kemudian
disumbangkan kepada mereka. "Kalau untuk bencana alam bisa
terkumpul pakaian bekas, kenapa mereka yang mendapat bencana
kemiskinan bertahun-tahun itu tidak ditolong?" ujarnya. Usul
ini, menurut Ny. Sumantri (40 tahun) hanya dicemoohkan.
Maka dari itu ibu dari 4 anak ini pun bertekad mencari jalan
sendiri. Ketika tahun 1975 mengikuti kursus perbaikan gizi yang
diadakan suatu lembaga Katolik di Surabaya, didengarnya bahwa
lembaga itu juga bisa memberikan bea siswa. Setelah
berkonsultasi, Ny. Sumantri diberi kesempatan mengajukan
permohonan dan daftar siswa yang perlu dibantu.
Beberapa bulan kemudian ada jawaban. Usul itu ditolak --
lantaran Jatiroto terlalu jauh dari Surabaya. Sebaliknya Ny.
Sumantri disarankan untuk berhubungan dengan PS Yudho, pimpinan
Taman Karya Lumajang yang telah disebut tadi, yang rupanya juga
bisa mengusahakan bea siswa.
Singkat cerita, Yudho menyetujui permintaan ibu guru kita.
Sasaran yang akan dibantu adalah 150 anak yatim atau yang
orangtuanya sudah tidak bisa bekerja lagi -- seperti yang
disyaratkan. Karena jatah yang diberikan ternyata jauh lebih
banyak dari yang diusulkan, maka di samping mendaftar 50 murid
dari SDnya sendiri, Ny. Sumantri juga menghubungi 7 SD lainnya
sehingga terkumpul jumlah 150 tadi.
Kepada yang dimasukkan daftar dlberitahukan, bahwa mereka bisa
menerima bea siswa dengan syarat orangtuanya datang ke sekolah
untuk mendaftar. Pendaftaran berjalan lancar, dan dari anak-anak
yang terdaftar ditarik uang Rp 200 untuk membuat foto. Karena
foto harus dibuat di Lumajang, mereka pun diangkut ke kota yang
berjarak 30 km itu.
Itu bulan Juli 1977 dulu. Berbulan-bulan kemudian soal ini tidak
ada kabarnya -- sampai akhirnya genap satu tahun. "Ternyata
foto-foto itu harus dikirim dulu ke Amerika," ujar Ny. Sumantri
mengutip keterangan dari PS Yudho. Di Amerika, foto anak-anak
miskin ini ternyata dipajang di kantor orang Kristen -- sampai
ada orang yang sudi memilih salah satu foto itu sebagai calon
yang disponsorinya.
10.000 Brosur
Baru bulan Agustus lalu, didapat kabar bahwa ke-150 anak itu
"sudah laku" semua. Maka akhir Agustus lalu, tepat ketika banyak
orang perlu uang untuk menghadapi lebaran, siswa yang terdaftar
berikut orangtuanya dikumpulkan di kantor Karya Asih yang tak
lain adalah kantor P&K Jatiroto. Saat itulah mereka menerima
tiga kartu: kartu anggota, kartu tabungan dan kartu kunjungan
berikut uang Rp 2.500. Jumlah uang itu seharusnya Rp 3.000 tapi
yang Rp 500 wajib ditabung.
Uang itu akan diterima setiap tanggal 26 oleh orangtua murid.
Kemudian sebulan sekali para ibu itu akan dikumpulkan untuk
mengikuti kegiatan yang erat hubungannya dengan PKK. Sebulan
sekali juga, rumah mereka akan dikunjungi petugas Karya Asih
untuk mengontrol apakah bea siswa itu digunakan sebagaimana
mestinya.
Maka lengkaplah kecurigaan masyarakat. Apalagi sebelum itu orang
baru saja dihebohkan oleh datangnya kiriman 10.000 eksemplar
brosur tentang Yesus tanpa alamat pengirim, kepada Pabrik Gula
Jatiroto. Brosur ini oleh PG Jatiroto diserahkan seluruhnya
kepada Muspida Lumajang.
Ny. Sumantri sendiri mengakui, bahwa sebelumnya tidak pernah
diberitahu siapa pemberi dana itu -- sehingga orangtua murid
baru tahu bersamaan dengan penerimaan uang pertama. Tapi alasan
inilah yang kemudian dipakai beberapa orangtua murid untuk
menganggapnya sebagai penipuan, sebagaimana disebutkan Kartono.
Sebaliknya Ny. Sumantri merasa terhina oleh perbuatan wali
murid yang mengadukan persoalan ini. "Kalau menolak mbok ya
kartu-kartu itu diserahkan kepada kami saja. Bukan kepada orang
lain," katanya. Ia menyatakan keyakinannya bahwa surat
pernyataan itu bukan mereka sendiri yang membuat. "Ada yang
membuatkan," katanya.
Memang. Ny. Maimunah misalnya, yang meskipun janda tapi
sebenarnya tidak bisa digolongkan terlalu miskin (untuk ukuran
negeri ini), mengakui kepada TEMPO bahwa surat pernyataannya
dibuatkan oleh orang lain karena dia memang buta huruf (latin).
Tapi dia sendiri sekarang merasa lebih tenang jiwanya lantaran
keluarga yang serba haji itu tidak lagi mempersoalkannya.
Tapi lain pula dengan Wahyutin Biar pun janda berumur 40 tahun
ini anak seorang kyai di kampung, ia merasa senang anaknya
mendapat bea siswa. Lho? "Soal agama kan terserah," katanya.
"Kalau anak sudah dewasa kan tahu sendiri. " Anaknya sendiri
bernama Christanto. "Coba setelah sekarang dihentikan. Siapa
yang memberi uang? Orang Islam paling-paling merentenkan,"
katanya dalam bahasa Jawa.
Ny. Sumantri sendiri sekarang menantang. "Okelah dihentikan.
Tapi marilah sama-sama memikirkan mencarikan gantinya," katanya
gemas.
Sementara itu PS Yudho, ketika ditemui TEMPO di desa Kedungrejo,
15 km dari Lumajang (50 pCt penduduknya beragama Katolik) merasa
heran soal bea siswa itu jadi heboh begini. Lebih heran lagi
ketika mendengar kecaman bahwa bantuan itu diusahakan tanpa
setahu pemerintah yang berarti melanggar SK Menteri Agama.
"Proyek ini tidak hanya diketahui pemerintah. Justru bekerjasama
dengan pemerintah," ujarnya.
Disebutkannya perjanjian kerjasama antara Depsos dan Christian
Children's Fund 9 Juli 1974. Bupati Lumajangpun telah
mengeluarkan izinnya tanggal 14 Nopember 1974 -- dengan syarat:
hanya diberikan kepada yang meminta, tidak mendatangi penduduk
lain agama, dan tidak mempengaruhi/memberi petunjuk-petunjuk
sehingga terjadi perpindahan agama.
Sejak izin itu dikeluarkan, pemberian bea siswa sebenarnya sudah
dilakukan di Lumajang. Jumlahnya 450 anak, dengan nilai Rp
3500/bulan. "Anehnya justru yang sekarang ini yang heboh,"
katanya. Bahkan menurut keterangannya, di Ja-Tim ada 8 lembaga
yang samanya (Surabaya, Sidoarjo, Madiun, Malang, Kediri) dengan
jumlah siswa yang dibantu ribuan anak.
Pusat Latihan Pertanian
Bagi Taman Karya, bea siswa itu sendiri sebenarnya bukan proyek
pokok. Sebab ada proyek pokok berupa pusat latihan pertanian di
Desa Kedungrejo sendiri. Dalam pembicaraannya dengan Muspida,
Yudho selalu menekankan tidak adanya motif keagamaan dalam bea
siswa itu, di samping proyek itu sendiri merupakan kerjasama
dengan pemerintah.
Tetapi, "kalau memang tidak ada motif keagamaan, tidak usahlah
disebutkan apa agama anak yang dibantu itu. Sebab dalam daftar
disebutkan nomor urut, nama anak, nama orangtua, alamat dan
agama. " Demikian ujar Kyai Manaf, ulama terkemuka di Lumajang
yang tak lain sepupu Yudho sendiri.
Muspida Lumajang rupanya tidak hendak membuat masalah ini
berlarut-larut. Mula-mula, seperti dikatakan Sekwilda Lumajang
drs Setyono kepada TEMPO, Muspida menghendaki petugas pemerintah
saja yang membagikan bea siswa itu, sedang Karya Asih
mendampingi. "Tapi kemudian kami setuju bahwa pembagian uang
dilakukan oleh Karya Asih, hanya didampingi petugas Kesra.
Petugas itulah yang akan memberikan penerangan sebelum uang
dibagi, di samping menjadi saksi bahwa dalam pembagian uang itu
benar tidak ada rayuan-rayuan bersifat keagamaan," ujar Sekwilda
lagi.
Adapun Yayasan Taman Karya di Lumajang dikenal sebagai sebuah
badan Katolik. Tapi Direktur Jenderal Bimas Katolik Departemen
Agama di Jakarta, Ign. Djokomuljono, menyatakan rasa asingnya
mendengar nama tersebut. "Nama itu tidak lazim digunakan di
kalangan Katolik," katanya kepada Karni Ilyas dari TEMPO.
Meskipun Dirjen menyatakan akan mencek dulu, kalau-kalau memang
ada yang bernama Taman Karya, tapi mengenai soal bea siswa, ah,
"untuk memberi bea siswa anak-anak yang sekolah di seminari saja
kita belum mampu" katanya.
Di Lumajang, PS Yudho optimis bahwa setelah tersandung sedikit,
program akan jalan terus. "Mudah-mudahan akhir Nopember ini
pemberian beasiswa sudah bisa dilakukan lagi," katanya. Itu
berarti rapel dua bulan -- sebab yang bulan Oktober kan
terhenti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini