Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Tersandung Sedikit Di Jatiroto

Sejumlah anak di Jatiroto yang mendapat beasiswa orang Kristen Amerika melalui karya asih berbuntut wali murid anak-anak SD itu protes, hingga pemda terpaksa turun tangan.

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERATUS lima puluh orang murid SD di Kecamatan Jatiroto, antara Lumajang dan Jember, Jawa Timur, menjelang Idul Fitri yang lalu berhasil menerima bea siswa dari Karya Asih, sebuah unit kegiatan dari Yayasan Taman Karya Lumajang. Bea siswa tentunya suatu anugerah yang bagus. Tapi ceritanya berkembang -- sampai bulan-bulan berikutnya -- lantaran setiap siswa yang mendapat keberuntungan itu diberi kartu tanda anggota yang bergambar salib. Masyarakat pun heboh, dan cerita yang sudah sering terdengar berulang kembali. Di kartu itu tertulis Christian Children Fund -- dan masyarakat Jatiroto lantas berkesimpulan bahwa anak-anak mereka sedang diusahakan berpindah agama. Anak-anak ini sendiri 147 orang lahir dalam keluarga Islam, 1 orang Katolik dan 2 orang Protestan. Beberapa orangtua murid kemudian mengembalikan kartu itu. Bahkan ada yang kemudian menandatangani surat pernyataan: mengatakan bahwa dirinya merasa tertipu, seperti dilakukan Kartono, penduduk Kaliboto yang anaknya bernama Rohim duduk di kelas 3 SD Inpres Danatantra. Demikian juga Ny. Maimunah, ibu Taufik, kelas 4 SD yang sama. Taufik sendiri sebelumnya sudah ogah-ogahan ke sekolah lantaran diejek teman-temannya begini: "He kamu memakai sepatu haleluya!" -- lantaran sepatu itu dibeli dari uang bea siswa. Berdasarkan surat-surat pernyataan wali murid itulah Kantor Urusan Agama Jatiroto melayangkan surat ke atasannya 4 Oktober lalu. Surat ditandatangani Kepala KUA Jatiroto, Abdul Qodir. Isinya bukan saja menyebut adanya keberatan sementara orangtua, tapi juga melaporkan dipakainya Kantor P&K Jatiroto sebagai kantor Karya Asih. Surat itulah yang membuat Muspida Lumajang turun tangan. PS Yudho, Ketua Yayasan Taman Karya pun dipanggil Lalu masalahnya tidak lagi terbatas pada keberatan sebagian wali murid tapi sudah berkembang ke soal SK Menteri Agama yang mengatur bantuan asing. SGA Katolik Sementara pembicaraan antara Muspida dengan Taman Karya masih berlangsung terus, PS Yudho menyetujui untuk menghentikan sementara pemberian bea siswa yang sudah berjalan dua bulan itu -- sambil menunggu penyelesaian lebih lanjut. Persetujuan ini dituangkan dalam bentuk surat dari Yayasan Taman Karya kepada para petugas Karya Asih Jatiroto, 18 Oktober 1978. Lalu, mendengar dihentikannya bea siswa itu, di Jatiroto ada yang menjerit. Bukan orangtua murid, tapi Ny. Sumantri, Kepala SD Inpres Danatantra di tempat itu. Ny. Sumantri inilah antara lain yang didesas-desuskan sebagai "menjerumuskan" anak-anak di sekolahnya untuk dijadikan Kristen, meskipun dla sendiri Islam. Ketika ditemui Dahlan Iskan dari TEMPO di kediamannya, ibu guru yang didampingi suaminya ini (juga Kepala SD Negeri di Jatiroto, dan sama-sama tamatan Sekolah Guru Atas Katolik) mengakui memang dirinyalah yang merintis bea siswa itu. "Tapi sama sekali tidak ada motif keagamaan," katanya. Ia pun bercerita bahwa sejak 1974, berbagai usaha sudah dilakukan untuk membantu murid yang tergolong miskin. Antara lain mengusulkan, dalam suatu pertemuan kepala-kepala sekolah, agar mengadakan kegiatan penumpulan baju bekas untuk kemudian disumbangkan kepada mereka. "Kalau untuk bencana alam bisa terkumpul pakaian bekas, kenapa mereka yang mendapat bencana kemiskinan bertahun-tahun itu tidak ditolong?" ujarnya. Usul ini, menurut Ny. Sumantri (40 tahun) hanya dicemoohkan. Maka dari itu ibu dari 4 anak ini pun bertekad mencari jalan sendiri. Ketika tahun 1975 mengikuti kursus perbaikan gizi yang diadakan suatu lembaga Katolik di Surabaya, didengarnya bahwa lembaga itu juga bisa memberikan bea siswa. Setelah berkonsultasi, Ny. Sumantri diberi kesempatan mengajukan permohonan dan daftar siswa yang perlu dibantu. Beberapa bulan kemudian ada jawaban. Usul itu ditolak -- lantaran Jatiroto terlalu jauh dari Surabaya. Sebaliknya Ny. Sumantri disarankan untuk berhubungan dengan PS Yudho, pimpinan Taman Karya Lumajang yang telah disebut tadi, yang rupanya juga bisa mengusahakan bea siswa. Singkat cerita, Yudho menyetujui permintaan ibu guru kita. Sasaran yang akan dibantu adalah 150 anak yatim atau yang orangtuanya sudah tidak bisa bekerja lagi -- seperti yang disyaratkan. Karena jatah yang diberikan ternyata jauh lebih banyak dari yang diusulkan, maka di samping mendaftar 50 murid dari SDnya sendiri, Ny. Sumantri juga menghubungi 7 SD lainnya sehingga terkumpul jumlah 150 tadi. Kepada yang dimasukkan daftar dlberitahukan, bahwa mereka bisa menerima bea siswa dengan syarat orangtuanya datang ke sekolah untuk mendaftar. Pendaftaran berjalan lancar, dan dari anak-anak yang terdaftar ditarik uang Rp 200 untuk membuat foto. Karena foto harus dibuat di Lumajang, mereka pun diangkut ke kota yang berjarak 30 km itu. Itu bulan Juli 1977 dulu. Berbulan-bulan kemudian soal ini tidak ada kabarnya -- sampai akhirnya genap satu tahun. "Ternyata foto-foto itu harus dikirim dulu ke Amerika," ujar Ny. Sumantri mengutip keterangan dari PS Yudho. Di Amerika, foto anak-anak miskin ini ternyata dipajang di kantor orang Kristen -- sampai ada orang yang sudi memilih salah satu foto itu sebagai calon yang disponsorinya. 10.000 Brosur Baru bulan Agustus lalu, didapat kabar bahwa ke-150 anak itu "sudah laku" semua. Maka akhir Agustus lalu, tepat ketika banyak orang perlu uang untuk menghadapi lebaran, siswa yang terdaftar berikut orangtuanya dikumpulkan di kantor Karya Asih yang tak lain adalah kantor P&K Jatiroto. Saat itulah mereka menerima tiga kartu: kartu anggota, kartu tabungan dan kartu kunjungan berikut uang Rp 2.500. Jumlah uang itu seharusnya Rp 3.000 tapi yang Rp 500 wajib ditabung. Uang itu akan diterima setiap tanggal 26 oleh orangtua murid. Kemudian sebulan sekali para ibu itu akan dikumpulkan untuk mengikuti kegiatan yang erat hubungannya dengan PKK. Sebulan sekali juga, rumah mereka akan dikunjungi petugas Karya Asih untuk mengontrol apakah bea siswa itu digunakan sebagaimana mestinya. Maka lengkaplah kecurigaan masyarakat. Apalagi sebelum itu orang baru saja dihebohkan oleh datangnya kiriman 10.000 eksemplar brosur tentang Yesus tanpa alamat pengirim, kepada Pabrik Gula Jatiroto. Brosur ini oleh PG Jatiroto diserahkan seluruhnya kepada Muspida Lumajang. Ny. Sumantri sendiri mengakui, bahwa sebelumnya tidak pernah diberitahu siapa pemberi dana itu -- sehingga orangtua murid baru tahu bersamaan dengan penerimaan uang pertama. Tapi alasan inilah yang kemudian dipakai beberapa orangtua murid untuk menganggapnya sebagai penipuan, sebagaimana disebutkan Kartono. Sebaliknya Ny. Sumantri merasa terhina oleh perbuatan wali murid yang mengadukan persoalan ini. "Kalau menolak mbok ya kartu-kartu itu diserahkan kepada kami saja. Bukan kepada orang lain," katanya. Ia menyatakan keyakinannya bahwa surat pernyataan itu bukan mereka sendiri yang membuat. "Ada yang membuatkan," katanya. Memang. Ny. Maimunah misalnya, yang meskipun janda tapi sebenarnya tidak bisa digolongkan terlalu miskin (untuk ukuran negeri ini), mengakui kepada TEMPO bahwa surat pernyataannya dibuatkan oleh orang lain karena dia memang buta huruf (latin). Tapi dia sendiri sekarang merasa lebih tenang jiwanya lantaran keluarga yang serba haji itu tidak lagi mempersoalkannya. Tapi lain pula dengan Wahyutin Biar pun janda berumur 40 tahun ini anak seorang kyai di kampung, ia merasa senang anaknya mendapat bea siswa. Lho? "Soal agama kan terserah," katanya. "Kalau anak sudah dewasa kan tahu sendiri. " Anaknya sendiri bernama Christanto. "Coba setelah sekarang dihentikan. Siapa yang memberi uang? Orang Islam paling-paling merentenkan," katanya dalam bahasa Jawa. Ny. Sumantri sendiri sekarang menantang. "Okelah dihentikan. Tapi marilah sama-sama memikirkan mencarikan gantinya," katanya gemas. Sementara itu PS Yudho, ketika ditemui TEMPO di desa Kedungrejo, 15 km dari Lumajang (50 pCt penduduknya beragama Katolik) merasa heran soal bea siswa itu jadi heboh begini. Lebih heran lagi ketika mendengar kecaman bahwa bantuan itu diusahakan tanpa setahu pemerintah yang berarti melanggar SK Menteri Agama. "Proyek ini tidak hanya diketahui pemerintah. Justru bekerjasama dengan pemerintah," ujarnya. Disebutkannya perjanjian kerjasama antara Depsos dan Christian Children's Fund 9 Juli 1974. Bupati Lumajangpun telah mengeluarkan izinnya tanggal 14 Nopember 1974 -- dengan syarat: hanya diberikan kepada yang meminta, tidak mendatangi penduduk lain agama, dan tidak mempengaruhi/memberi petunjuk-petunjuk sehingga terjadi perpindahan agama. Sejak izin itu dikeluarkan, pemberian bea siswa sebenarnya sudah dilakukan di Lumajang. Jumlahnya 450 anak, dengan nilai Rp 3500/bulan. "Anehnya justru yang sekarang ini yang heboh," katanya. Bahkan menurut keterangannya, di Ja-Tim ada 8 lembaga yang samanya (Surabaya, Sidoarjo, Madiun, Malang, Kediri) dengan jumlah siswa yang dibantu ribuan anak. Pusat Latihan Pertanian Bagi Taman Karya, bea siswa itu sendiri sebenarnya bukan proyek pokok. Sebab ada proyek pokok berupa pusat latihan pertanian di Desa Kedungrejo sendiri. Dalam pembicaraannya dengan Muspida, Yudho selalu menekankan tidak adanya motif keagamaan dalam bea siswa itu, di samping proyek itu sendiri merupakan kerjasama dengan pemerintah. Tetapi, "kalau memang tidak ada motif keagamaan, tidak usahlah disebutkan apa agama anak yang dibantu itu. Sebab dalam daftar disebutkan nomor urut, nama anak, nama orangtua, alamat dan agama. " Demikian ujar Kyai Manaf, ulama terkemuka di Lumajang yang tak lain sepupu Yudho sendiri. Muspida Lumajang rupanya tidak hendak membuat masalah ini berlarut-larut. Mula-mula, seperti dikatakan Sekwilda Lumajang drs Setyono kepada TEMPO, Muspida menghendaki petugas pemerintah saja yang membagikan bea siswa itu, sedang Karya Asih mendampingi. "Tapi kemudian kami setuju bahwa pembagian uang dilakukan oleh Karya Asih, hanya didampingi petugas Kesra. Petugas itulah yang akan memberikan penerangan sebelum uang dibagi, di samping menjadi saksi bahwa dalam pembagian uang itu benar tidak ada rayuan-rayuan bersifat keagamaan," ujar Sekwilda lagi. Adapun Yayasan Taman Karya di Lumajang dikenal sebagai sebuah badan Katolik. Tapi Direktur Jenderal Bimas Katolik Departemen Agama di Jakarta, Ign. Djokomuljono, menyatakan rasa asingnya mendengar nama tersebut. "Nama itu tidak lazim digunakan di kalangan Katolik," katanya kepada Karni Ilyas dari TEMPO. Meskipun Dirjen menyatakan akan mencek dulu, kalau-kalau memang ada yang bernama Taman Karya, tapi mengenai soal bea siswa, ah, "untuk memberi bea siswa anak-anak yang sekolah di seminari saja kita belum mampu" katanya. Di Lumajang, PS Yudho optimis bahwa setelah tersandung sedikit, program akan jalan terus. "Mudah-mudahan akhir Nopember ini pemberian beasiswa sudah bisa dilakukan lagi," katanya. Itu berarti rapel dua bulan -- sebab yang bulan Oktober kan terhenti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus