Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Dari tanah hawu miha

Kehidupan orang sawu sangat tertutup terhadap unsur asing. niko l. kana melakukan penelitian terhadap penduduk yang menghuni p. sawu, sempat menemui kesulitan. padahal ia sendiri berdarah sawu. (ilt)

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADALAH dua tokoh mitos kakak beradik: Hawu Miha dan Java Miha. orangtua mereka menurunkan "kata-kata bertuah" yang dapat menjadi kekuatan dan kemampuan untuk mencapai kemakmuran. Suatu ketika sang adik, Java Miha bertindak licik. Ia mencuri semua "warisan" orangtuanya dan pergi mengembara. Hawu Miha ditinggalkan tanpa memperoleh warisan apa-apa. Di Pulau Sawu, Hawu Miha kemudian menurunkan penduduk yang kini jumlahnya 52.000 jiwa lebih. Ia dan turunannya merasa pernah ditipu oleh Java Miha yang kemudian menurunkan orang asing. Karena "warisan" curian itu, orang yang tinggal di luar Sawu menjadi lebih pandai dan hidup lebih baik. Sebaliknya, orang Sawu menutup diri dari segala "intervensi" unsur luar. Dendam terhadap Java Miha dan keturunannya masih berkembang sampai sekarang. Pulau Sawu pun kini masih terpencil di kawasan Nusa Tenggara Timur. Meski demikian, seorang berdarah Sawu, Nico L. Kana (41 tahun) yang lama merantau dan menjadi pengajar pada Universitas Satya Wacana Salatiga memberanikan diri "dicurigai" dan diancam orang Sawu. Tahun 1974-1975, ia mengumpulkan data di sana untuk melengkapi disertasinya. Dengan tesisnya yang berjudul "Dunia Orang Sawu", suatu lukisan analitis tentang azas-azas penataan dalam kebudayaan orang Mahara di Sawu, NTT, ia telah menjadi doktor ke-8 bidang antropologi budaya dari Indonesia. Rektor Prof. Dr. Mahar Mardjono mengumumkan ia lulus dengan predikat "sangat memuaskan" 4 Nopember di Universitas Indonesia. Mitos Java Miha dan Hawu Miha itu membawa kesulitan bagi Nico sewaktu memulai penelitian. "Orang Sawu tidak terbuka terhadap segala unsur asing termasuk Pemerintah. Adat dan kebudayaan mereka yang dipertahankan itu tidak boleh dicuri lagi oleh antek-antek Java Miha. Dan saya juga dicap antek Java Miha itu meski berdarah Sawu," kata Dr. Kana kepada A. Margana dari TEMPO. Maka selama tiga bulan pertama tugasnya hanya mencatat apa yang dilihat dan didengarnya dari tempat menginapnya di kecamatan Sawu. "Saya sebelumnya memang sudah tahu dari hasil riset perpustakaan. Sebagai orang Sawu, saya semula berharap mudah mereka terima. Kebetulan ibu dari Mahara, dan saya dilahirkan di luar Sawu, Payeti," katanya lagi. Dalam pendekatan pertama, dia mengaku tidak menemui pemuka masyarakat. Orang Sawu tidak mengenal pemimpin adat secara formil. Semua mempunyai kedudukan sama dalam struktur sosial. Hanya ada beberapa pemimpin upacara yang ditunjuk berdasarkan klan yang dimiliki. Pemimpin upacara utama dijumpai untuk musim kemarau dan hujan. Juga ada klan yang bertugas mengawasi pelaksanaan upacara. Ada pula pemimpin upacara yang berhubungan dengan aib seperti kematian, kecelakaan dan sakit. Mereka ini tidak mempunyai kedudukan sosial, tapi sama seperti anggota masyarakat lainnya. Setelah 3 bulan menyesuaikan diri, Nico pergi keluar masuk kampung seperti orang Sawu dengan bahasa ibunya yang fasih. Ia pun ikut makan kacang hijau, sorgum dan daging yang menjadi makanan pokok orang yang mendiami pulau berbukit-bukit tandus itu. Nico L. Kana sengaja meneliti "Dunia Orang Sawu" untuk memperkenalkan kebudayaan leluhurnya. Diperkirakan, 40.000 dari 52.000 penduduk pulau itu masih hidup dalam alam "kebudayaan asli" Sawu. Disertasinya mengungkapkan dua asas penataan. Yakni asas penataan pembagi-dua dan asas penataan kesatuan (kaitan) yang selalu berjalan berdampingan. Juga ada 3 kelompok asas penataan, masing-masing tentang hidup, ruang dan yang berhubungan dengan kekuatan gaib. Asas pembagi-dua, menurut orang Sawu, selalu berulang muncul dalam genealogi alam semesta. Semua benda diidentifikasikan dengan asas pembagidua dan kaitan berupa laki-laki dan perempuan. Perkawinan pasangan itu menghasilkan sesuatu dalam proses kehidupan alam semesta. Selanjutnya, proses melalui asas pembagi dua dan perkawinan (totalitas) ini berkembang semakin luas dan besar. Bahkan Pulau Sawu sendiri, menurut pandangan penghuninya, juga terlahir dari proses kedua asas penataan itu. Sawu, yang semula satu, terpisah menjadi dua: Sawu sebagai kakak dan Raijua sebagai adik. Asas superioritas (kakak) dan inferioritas (adik) ini juga berlaku untuk 5 bagian daerah di Sawu. Bagian tengah sebagai kakak berhak menjadi pusat kebudayaan dan adat, bagian pinggir sebagai adik harus menurut. Ada satu hal kelihatannya bertentangan dari orang Sawu. Sejak bertahuntahun penduduk pulau tandus ini senang migrasi musiman. Kala musim kemarau tiba, mereka merantau ke Kupang, Ende dan kota besar sekitarnya. Mereka menjadi pelayan rumah, pelayan toko, pedagang kaki lima (papalele) dan jabatan lain serupa. Bila hujan akan datang, mereka kembali untuk bertanam di ladang. Pengaruh luar agak luas mereka lihat dan alami. Namun kebudayaan asli warisan Hawu Miha tetap dipertahankan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus