ADALAH dua tokoh mitos kakak beradik: Hawu Miha dan Java Miha.
orangtua mereka menurunkan "kata-kata bertuah" yang dapat
menjadi kekuatan dan kemampuan untuk mencapai kemakmuran. Suatu
ketika sang adik, Java Miha bertindak licik. Ia mencuri semua
"warisan" orangtuanya dan pergi mengembara. Hawu Miha
ditinggalkan tanpa memperoleh warisan apa-apa.
Di Pulau Sawu, Hawu Miha kemudian menurunkan penduduk yang kini
jumlahnya 52.000 jiwa lebih. Ia dan turunannya merasa pernah
ditipu oleh Java Miha yang kemudian menurunkan orang asing.
Karena "warisan" curian itu, orang yang tinggal di luar Sawu
menjadi lebih pandai dan hidup lebih baik. Sebaliknya, orang
Sawu menutup diri dari segala "intervensi" unsur luar. Dendam
terhadap Java Miha dan keturunannya masih berkembang sampai
sekarang. Pulau Sawu pun kini masih terpencil di kawasan Nusa
Tenggara Timur.
Meski demikian, seorang berdarah Sawu, Nico L. Kana (41 tahun)
yang lama merantau dan menjadi pengajar pada Universitas Satya
Wacana Salatiga memberanikan diri "dicurigai" dan diancam orang
Sawu. Tahun 1974-1975, ia mengumpulkan data di sana untuk
melengkapi disertasinya. Dengan tesisnya yang berjudul "Dunia
Orang Sawu", suatu lukisan analitis tentang azas-azas penataan
dalam kebudayaan orang Mahara di Sawu, NTT, ia telah menjadi
doktor ke-8 bidang antropologi budaya dari Indonesia. Rektor
Prof. Dr. Mahar Mardjono mengumumkan ia lulus dengan predikat
"sangat memuaskan" 4 Nopember di Universitas Indonesia.
Mitos Java Miha dan Hawu Miha itu membawa kesulitan bagi Nico
sewaktu memulai penelitian. "Orang Sawu tidak terbuka terhadap
segala unsur asing termasuk Pemerintah. Adat dan kebudayaan
mereka yang dipertahankan itu tidak boleh dicuri lagi oleh
antek-antek Java Miha. Dan saya juga dicap antek Java Miha itu
meski berdarah Sawu," kata Dr. Kana kepada A. Margana dari
TEMPO.
Maka selama tiga bulan pertama tugasnya hanya mencatat apa yang
dilihat dan didengarnya dari tempat menginapnya di kecamatan
Sawu. "Saya sebelumnya memang sudah tahu dari hasil riset
perpustakaan. Sebagai orang Sawu, saya semula berharap mudah
mereka terima. Kebetulan ibu dari Mahara, dan saya dilahirkan di
luar Sawu, Payeti," katanya lagi. Dalam pendekatan pertama, dia
mengaku tidak menemui pemuka masyarakat.
Orang Sawu tidak mengenal pemimpin adat secara formil. Semua
mempunyai kedudukan sama dalam struktur sosial. Hanya ada
beberapa pemimpin upacara yang ditunjuk berdasarkan klan yang
dimiliki. Pemimpin upacara utama dijumpai untuk musim kemarau
dan hujan. Juga ada klan yang bertugas mengawasi pelaksanaan
upacara. Ada pula pemimpin upacara yang berhubungan dengan aib
seperti kematian, kecelakaan dan sakit. Mereka ini tidak
mempunyai kedudukan sosial, tapi sama seperti anggota masyarakat
lainnya.
Setelah 3 bulan menyesuaikan diri, Nico pergi keluar masuk
kampung seperti orang Sawu dengan bahasa ibunya yang fasih. Ia
pun ikut makan kacang hijau, sorgum dan daging yang menjadi
makanan pokok orang yang mendiami pulau berbukit-bukit tandus
itu.
Nico L. Kana sengaja meneliti "Dunia Orang Sawu" untuk
memperkenalkan kebudayaan leluhurnya. Diperkirakan, 40.000 dari
52.000 penduduk pulau itu masih hidup dalam alam "kebudayaan
asli" Sawu. Disertasinya mengungkapkan dua asas penataan. Yakni
asas penataan pembagi-dua dan asas penataan kesatuan (kaitan)
yang selalu berjalan berdampingan. Juga ada 3 kelompok asas
penataan, masing-masing tentang hidup, ruang dan yang
berhubungan dengan kekuatan gaib.
Asas pembagi-dua, menurut orang Sawu, selalu berulang muncul
dalam genealogi alam semesta. Semua benda diidentifikasikan
dengan asas pembagidua dan kaitan berupa laki-laki dan
perempuan. Perkawinan pasangan itu menghasilkan sesuatu dalam
proses kehidupan alam semesta. Selanjutnya, proses melalui asas
pembagi dua dan perkawinan (totalitas) ini berkembang semakin
luas dan besar.
Bahkan Pulau Sawu sendiri, menurut pandangan penghuninya, juga
terlahir dari proses kedua asas penataan itu. Sawu, yang semula
satu, terpisah menjadi dua: Sawu sebagai kakak dan Raijua
sebagai adik. Asas superioritas (kakak) dan inferioritas (adik)
ini juga berlaku untuk 5 bagian daerah di Sawu. Bagian tengah
sebagai kakak berhak menjadi pusat kebudayaan dan adat, bagian
pinggir sebagai adik harus menurut.
Ada satu hal kelihatannya bertentangan dari orang Sawu. Sejak
bertahuntahun penduduk pulau tandus ini senang migrasi musiman.
Kala musim kemarau tiba, mereka merantau ke Kupang, Ende dan
kota besar sekitarnya. Mereka menjadi pelayan rumah, pelayan
toko, pedagang kaki lima (papalele) dan jabatan lain serupa.
Bila hujan akan datang, mereka kembali untuk bertanam di ladang.
Pengaruh luar agak luas mereka lihat dan alami. Namun kebudayaan
asli warisan Hawu Miha tetap dipertahankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini