Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Manusia Setengah Malaikat

Tak banyak pemain yang bisa tampil membela negerinya hingga pertandingan ke-100. Mereka sangat dihormati kawan dan lawan.

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGAN itu akhirnya menulis nama David Beckham, 32 tahun. Fabio Capello tak bisa mengerem desakan para penggila sepak bola seluruh Inggris yang menginginkan agar bekas kapten Three Lions itu merumput lagi. Sebelumnya, ketika menggelar pertandingan persahabatan pertama sejak menjadi pelatih nasional Inggris pada Februari lalu, si Don ogah memasukkan bekas anak latihnya di Real Madrid itu.

Kabarnya, gara-gara itu pula, Beckham sempat ngambek. Dia emoh datang dalam sebuah acara amal. Namun keadaan berubah. Menghadapi Prancis, Capello memanggil Beckham lengkap dengan kostum nomor 7, yang biasa dia pakai. ”Setiap pemain sangat ingin bermain hingga keseratus kalinya. Namun tak banyak yang bisa melakukan itu. Saya ucapkan selamat kepada David,” kata Capello.

Beckham pun tak kuasa menolak panggilan itu. Hatinya berbunga-bunga. Baginya, kesempatan bermain di tim nasional ini bukan saja menjadi pembuktian bahwa dirinya belum habis, melainkan juga sebuah kehormatan. Dengan ikut membela Inggris dalam pertandingan itu, dia masuk deretan pemain Inggris yang membela negerinya untuk keseratus kalinya. Dia menjadi orang kelima di Inggris yang mengecap gelar tersebut setelah Peter Shilton (125 kali main) si penjaga gawang, Bobby Charlton (106) bintang Piala Dunia 1966, Bobby Moore (108), dan Billy Wright (105).

Itulah catatan terbaik yang diberikan David Beckham kepada negaranya. Biarpun di Manchester United dan Real Madrid dia masuk sebagai bintang lapangan dan menyumbangkan berbagai gelar, untuk negerinya sendiri dia masih utang gelar. Untuk tiga Piala Dunia yang diikutinya, sejak 1998, Tim Tiga Singa selalu keok di tengah jalan. Dalam Piala Eropa, idem. Langkah tim nasional Inggris kandas juga. Jadi, inilah satu-satunya ”gelar” yang bisa ia persembahkan. ”Saya merasa tersanjung. Bermain untuk Inggris selama 11 tahun,” kata Beckham berseri-seri.

Menjadi pemain yang bisa tampil hingga seratus pertandingan untuk negerinya jelas tidak mudah. Sedikit orang itu antara lain Zinedine Zidane, Luis Figo, Roberto Carlos, dan Paolo Maldini. Umumnya mereka pemain yang sudah menjadi legenda.

Banyak penghalangnya. Pertama, soal cedera. Kedua, yang tak kalah pentingnya adalah pelatih. Bagaimanapun, pelatih juga manusia, yang sering lebih memakai perasaan daripada pertimbangan teknik permainan. Mereka hanya mau memasang pemain yang tidak banyak ulah dan pas di hati.

Jadi, selain bersikap santun, hanya pemain dengan kemampuan dan fisik mumpuni yang bisa memiliki masa edar bermain yang panjang. Biasanya mereka sudah memakai kostum tim nasional sejak berusia 20 tahun atau malah lebih muda.

Itu pula sebabnya kehadiran mereka di lapangan menjadi sangat penting, terutama karena mampu menjadi pembangkit semangat pemain lain. Contohnya, ya, Beckham. Selepas Piala Dunia 2006, pelatih Inggris Steve McClaren tak pernah memanggil namanya hingga sembilan kali pertandingan. Nah, pada saat genting—karena sering kalah—dia pun dipanggil kembali masuk tim. ”Kehadirannya diharapkan bisa membangun kepercayaan tim,” kata McClaren. Sayang, keputusan itu terlambat. Inggris kalah dari Kroasia.

Berliku atau lempeng perjalanan karier pemain, gelar 100 membuat sosok mereka sangat dihormati. Lihat saja Paolo Maldini, 40 tahun, yang masih merumput di klubnya, AC Milan. Pengalamannya bermain di Milan sejak usia 16 tahun membuatnya menjadi legenda hidup. ”Dia pemimpin sejati. Dia tidak pernah membentak kami. Dia juga tak pernah kehilangan kesabaran,” kata Gennaro Gattuso, pemain Milan yang dikenal paling temperamental.

Di luar lapangan, sama saja. ”Saya tak tahu apakah dia malaikat atau bukan. Tapi kelihatannya sih begitu,” kata seorang teman dekat Maldini seperti yang dikutip Sportsmail. Ada sebabnya dia berkata begitu. Lima tahun silam, Maldini memotong 30 persen dari pendapatan per tahunnya. Eh, tahun lalu, dia potong lagi setengahnya. Alhasil, dia hanya menerima gaji 2,5 juta euro atau sekitar Rp 36 miliar. Uang itu dikembalikan ke klubnya untuk membiayai banyak kegiatan, antara lain demi memajukan kualitas pemain muda.

Duit memang bukan lagi menjadi pertimbangan pemain gaek ini. Maklum, pendapatannya dari luar lapangan sudah sangat rimbun. Bersama temannya, ia tercatat sebagai pemilik Hollywood, sebuah klub malam mewah di Milan. Dia juga berpatungan membuat busana bermerek Sweet Years berkongsi dengan Christian Vieri, teman baiknya.

Serupa dengan Maldini, Fabio Cannavaro, 34 tahun, penerus ban kapten Italia dari Maldini, juga berlaku kurang lebih sama. Pengalamannya merumput selama belasan tahun membuatnya dihormati di dalam dan di luar lapangan. Pemain belakang yang kini membela Real Madrid itu memiliki segalanya. Berjaya bersama Madrid dan Juventus menjadi juara, dua tahun silam dia berhasil memimpin Italia menjadi juara dunia.

Di luar lapangan, dia menjadi teman yang baik dan menyenangkan, tidak saja bagi teman-temannya tapi juga orang kebanyakan. Soal uang lagi-lagi bukan persoalan penting. Cannavaro terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, antara lain dengan mendirikan yayasan untuk kepentingan riset kanker di wilayah Napoli, kampung halamannya. Namanya FCF (Fondazione Cannavaro Ferrara), yang tak lain merupakan kerja samanya dengan bekas pemain Napoli lainnya, Ciro Ferrara. Keduanya berbagi modal 55 ribu euro atau sekitar Rp 790 juta.

Di yayasan ini, Ferrara menjadi ketua, Cannavaro memilih menjadi wakil. Selain berfokus pada kanker, yayasan ini juga aktif dalam kegiatan sosial membantu masyarakat pinggiran. ”Sekarang saya memang sudah jauh dari Napoli, tapi kampung halamanku itu tetap tertanam di hati. Itu sebabnya, kami mendirikan yayasan ini,” ujar Cannavaro.

Dia bertambah usia dan bijaksana lagi pula dermawan. Tapi dia juga makin sadar penampilan. Jangan kaget bila penampilannya di luar lapangan sangat berbeda dengan saat dia hanya bercelana pendek. Dibalut jas, rambut kelimis yang selalu disisir rapi. ”Dia kerap mencukur semua bulu di tubuhnya. Padahal sebenarnya dia tidak terlalu banyak memilikinya,” kata seorang teman dekatnya.

Keseriusannya dalam menjaga penampilan, termasuk mempertahankan keseksian tubuhnya inilah, berbuah hasil yang sama sekali tak diduganya. Bulan silam, dia terpilih menjadi salah satu ikon kaum gay di Italia. Rupanya, para lelaki penyuka teman sejenis ini tak kuasa menahan air liur ketika melihat penampilan Cannavaro.

Pose telanjangnya—hanya bagian kemaluannya yang ditutupi bola—dalam iklan sebuah produk perangkat olahraga menjadi salah satu pemicunya. Gosip pun berhamburan. Jangan-jangan dia memang gay. Namun kaum gay juga kemudian kecewa setelah melihat tiga tato yang berisi nama anaknya.

Cannavaro tak mau ambil pusing dengan itu semua. Baginya, sepak bola tetap pilihan utamanya. Meski sudah memperoleh kesempurnaan karier, dengan membawa Italia menjadi juara dunia dua tahun silam, dia tak lantas berhenti. Hal yang paling mendesak adalah membawa Madrid mempertahankan gelar juara tahun ini.

Sepak bola dengan segala perniknya pula yang membuat Maldini seperti ogah menanggalkan kostum kebanggaan Milan, merah hitam. ”Pensiun bukanlah berasal dari motivasiku, tapi lebih karena kekuatan tubuhku,” katanya.

Pun demikian dengan Beckham. Pemanggilannya untuk masuk tim nasional yang keseratus kalinya, bagi dia, bukanlah akhir dari perjalanan karier. ”Aku masih bisa terus bermain bahkan hingga membawa Inggris ke Piala Dunia 2010,” katanya. Begitulah bila pemain sudah menemukan arti sepak bola sesungguhnya.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus