Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alhamdulillah, kita berhasil menunaikan tugas mulia yang terakhir, yaitu mengubur orang yang kita cintai.” Ucapan itu menutup doa pada pemakaman Prof Dr Ir Otto Soemarwoto di taman pemakaman umum Sirnaraga, Bandung. Perjuangan panjang Otto (19 Februari 1926—1 April 2008) ditutup dengan apel persada tak sampai 42 menit.
Indonesia kehilangan seorang pendekar yang gigih mengarus-tengahkan pendidikan dan pertimbangan lingkungan dalam pembangunan. Otto merupakan penyandang penghargaan UNEP 500—satu di antara 500 orang yang paling memperhatikan lingkungan. Dia juga pemegang medali Golden Ark—bahtera emas simbol penyelamatan planet bumi.
”Perjuangan Pak Otto adalah perjuangan kita semua,” kata Rektor Universitas Padjadjaran, Gandjar Kurnia, yang menjadi inspektur upacara pemakaman. Sang Saka Merah-Putih yang menyelimuti jenazahnya pun dilipat, dan diserahkan ke Idjah Soemarwoto, teman hidupnya.
Otto menggondol gelar doktor fisiologi tanaman dari Universitas Berkeley, California, Amerika Serikat. Gara-gara masuk Berkeley, nama panggilannya semasa kecil, yaitu Otok, ditulis Otto, dan menjadi nama depannya. Dia kemudian pulang, menjadi pengajar di almamaternya, Universitas Gadjah Mada, dan menjadi profesor pada usia 34 tahun.
Kegemaran terhadap tanaman di masa kecil mengantar Otto pada kecintaan terhadap lingkungan hidup. Ia dikenal sebagai ”bapak” amdal alias analisis mengenai dampak lingkungan. Dialah yang gigih memperkenalkan metode agar setiap pembangunan memperhatikan aspek lingkungan hidup.
Dalam soal pembangunan, Otto memang dikenal punya prinsip berbeda dibanding ekonom Orde Baru koleganya semasa di Berkeley. Dia punya rumus sederhana—disebut kebijakan enam pro—agar setiap program pembangunan bisa berkelanjutan. Enam pro itu: pro-hukum, pro-kesatuan republik, pro-lingkungan, pro-keadilan gender, pro-rakyat miskin, dan pro-lapangan kerja.
Otto meninggalkan seorang istri yang luar biasa, pakar biologi yang mampu menyuntik mencit—anak tikus—persis pada jaringan pembuluh arterinya. Idjah memberinya empat anak, satu meninggal sewaktu kecil. Lainnya tumbuh menjadi pakar di berbagai bidang. Gatot, putra sulung, bekerja di Amerika; Susi, doktor antropologi lingkungan lulusan Inggris; dan si bungsu Bambang, pakar aerodinamika yang bekerja di Belanda. Pada saat Otto meninggal, semua anak berkumpul. Cucu-cucunya: Bayu, Karina, dan Pusparini, bergantian membawa foto ”Aki” mereka dalam kostum penerima Bintang Mahaputra.
Sehari-hari Idjah Soemarwoto, pencinta tanaman dan hewan, seorang yang pantang berutang. Sejak 1972 ia sudah membuat sumur resapan di sekeliling rumahnya. Sedangkan Otto dikenal sebagai pejalan kaki, penganjur dan penunggang sepeda yang setia. Konstitusi pribadinya menyatakan: di bawah satu kilometer jalan kaki, di bawah lima kilometer naik sepeda. Lebih dari itu baru naik mobil.
Tak cuma dalam keluarga, Otto dan Idjah menggantungkan cita-cita serupa terhadap masyarakat Indonesia: sehat dan tidak berutang. Ia sedih melihat pembantunya bekerja keras hanya untuk membayar angsuran sepeda motor buat anaknya. Otto melihat kendaraan bermotor dapat merusak lingkungan dan menjebloskan orang yang tidak berdaya menjadi pengutang.
Maka tiap kesempatan ia manfaatkan untuk mendidik dan memberdayakan orang lemah. Bila masuk restoran atau museum, sopirnya harus ikut makan dan belajar. Jangan heran kalau sopirnya, Dase, yang semula hanya berijazah SMP, sekarang menjadi sarjana tata negara. Para mahasiswa ia dorong menjadi profesor yang kritis dan berpikir mandiri. Tak peduli karena itu mereka bisa dicap ”antipembangunan”.
Otto sendiri memberikan contoh dengan berani menolak jabatan menteri demi mempertahankan integritasnya sebagai ilmuwan. Kalangan pertambangan menyebutnya pahlawan karena berhasil mengalokasikan dana kepedulian untuk masyarakat sekitar dan pelestarian lingkungan.
Indonesia patut bersyukur pernah mempunyai Otto Soemarwoto. Dia memberikan teladan untuk hidup mulia dengan semestinya. Seandainya kita semua mengikuti contoh hidupnya, mungkin bencana banjir, sampah, pencemaran, dan degradasi lingkungan seperti sekarang tak perlu terjadi.
Eka Budianta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo