Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hamparan hutan lebat itu begitu teduh. Cocok sekali dengan namanya yang tertulis di sebuah papan besar: Kawasan Taman Nasional Hutan Raya Sutan Syarif Qasim II Pekanbaru. Hanya berjarak 20 kilometer dari pusat ibu kota Riau, hutan ini seperti menyambut hangat para pengguna jalur lintas timur Sumatera dari Duri, setelah sepanjang 120 kilometer mata mereka kerontang dengan kegersangan kebun sawit dan pipa-pipa minyak raksasa milik PT Chevron Pacific.
Tapi, nanti dulu, jangan tertipu dengan tampilan luar. Cobalah masuki hutan. Dijamin, belum sampai keringat menetes, kerimbunan hutan dengan pohon-pohon besarnya sudah berubah menjadi hamparan ladang dan kebun sawit, pabrik, tambak, sampai hotel.
Begitulah wajah hutan lindung 6.172 hektare yang ditetapkan sebagai kawasan taman raya oleh Menteri Kehutanan Djamaludin Suryohadikusumo pada Juli 1996. Daerah bertopografi datar yang kaya dengan berbagai flora seperti Lauraceace, Euphorbeaceace, dan Myrtaceace, serta bermacam binatang seperti gajah, harimau sumatera, beruk, biawak, beo, dan berjenis unggas ini kini meranggas.
Kerusakan hutan di teras Kota Pekanbaru ini merupakan bagian dari berantakannya kawasan taman nasional di Riau secara keseluruhan. Berdasarkan citra satelit Landsat yang dibuat Dinas Kehutanan Provinsi Riau tahun lalu, 108 ribu hektare atau sekitar 50 persen dari luas seluruh hutan lindung telah rusak. ”Kawasan hutan lindung banyak yang tinggal menyisakan pohon kecil dan belukar,” kata Kepala Subdinas Perencanaan Hutan, Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Toni Herman, kepada Antara dua pekan lalu.
Semuanya ada 14 hutan lindung di provinsi ini, dan tak satu pun yang masih utuh. Kerusakan terparah dialami hutan lindung di Kabupaten Rokan Hulu, yang mencapai 41 ribu dari 67 ribu hektare. Di Kuantan Singingi, kerusakan mencapai 16 ribu hektare, Bengkalis dan Indragiri Hilir masing-masing 8.000 hektare.
Taman Nasional Tesso Nilo, yang terletak di Pelalawan dan Indragiri Hulu, pun sama saja. Sekitar 10 ribu hektare atau 24 persen dari luas kawasan telah disulap menjadi perkebunan sawit dan karet. ”Kerusakan bisa jadi karena pembalakan dan kebakaran lahan,” ujar Toni Herman.
Hutan lindung di Pekanbaru sebelumnya dikuasai sebuah perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan. Tapi, sejak mereka menghentikan usahanya pada 1983, gelombang warga dari berbagai daerah menebangi kayu tanpa ada yang melarang.
Sejak 1987, lahan bekas penebangan kayu itu dimanfaatkan warga lain untuk berkebun sawit. Para kepala desa di sekitar Tahura merestui tindakan mereka dengan mengeluarkan surat keterangan ganti rugi dan surat keterangan tanah. ”Kami waktu itu membayar Rp 1 juta untuk dua hektare lahan,” kata Ansarman, 57 tahun, warga asal Aceh yang membuka lahan sawit di dalam taman nasional. Tak hanya perorangan, sejumlah industri pun mulai masuk kawasan itu.
Saat ini sedikitnya terdapat 27 ruas jalan besar yang membelah hutan. Itu belum termasuk puluhan jalan kecil yang bisa dilewati mobil. Kawasan tersebut kini sudah berubah menjadi Dusun Plambayan, Suka Maju, Rumbai Bukit, dan pengembangan Desa Muara Beringin, yang dihuni 1.250 keluarga.
Para perambah ini tak takut menginjak aturan. Sebidang tanah di dalam hutan yang pada 2006 menjadi tempat Menteri Kehutanan M.S. Kaban mencanangkan Program Indonesia Menanam sekarang sudah berubah menjadi kebun sawit.
Lembaga swadaya masyarakat Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memperkirakan sisa hutan di taman nasional itu tinggal 500 hektare saja. ”Sesungguhnya hutan yang tersisa itu pun tidak layak lagi disebut kawasan konservasi. Sudah menjadi seperti semak belukar,” kata koordinator Jikalahari, Susanto Kurniawan.
Dampak hancurnya kawasan resapan air ini sudah mulai muncul. Lihat saja warna air di beberapa sungai seperti Takuana, Daun, dan Udang. Keruh karena tercemar pestisida. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir ini banjir selalu mampir di Kota Pekanbaru. Bahkan sampai pekan lalu air masih menggenangi sejumlah kecamatan.
Persoalan lain yang muncul adalah seringnya terjadi konflik warga dengan satwa yang habitatnya terus berkurang. Sejak 2000 hingga 2007 saja tercatat 16 kasus gajah merusak perkampungan dan menewaskan tiga warga. ”Itu belum termasuk ratusan hektare kebun di sekitar Tahura yang habis dimangsa gajah. Kerugiannya jadi semakin besar jika dihitung dengan punahnya ribuan ragam flora dan fauna di kawasan itu,” kata Johny Setiawan Mundung, Ketua Walhi Riau.
Siapa yang salah? Penggarap lahan tidak mau begitu saja disalahkan. Mereka berani membuka lahan karena mengantongi bukti kepemilikan tanah. ”Sebelum jadi hutan lindung, kami sudah masuk sini. Kami punya SKT yang lengkap. Jadi jangan dibilang kami penggarap hutan lindung,” kata Hatorangan Manurung, warga Dusun Suka Maju, Kota Garo, Kabupaten Kampar.
Sejumlah pengusaha yang membuka lahan di kawasan konservasi menuding pemerintah asal-asalan dalam menetapkan area hutan lindung. Pemilik pabrik batu bata di Tahura, Syamsuddin, mengaku mewarisi usaha itu dari ayahnya. Menurut dia, sejak 1980 orang tuanya sudah membuka perusahaan batu bata.
Kekisruhan ini tidak lepas dari problem klasik yang terjadi di banyak daerah, yaitu tumpang tindih kekuasaan pusat dan daerah atas kawasan hutan. Di Kabupaten Kampar, misalnya, bupati mengeluarkan izin pelepasan lahan, beberapa bulan sebelum Menteri Kehutanan menetapkan kawasan itu sebagai Taman Hutan Sutan Syarif pada 1996.
Menurut kepala hubungan masyarakat Departemen Kehutanan, Masyhud, sebenarnya yang paling berwenang menetapkan status hutan adalah pemerintah pusat. ”Jadi semua surat keterangan kepemilikan lahan di kawasan hutan tidak sah,” ujarnya.
Pemerintah daerah balik menuding pusat menetapkan kawasan hutan lindung tanpa melihat kondisi di lapangan. ”Setelah ditetapkan sebagai lahan konservasi, ternyata banyak kawasan yang sudah memiliki surat tanah. Tesso Nilo, misalnya, ditetapkan pada 2000-an, tapi sejak 1980-an kawasan itu sudah dibabat habis,” kata Surya Maulana, Kepala Bagian Humas Provinsi Riau.
Itu sebabnya, pemerintah pernah kalah ketika berperkara dengan pengusaha Johanes Sitorus, yang dianggap menyerobot 550 hektare lahan di Taman Tesso pada 2004. Pengadilan Kampar membebaskan Johanes karena memiliki sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kampar.
Apa pun yang terjadi, tekad pemerintah pusat mempertahankan taman nasional agaknya tidak surut. Kepala Subdinas Perlindungan Hutan, Dinas Kehutanan Riau, Adjar Susena, mengaku tidak punya pilihan selain mengembalikan fungsi taman nasional. Artinya, warga yang sudah telanjur hidup bertahun-tahun di sana harus dievakuasi, dan sejumlah perusahaan mesti hengkang. ”Ini memang sulit. Bagaimanapun, perambahan hutan konservasi adalah pelanggaran,” katanya.
Tekad baja ini membuat warga ketar-ketir. Hasil kerja keras mereka dalam membuka lahan dan menanam sawit bisa hilang seketika. ”Apa pemerintah mau mengganti kerugian serta memindahkan lahan kami?” keluh Sutrisno, yang mendiami kawasan hutan lindung Tesso sejak 1999.
Yudono Yanuar, Jupernalis Samosir (Pekanbaru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo