Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karpet hijau terhampar di Gelanggang Olahraga Bulu Tangkis Sukapura, Jalan Kawaluyaan 11, Bandung. Keempat sisinya membentuk persegi panjang dengan garis-garis hitam di pinggir. Inilah lapangan badminton mini berukuran 11,8 x 5,18 meter. Di tengah, terpancang net setinggi 140 sentimeter.
Ernes Sulivan, siswa kelas empat SD Maria Bintang Laut, Bandung, sedang bersiap-siap sambil mengayun-ayunkan raket. Panjang alat pemukul ini 57,5 sentimeter, lebih kecil dibandingkan dengan raket orang dewasa. Dia akan menghadapi Arya, rekan tandingnya di Sekolah Bulu Tangkis Ivana Lie di Bandung.
Setelah kedua bocah memasuki lapangan, pertandingan pun dimulai. Ernes meluncurkan shuttlecock, melambung tinggi menyeberangi net. Lawannya langsung menyambut. Bermain dalam tempo cepat, keduanya bergerak lincah ke setiap penjuru lapangan.
”Agak susah mainnya, suka meleset kalau memukul,” kata Ernes seusai memperagakan badminton mini, Selasa pekan lalu. Dia harus menyesuaikan diri dengan raket dan lapangan yang lebih kecil. Tenaga untuk memukul bola pun perlu dikurangi. Sering kali shuttlecock keluar lapangan karena ia menyabet terlalu kuat.
Ernes biasa bermain di lapangan normal berukuran 13,40 x 6,10 meter dengan raket standar berukuran 67,5 sentimeter. Karena itulah Ernes tak berani terlalu mengumbar smes. ”Saya main asal masuk saja. Kalau ada bola tanggung, barulah saya smes,” ujarnya.
Tak hanya Ernes dan Arya, anak-anak yang lain di bawah usia 10 tahun juga sering berlatih badminton mini alias badmini di Sekolah Bulu Tangkis Ivana Lie. Menurut Yanto Aryanto, pelatih di sana, latihan badmini dilakukan empat kali seminggu, diikuti sekitar 15 bocah. Ini amat berguna untuk mengenalkan teknik dasar bulu tangkis.
Ernes sudah memetik hasilnya. Mewakili klubnya, ia tampil menjadi juara nomor tunggal putra dalam kejuaraan regional badmini di Bandung, 10 Desember lalu. Di final, bocah bertubuh mungil dengan tinggi 130 sentimeter itu mengalahkan rekan satu klubnya, Yogi Hartono.
Badmini sekarang memang sedang dipopulerkan. Kejuaraan serupa juga pernah digelar di empat kota lainnya, yakni di Jakarta pada 17-18 Desember, Surabaya (2 Desember), Yogyakarta (25 November), dan Semarang (24 November). Pesertanya dibagi dalam dua kategori, yaitu dari sekolah dan klub. Kejuaraan ini hanya mempertandingkan nomor tunggal putra dan putri.
Di Surabaya, misalnya, Alfi Jauharotus Sukriya, 10 tahun, berhasil menjadi juara tunggal. Awalnya dia tidak nyaman bermain badmini. ”Rasanya canggung,” katanya. Dia tidak biasa memegang raket kecil. Pemain dari klub Citra Raya Universitas Negeri Surabaya itu sudah terbiasa dengan raket dan lapangan normal.
Toh, lambat-laun dia bisa menikmatinya. Apalagi pelatihnya, Oce Wiryawan, telah menggemblengnya secara khusus selama dua minggu sebelum kejuaraan. Latihan dilakukan empat kali seminggu. ”Saya ingin membuat dia terbiasa di lapangan kecil,” kata Oce.
Lain lagi Muhammad Amin Istighfar Rahmadani, 9 tahun. Juara pertama nomor tunggal putra dalam kejuaraan badmini di Surabaya ini hanya berlatih badmini selama dua hari. Mula-mula ia juga kikuk. Ia merasa ruang gerak di badmini terlalu terbatas dan tak bisa mengeluarkan power-nya secara penuh ketika melakukan smes. ”Tapi, main di lapangan mini asyik juga karena tidak terlalu capek,” kata pemain dari klub Gemilang Surabaya ini.
Yang sudah biasa bermain badmini adalah Ruselly Hartawan, 8 tahun. Pemain dari klub Jaya Raya ini pernah mencobanya untuk syuting pembuatan VCD tentang badminton mini. Jangan heran jika akhirnya dia tampil sebagai juara tunggal putri kategori klub di Jakarta. Adapun gelar juara tunggal putra diraih oleh Deni Kiswara, 9 tahun, dari klub Pelita Bakrie.
Menurut Yanto Aryanto, pelatih di Sekolah Bulu Tangkis Ivana Lie, badmini diciptakan untuk memudahkan anak-anak bermain bulu tangkis. Dengan raket yang lebih kecil, anak-anak diharapkan bisa memukul lebih mudah. Contohnya dalam melakukan servis. Dengan raket yang panjang, anak-anak akan memukul menyamping karena takut ujung raket terbentur tanah. ”Nah, dengan raket mini, mereka bisa melakukan servis yang benar, dari bawah ke atas membentuk busur yang lurus,” kata Yanto.
Gagasan tentang badmini datang dari Ivana Lie, bekas bintang bulu tangkis nasional. Selama ini anak-anak di bawah usia 10 tahun menggunakan peralatan yang sama dengan orang dewasa. Alat yang kurang proporsional itu bisa mengakibatkan mereka kesulitan belajar bulu tangkis. Motivasi mereka untuk berlatih pun sulit didongkrak. ”Padahal, jika diberi sarana yang pas, anak-anak akan senang pada olahraga ini,” ujar Ivana.
Dia lalu membuat lapangan bulu tangkis yang lebih kecil. Ukuran raket dan tinggi net pun berbeda dengan yang dipakai pemain dewasa. Perhitungan skornya memakai sistem the best of three. Pemenangnya adalah yang berhasil memenangi dua game. Untuk tunggal dan ganda putra, setiap set berakhir pada angka 11. Sedangkan di tunggal dan ganda putri pada angka sembilan. Penambahan angka terjadi bila kedudukan 10-10 pada putra, dan 8-8 pada putri.
Bukan berdasarkan hasil penelitian ilmiah, semua itu dibuat berdasarkan pengetahuan empiris Ivana selama melatih anak-anak. Jadi, masih mungkin beberapa hal diubah. Dalam kejuaraan badmini yang digelar di berbagai kota beberapa waktu lalu pun dicoba menggunakan perhitungan nilai secara rally point, dan setiap pertandingan hanya berlangsung satu set.
Kejuaraan badmini itu digelar setelah mendapat lampau hijau dari Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia. Semula ditargetkan kejuaraan diikuti 200 anak di setiap kota. Ternyata, pesertanya lebih banyak. Di sejumlah kota, rata-rata ada 250 orang pendaftar. Bahkan di Jakarta membludak sampai 430 peminat. ”Setengahnya ditolak karena keterbatasan waktu,” kata Ivana.
Tujuan kejuaraan badmini memang sekadar untuk mempopulerkan olahraga tepok bulu di kalangan anak-anak. Bocah-bocah yang serius menekuni bulu tangkis bisa bergabung ke sebuah klub. Setiap tahun, mereka bisa bertarung di berbagai kejuaraan bulu tangkis normal sesuai dengan kelompok umurnya.
Dari kejuaraan itulah PBSI akan memantau bibit-bibit unggul yang layak dibina lebih lanjut. Pemain potensial diambil bukan hanya dari tingkat taruna, yang berusia kurang dari 18 tahun, tapi juga dari remaja yang berusia kurang dari 15 tahun. ”Sejauh ini kami belum memantau bakat anak-anak dari badmini, hanya dari kejuaraan yang normal saja,” kata Imelda Wiguna, Kepala Sub-Bidang Pemandu Bakat PBSI.
Menurut Imelda, badmini bagus sebagai sarana menggairahkan dunia bulu tangkis. Hanya, untuk pembinaan bulu tangkis di tingkat nasional tetap dilakukan lewat jalur lapangan normal. Dia malah khawatir anak-anak yang sudah enjoy di badmini tidak mau pindah ke permainan normal. ”Melatih feeling-nya akan susah lagi,” katanya.
Ivana Lie tentu kurang setuju. Bagaimanapun, akan lebih mudah melatih anak-anak yang sudah biasa bermain bulu tangkis, sekalipun di badmini, ketimbang yang nol sama sekali. Jadi, bocah-bocah tak perlu ragu. Mari bermain badmini.
Lis Yuliawati, Ahmad Fikri (Bandung), Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo