Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bubur Ayam Terakhir

Seorang anak meninggalkan bapaknya di kolong jembatan sampai meninggal. Sebuah tragedi kemiskinan.

9 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUBUR ayam itu masih hangat kala Adek Suryono, 37 tahun, membawanya untuk sang ayah. Bersama iparnya, Suginda, 28 tahun, mereka menjenguk Sanusi, 68 tahun, di kamar kontrakan di Rawa Kuning, Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur, Selasa pekan lalu. Di kamar tersebut Sanusi lemas terkulai.

Menurut dokter, Sanusi menderita asma akut disertai radang tenggorokan parah. Sakit itu memburuk sejak istrinya meninggal tiga tahun lalu. Ia tak mampu berjalan, bicara pun susah. Harusnya, ia menginap di rumah sakit.

Sanusi sempat dibawa ke Rumah Sakit Persahabatan di Rawamangun, Jakarta Timur, dua hari sebelumnya. Tetapi Adek bersama kakak dan adiknya—Ahmad Irawan dan Siti Nualifah—tak punya ongkos membayar obat dan jasa dokter. Mereka akhirnya sepakat membawa pulang ayahnya untuk dirawat di rumah saja.

Menurut petugas rumah sakit, mereka memaksa membawa pulang Sanusi, meski rumah sakit menahannya. ”Mereka mengaku tidak punya uang dan tidak punya kartu keluarga miskin,” kata juru bicara RS Persahabatan, Ferryal Loetan.

Adek memang belum pernah mengurus kartu keluarga miskin. ”Takut bayar administrasi ini dan itu, sementara kami tak punya uang,” kata Sunarni, istri Adek. Ketiga bersaudara itu dengan berutang ke kanan-kiri berhasil mengumpulkan Rp 300 ribu untuk menebus ayahnya pulang.

Tapi, ayah harus dibawa ke mana? Sebelumnya Sanusi memang tinggal bersama Adek. Tetapi, sejak sakit sang ayah makin parah, istri Adek keberatan menampung sang mertua. Rumah petak mereka yang hanya sebesar garasi mobil terlalu sumpek untuk diisi enam orang: Adek, istri, tiga anaknya, plus Sanusi yang sakit-sakitan.

Rumah petak yang mereka sewa Rp 150 ribu sebulan itu beralas semen lembap dengan dinding depan dari tripleks. Seng tipis yang mulai berjamur dengan lubang di sana-sini menjadi sekat pemisah dengan petakan sebelah. Di kamar berbau apak itu hanya ada tikar dan meja rotan yang kolongnya penuh tumpukan baju bercampur perabot rumah. Sisi belakang dipakai untuk dapur, bersisian dengan kamar mandi.

Suami Sunarni tidak punya pekerjaan tetap. Rezeki didapat Adek jika ada yang berniat menjual radio atau televisi, lalu ia carikan pembeli. Komisinya tentu tak seberapa.

Adek pernah meminta Suginda menampung sang ayah. Tetapi menantu paling bungsu ini keberatan. Suginda, yang menjadi buruh harian sebuah pabrik di Cakung, hingga kini masih menumpang di rumah orang tuanya. ”Makan pun kami masih numpang,” kata sang adik ipar.

Mengirim sang ayah ke rumah kakaknya di Bogor, Adek tak cukup nyali. Selama ini kakaknya, yang bekerja sebagai sopir, sudah menitipkan perawatan Sanusi kepadanya. Sang kakak kadang memberi bantuan Rp 150 ribu atau Rp 200 ribu. Itu pun paling banter sebulan sekali.

Setelah membayar biaya rumah sakit, uang di kantong Adek tinggal Rp 50 ribu. Melihat ayahnya yang lemas, dia terpaksa membawa pergi naik taksi. Dia nekat mencarikan rumah petak bagi ayahnya di Rawa Kuning. Ongkos taksi Rp 30 ribu dibayarnya. Sisanya ia pakai membayar uang muka rumah petak. Malam itu Sanusi ditinggalkan sendiri untuk ia tengok keesokan harinya.

Bubur ayam belum sempat disuapkan ke mulut Sanusi ketika pemilik kontrakan datang pagi itu. Sang pemilik menolak orang sakit tanpa ditunggui menginap di rumah petaknya. ”Cari kontrakan lain saja!” sang induk semang mengusir. Kepala Adek pening. ”Ke mana lagi saya harus membawa bapak?” pikirnya.

Terlintas di kepala Adek untuk menitipkan ayahnya ke rumah bibi, adik bapaknya yang tinggal di Bintara, Bekasi Barat. Bersama Suginda, ia mencegat mobil pikap omprengan. Tapi, di rumah bibi, ia ditampik. ”Belum sempat saya ngomong, bibi langsung bilang tidak,” kata Adek. Kepalanya berdenyut. Dengan mengendarai mobil sewaan, mereka berputar-putar di daerah Cakung, tanpa tujuan.

Hujan deras mengguyur sisi timur Kota Jakarta. Sopir mulai menggerutu karena mobil berjalan tanpa arah pasti. Adek dan Suginda mengumpulkan sisa uang di kantong.

Saat berputar di bawah jembatan layang Sentra Primer Timur, Pulo Gebang, yang memotong jalan tol Jakarta-Cikampek, Adek meminta berhenti. Uang Rp 20 ribu diserahkannya kepada sopir. Adek mengajak Suginda membopong ayahnya. Di bawah jembatan itu mereka terhindar dari hujan.

Waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Lereng beton yang curam di bawah jembatan layang itu mereka daki hingga puncaknya. Di ujung lereng yang datar, tubuh Sanusi dibaringkan di atas tikar.

Adek ingat ayahnya belum makan sejak pagi. Bubur ayam di tangannya mulai dingin. Dia coba menyuapi sang ayah. Sanusi lapar. Bubur dimakannya hingga tinggal sedikit. Padahal, sejak tenggorokannya sakit, biasanya sang ayah hanya makan beberapa suap nasi.

Bertiga mereka terdiam. Suara hujan dan deru kendaraan yang melintas sahut-menyahut. Adek berharap kakaknya di Bogor akan mengirim bantuan.

Menjelang pukul 11 siang, Suginda pamit. Dua jam lagi ia harus masuk kerja. Adek menunggui ayahnya yang tertidur. Entah apa yang dipikirkan anak kedua Sanusi itu. Menurut pengakuannya, selama hidup, bapaknya mengurus ketiga anaknya dengan baik. Sanusi menyekolahkan Adek hingga ia tamat sekolah menengah atas. Tapi nasib tak berpihak padanya. Berbagai upaya mencari kerja selalu gagal, sementara kebutuhan hidup terus meningkat.

Waktu berjalan lambat. Detik murung. Berjam-jam anak dan bapak itu termangu di kolong jembatan. Menjelang tengah malam, Adek melihat bapaknya pulas tertidur. Dia teringat anak dan istrinya. ”Saya hanya ingin menengok rumah,” katanya. Dia kemudian pulang meninggalkan sang ayah di kolong jembatan itu. Dia mengaku, sesampai di rumah ia ketiduran.

Malam itu tubuh Sanusi menggigil kedinginan di atas tikar. Lapar. Adakah dirasakannya kematian itu semakin dekat dan akrab—seperti kawan berkelakar? Entahlah. Yang pasti, ketika pagi, tubuhnya ditemukan tertelungkup di bawah tebing beton. Mungkin ia menggapai, merangkak, lalu terjungkal hingga terlempar tiga meter jauhnya. Bersama malaikat pagi, Sanusi pergi. Tubuhnya ditemukan seorang pedagang yang melintas. Orang-orang berkerumun. Tak lama kemudian polisi datang.

Pagi itu Adek berangkat menemui kakaknya di Manggarai. Setelah mendapat uang Rp 150 ribu, dia langsung menuju jembatan tempat bapaknya ditinggalkan. Sesampainya di sana ia melihat kerumunan manusia. ”Ada orang mati,” kata orang-orang yang berkerumun. Dia menerobos. Polisi berusaha mencegahnya. Tapi dia ngotot dan mengaku sebagai anak pemilik tubuh kaku itu.

Polisi langsung menginterogasinya. ”Siapa yang meninggalkan dia di sini?” tanya petugas. Adek langsung mengaku. Polisi menahannya. Dari mulutnya meluncur keterangan, dia meletakkan ayahnya di sana dibantu Suginda. Suginda kemudian diringkus dari rumahnya.

Kematian Sanusi adalah potret buruk kemiskinan di negeri ini. Pemerintah memang punya program pemberian asuransi kesehatan kepada 36 juta keluarga miskin. Tapi program itu tak sampai ke lorong-lorong rumah Sanusi. Adek, yang tinggal di Jalan Bintara 4, Bekasi Barat, memang belum pernah mengurus surat keterangan sebagai keluarga miskin. Tetapi, kalaupun dia mengurus, jatahnya sudah pasti habis.

Wali Kota Bekasi, Akhmad Zurfaih, mengakuinya. Bekasi hanya mendapat jatah kartu asuransi kesehatan untuk 50 ribu keluarga miskin. Padahal, dari 800 ribu keluarga yang tinggal di Bekasi, seperempatnya miskin. Menurut Akhmad, penjatahan ini memang tidak masuk akal. ”Bagaimana kalau 150 ribu keluarga yang tidak mendapat kartu asuransi kesehatan tiba-tiba sakit?” tanya sang Wali Kota.

Akhmad berharap pemerintah pusat kembali memperbaiki program ini. ”Ini bukan hanya persoalan Bekasi, tetapi masalah nasional,” katanya. Dia mengusulkan subsidi kesehatan bagi keluarga miskin tidak perlu dalam bentuk kartu. Cukup nama 200 ribu keluarga miskin itu masuk dalam database rumah sakit daerah. Nah, saat ada pasien mengaku dari keluarga miskin, pihak rumah sakit tinggal membuka datanya. ”Kalau terdaftar, otomatis berobat gratis,” kata Akhmad.

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie, mengaku tak tahu-menahu soal ini. ”Saya belum tahu. Sorry, ya,” katanya singkat sambil menutup telepon.

Adapun Departemen Kesehatan malah menuding pemerintah daerah tak menyediakan data rakyat miskin kepada pemerintah pusat. ”Penyediaan data itu menjadi kewajiban bupati atau wali kota. Mereka yang menetapkan siapa dan di mana penerima kartu itu,” kata Kepala Pusat Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, Ida Bagus Indra Gotama. Tapi, Ida berjanji akan memperbaiki sistem pendataan itu kelak kemudian hari.

Di nirwana, Sanusi tak lagi mendengar perdebatan itu. Telah ia tinggalkan hidupnya yang murung. Teramat murung.

Agung Rulianto, Anton Aprianto, Siswanto, Ali Anwar, Deddy Sinaga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus