Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syukurlah, tak lama kemudian, udara terlihat bersih. Dari bukit yang berketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut itu terhampar pemandangan berupa tanah lapang tanpa pepohonan. Penanda arah angin di sudut kiri peluncuran telah terangkat menuju Naringgol. Itu artinya angin lembah (windshock) yang paling dinanti telah bertiup kencang.
Rahmat, penggemar olahraga ini, mendapat giliran pertama. Sebelum beraksi, pria berusia 50 tahun ini terlebih dahulu berdoa dengan rekan-rekannya. Pelindung tubuh yang terdiri dari karet busa, helm, jaket, serta parasut cadangan membuatnya tampak "siap tempur". Sebelum angin bertiup, parasut sepanjang 12 meter yang dihubungkan dengan temali ke tubuhnya itu tergeletak begitu saja di tanah. Begitu windshock datang, Rahmat menarik tali di tangannya dan, wuut , parasutnya yang berbentuk kotak itu mengembang. Dengan sigap ia berlari, menjejak beton peluncuran (launching ram), dan tanah mulai menjauh. Selama 20 menit kemudian, Rahmat melayang dengan rute lurus di atas lembah, sebelum kembali menjejak rerumputan di lokasi pendaratan.
Gaya Tony Yudantoro lain lagi. Atlet paralayang DKI Jakarta berusia 27 tahun ini adalah pemegang medali emas pra-Pekan Olahraga Nasional (PON), September lalu. Begitu kakinya lepas dari tanah, Tony segera memainkan kendali (toggle) parasut. Lalu, bagai menari, dengan cepat ia menukik menyusur lereng perbukitan, melambai di pucuk-pucuk cemara, dan membubung ke atas lagi. "Teknik ini namanya soaring, mencari titik-titik lift, angin yang bisa mengangkat kita ke atas," kata Tony setelah satu jam di udara.
Angin yang mengangkat ke atas ini dengan mudah ditemukan bila atlet paham akan titik-titik panas di bumi. Titik ini tercipta karena pecahnya udara beku. Biasanya, titik ini bisa dijumpai di atas atap sebuah pabrik atau di atas tanah datar yang tak ditumbuhi rumput. Seorang atlet yang sudah mahir mengenali titik ini bisa melayang tiga jam di udara. "Kalau sudah mencapai taraf ini, ibaratnya atlet itu sudah pintar menunggangi angin," kata Gendon Subandono, pelatih tim Jakarta.
Nama Gendon, 38 tahun, tak bisa dipisahkan dari perkembangan paralayang di Tanah Air. Gendon mulai mengembangkan olahraga ini pada 1990 di Yogyakarta. Ia memang ketinggalan cukup jauh. Soalnya, olahraga ini sebetulnya mulai tumbuh di Prancis dan Swiss pada era 1940-an. Sekalipun sudah beredar cukup lama, baru pada akhir 1970-an olahraga ini benar-benar populer, tepatnya di Chamonix, di kawasan Pegunungan Alpen.
Di Yogya, yang bergabung dengan Gendon adalah rekan-rekannya satu almamater di Universitas Gadjah Mada. Kebanyakan peminatnya adalah mereka yang semula menekuni terjun payung atau gantole. Selain di Yogya, saat itu peminat juga bermunculan di Surabaya.
Selain Gendon, ujung tombak lainnya adalah Hertriono. Posisinya sebagai presiden komisaris perusahaan eksplorasi minyak membuatnya jadi semacam "bapak asuh" bagi atlet-atlet lainnya. Misalnya, ia sering mengimpor bahan baku dan menjualnya dengan separuh harga. "Saya memang sering menombok, tapi tak apa demi paralayang," kata Hertriono, yang kini menjabat ketua organisasi olahraga ini di tingkat nasional. Menurut Hertriono, program pengurus paralayang saat ini yang paling berat adalah mencari massa. Maklumlah, olahraga ini tergolong baru. Saat ini, pilotdemikian istilah resmi bagi atlet paralayangyang dimiliki Indonesia sekitar 300 orang.
Apakah biaya menjadi kendala? Hertriono kurang sepakat bila olahraga ini digolongkan mahal. Soalnya, dalam upaya menjala peminat, banyak klub yang tak segan meminjamkan payung. Namun, olahraga ini juga tak bisa disebut murah-murah amat. Untuk jadi mahir, paling tidak uang Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta harus dirogoh peminat. Bila ia berniat memiliki peralatan sendiri yang komplet, lembaran uang senilai US$ 4.000 harus tersedia. Maklum, alat-alat ini semuanya masih diimpor. Payung, yang seharusnya tergolong alat penyelamat, pun masih kena bea masuk yang lumayan. Irit sih bisa, tapi itu berarti hanya mendapatkan peranti bekas pakai atlet senior, yang biasanya dihargai Rp 6 juta-Rp 10 juta. Dengan angka ini, wajar bila penggemar baru kebanyakan adalah mereka yang tergolong eksekutif muda di sebuah perusahaan.
Ihwal cap paralayang sebagai olahraga ekstrem ditampik para penggiatnya. Menurut mereka, selama prosedur ditaati, olahraga ini tergolong aman. Latihan untuk pemula dilakukan secara bertahap. Misalnya, ketinggian pertama untuk terjun adalah 40 meter, dengan didampingi instruktur di tempat peluncuran ataupun pendaratan. Kecelakaan yang menimpa Dadang pada Februari lalu ketika ia melayang di kawasan Puncak, Jawa Barat, menurut Gendon adalah lantaran atlet malang itu tak bisa menahan diri. Karena sudah lama tak terbang, Dadang memaksakan diri sekalipun saat itu kabut tebal telah datang. Akibatnya, ia tergulung badai dan ditemukan tewas beberapa hari kemudian.
Saat ini, sekalipun peminatnya masih terbatas, paralayang berhasil masuk cabang yang dipertandingkan dalam PON XV di Jawa Timur, yang akan dimulai pekan depan. Ini adalah sejarah pertama. Prestasi ini berbalikan dengan cabang layang gantung, yang justru keluar dan tak dipertandingkan lagi. Dua medali emas yang akan diperebutkan dalam PON nanti adalah nomor ketepatan mendarat dan cross country. Bila menilik hasil pra-PON lalu, tim Jakarta tampaknya paling berpeluang.
Bagaimana dengan prestasi atlet kita di pentas dunia? Belum istimewa, memang, tapi sebetulnya tak terlalu jelek. Misalnya, atlet Leo pernah melakukan penerbangan hingga sejauh 166 kilometer. Padahal, rekor dunia saat itu adalah 130 kilometer. Rekor jarak tempuh Leo ini mustahil dicapai di Indonesia karena kendala topografis.
Sayangnya, untuk meraih prestasi yang lebih tinggi lagi, ada kendala serius yang mengganjal pencinta paralayang di Tanah Air, yaitu masalah asuransi. Di Indonesia, asuransi belum dijadikan kelengkapan pokok digelarnya satu kejuaraan. Bila masalah ini dibenahi, bukan tidak mungkin akan muncul lebih banyak lagi para penunggang angin di langit kita.
Yusi A. Pareanom, Tomi Lebang, Rommy S. Fibri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo