Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR buruk bagi Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud: Presiden Abdurrahman Wahid akan segera mencopot Syamsuddin dari posisinya. Kabar baik: dia akan ditarik ke Jakarta untuk menduduki jabatan Wakil Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Meski digeser, menurut Bondan Gunawan, Pejabat Sementara Sekretaris Negara yang mundur pekan lalu, pencopotan ini berarti promosi bagi Syam.
Jika rencana ini terlaksana, Syam harus mundur dari jabatannya sebelum masa tugasnya berakhir. Pria Aceh ini terpilih sebagai gubernur provinsi itu pada 1993 lalu, menggantikan Ibrahim Hasan. Pada 1998, ia terpilih sebagai gubernur untuk kedua kalinya, hingga masa jabatannya berakhir pada 2003.
Pertanyaannya adalah, kenapa dia diganti di tengah jalan? Menurut Menteri Negara Urusan Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid, Syam dianggap terlalu berpihak pada gerakan prokemerdekaan Aceh. "Pemerintah pusat jadi tidak punya pegangan," kata Ryaas. Syam, seperti banyak diberitakan media massa, pada akhir 1999 lalu pernah menandatangani pernyataan bersama mahasiswa dan masyarakat Aceh yang meminta Jakarta segera melakukan referendum di provinsi itu.
Kegusaran Jakarta terhadap kecenderungan prokemerdekaan Syam, menurut Ryaas, bukan hal baru. Pada era Habibie dulu, rencana untuk menggeser Syam ini sudah pernah dibicarakan. Habibie ketika itu menjagokan Fachrul Razi, kini Wakil Panglima TNI, sebagai alternatif. Namun, rencana Habibie itu urung karena imbauan Amien Rais yang meminta jangan dulu dilakukan perubahan posisi dalam birokrasi Aceh demi menjaga ketenangan provinsi yang sedang bergolak itu.
Lain Jakarta, lain pula Aceh. Para wakil rakyat setempat justru melihat Syam cenderung bersikap lunak terhadap Jakarta. "Dia memang pernah meneken permintaan referendum, tapi itu dilakukannya setelah ada tekanan massa," kata Abdullah Saleh, Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan DPRD Aceh. Selain itu, Syam juga dinilai lemah dalam koordinasi dan tidak memiliki konsep yang jelas dalam menyelesaikan konflik Aceh.
Syam yang malang. Jakarta sebenarnya sulit menyalahkan dia karena bahkan referendum tadi pernah ditawarkan Presiden Abdurrahman Wahid sendiri. Sebaliknya, Aceh juga tak semestinya berharap banyak dari seorang gubernur. Dalam konflik Aceh yang berlarut-larut, terutama dua tahun terakhir, posisi gubernur memang tidak terlalu menonjol. Baik pada masa Habibie maupun Wahid, kendali Aceh lebih banyak ditangani langsung oleh Jakarta. Dalam kondisi seperti ini, menurut kalangan dekat Gubernur, Syam jadi tak berkutik. Syamsuddin Mahmud sendiri tak mau berkomentar banyak tentang problem yang dihadapinya itu.
Namun, apa boleh buat, di tengah derasnya tudingan sana-sini itu, 29 anggota DPRD Aceh belum lama ini mengajukan petisi agar Syam diganti. Petisi ini didukung oleh Fraksi Persatuan, Fraksi Aliansi Reformasi, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi PDI Perjuangan.
Dalam rapat pleno DPRD yang digelar Kamis dua pekan lalu, dewan memutuskan akan membawa masalah ini ke rapat paripurna DPRD, yang rencananya akan digelar bulan ini juga. Dari enam fraksi yang ada, hanya Fraksi Golkar (8 kursi) dan Fraksi TNI (6 kursi) yang tidak setuju dibawanya kasus pencopotan kader Golkar ini ke sidang paripurna. Artinya, secara umum, keputusan Presiden Wahid klop dengan maunya DPRD, lembaga yang memang bertugas mengusulkan penggantian kepala daerah tersebut.
Syamsuddin akan diganti oleh Ramli Ridwan—Sekretaris Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Daerah Departemen Dalam Negeri, yang pernah menjadi bupati Aceh Utara—yang akan menjabat sementara posisi itu sampai gubernur baru terpilih.
Namun, dalam konteks Aceh, siapa pun gubernur baru nanti soalnya akan sama. Dia akan berada di tengah pergulatan antara keinginan pusat dan daerah yang saling bertabrakan.
Arif Zulkifli, Purwani D. Prabandari, Darmawan S. (Jakarta), J. Kamal Farza (Banda-aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo